" My Parent "

Kamis, 06 Juni 2013

Haji / Umroh

Haji 

"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, ...
Kamis, 20 Oktober 2011
Pergi haji adalah berkunjung ke tanah suci, untuk melaksanakan serangkaian amal ibadah sesuai dengan syarat rukunnya. Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima. Jadi wajib bagi orang Islam yang berakal, telah baligh, merdeka, dan mampu melak­sanakannya. Pergi haji ditetapkan sebagai kewajiban, sejak tahun kelima Hijriyah.

"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. 3/Ali Imron: 97)

Pengertian mampu dalam ayat tersebut adalah mampu secara fisik dan secara ekonomi. Mengapa? Karena:


  • pergi haji merupakan ibadah yang berat (lihat rukun-rukun haji), sehingga memerlukan fisik yang sehat dan kuat;
  • perjalanannya pun cukup jauh, dan
  • mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah, dan punya uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggal­kannya di rumah. Jadi yang tidak mampu secara ekonomi tidak perlu memaksakan diri. Jangan sampai terjadi pergi haji dengan biaya utang. Abdullah bin Aufa ra. mengemukakan, "Saya bertanya kepada Muhammad Rosulullah saw., mengenai orang yang belum berhaji, apakah ia boleh berutang buat menunaikan ibadah haji?’’ Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Tidak boleh." (HR. Baihaqi)

Tentu saja ibadah haji yang diterima oleh Allah SWT hanya dengan harta yang halal. Abu Huroiroh mengabarkan bahwa Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Jika seseorang menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal dan kakinya telah melangkah (menginjak) tanah harm, kemudian mengucapkan: Labbaika Allahumma labbaik (Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu), maka Allah menyeru kepadanya dari langit, ’Allah menerima dan menyambut kedatanganmu dan dengan perbekalan kendaraan yang halal, kamu akan memperoleh predikat haji mabrur dan diampuni dosamu’. Sebaliknya bila ia pergi dengan harta yang haram, lalu diletakkan kakinya pada tanah haram dan ia mengucapkan Labbaika Allahumma labbaik (Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu), maka Allah akan menyeru kepadanya dari langit seraya berfirman: ‘Tidak diterima kunjunganmu, dan tidak berbahagia keadaanmu, karena perbekalanmu haram, perbelanjaanmu dari harta yang haram, jauh dari pahala’." (HR. Thobroni)

Kewajiban Berhaji hanya sekali seumur hidup. Ibnu Abi Waqid Al-Laitsi mendengar dari bapaknya, bahwa Muhammad Rosulullah saw. bersabda kepada istri-istri beliau pada saat haji wada’: "Inilah (haji yang wajib atas kalian). Setelah itu kamu menetap di rumah saja." (Hr. Abu Dawud) Sekalipun demikian, kita diperbolehkan menunaikan ibadah haji berkali-kali. Ibnu Abbas menceritakan, Aqro’ bin Habis bertanya kepada Nabi saw., "Wahai Rosulullah, apakah haji itu (loajib) setiap tahun, ataukah hanya wajib sekali (seumur hidup)? "Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Hanya sekali saja. Barang siapa yang mampu supaya bertathawwu’ (pergi haji berulang-ulang)." (HR. Ibnu Majah)

Bagi kaum muslim yang sudah mampu menunaikan ibadah haji, dianjurkan segera melaksanakannya. Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Bersegeralah mengerjakan haji, karena sesungguhnya seseorang tidak akan mengetahui apa yang terjadi padanya." (HR. Ahmad) Manusia memang tidak akan pernah tahu, apa yang bakal menimpa dirinya pada esok hari atau lusa. Karena itu janganlah kita menunda-nunda kewajiban pergi haji. Tujuannya, jangan sampai terjadi, ajal datang ketika kita belum sempat menunaikan Rukun Islam ke lima ini. Padahal kita mampu melaksanakannya

Karena kewajiban haji ini dikenakan kepada setiap umat Islam, maka utamakanlah pergi haji untuk diri sendiri lebih dulu sebelum menghajikan orang lain. Ibnu Abbas r a. menceritakan, bahwa Muhammad Rasullah saw. mendengar seseorang berkata, "Labbaika (Aku hadir ke hadirat-Mu) untuk Syubrumat." Lalu Nabi bertanya kepada orang itu, "Apakah engkau berhaji untuk dirimu sendiri?" Orang itu berkata, ’’Tidak." Rasulullah saw. bersabda, "Berhajilah untuk dirimu sendiri (lebih dulu). Baru sesudah itu haji untuk Syubrumat.’’ (HR. Abu Dawud)

Bagi orang kaya yang mampu pergi haji namun tidak melaksanakannya, maka diancam dengan sanksi yang cukup berat.

"Muhammad Rosulullah saw. Bersabda, ’’Siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang dapat membawa ke Baitul Haram, tetapi ia tidak melakukan haji, maka ia akan mati seperti (matinya orang) Yahudi atau Nasrani.’’ (HR. Tirmidzi, dan Baihaqi)

Pergi haji bagi wanita harus didampingi oleh muhrimnya, baik suami atau wanita-wanita lain yang dapat dipercaya. Ibnu Abbas mengemukakan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus disertai muhrim. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama-sama muhrim." Tiba- tiba berdiri seorang laki-laki, dan bertanya: "Istriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan pergi berperang, bagaimana sebaiknya ya Rosulullah?" Muhammad Rosulullah saw. menjawab, "Pergilah kamu haji bersama isterimu" (HR. Muslim).

Hukum dan Syarat Haji
Hukum haji adalah fardhuain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam.
Selasa, 11 September 2012
Bahasan ini sengaja kami susun bagi kaum muslimin yang akan menunaikan haji, barangkali tahun ini atau tahun-tahun akan datang. Materi ini amatlah ringkas, yang kami sarikan dari beberapa buku haji. Semoga kami pun bisa mengambil manfaat dari apa yang kami susun. Bahasan ini dibagi menjadi delapan pembahasan:
  1. Hukum dan syarat haji
  2. Tiga cara manasik haji
  3. Rukun haji
  4. Wajib haji
  5. Larangan ketika ihram
  6. Miqot
  7. Tata cara manasik haji
  8. Kesalahan-kesalahan ketika haji
HUKUM HAJI
Hukum haji adalah fardhu ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Quran, As Sunnah dan ijma (kesepakatan para ulama).
1. Dalil Al Quran
Allah Taala berfirman, yang artinya
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imron: 97). Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), "Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim.
2. Dalil As Sunnah
Dari IbnuUmar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya.
"Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan." (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16). Hadits ini menunjukkan bahwa haji adalah bagian dari rukun Islam. Ini berarti menunjukkan wajibnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah." Lantas ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun (kami mesti berhaji)?" Beliau lantas diam, sampai orang tadi bertanya hingga tiga kali. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, "Seandainya aku mengatakan iya, maka tentu haji akan diwajibkan bagi kalian setiap tahun, dan belum tentu kalian sanggup." (HR. Muslim no. 1337). Sungguh banyak sekali hadits yang menyebutkan wajibnya haji hingga mencapai derajat mutawatir (jalur yang amat banyak) sehingga kita dapat memastikan hukum haji itu wajib.
3. Dalil Ijma (Konsensus Ulama)
Para ulama pun sepakat bahwa hukum haji itu wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu. Bahkan kewajiban haji termasuk perkara al malum minad diini bidh dhoruroh (dengan sendirinya sudah diketahui wajibnya) dan yang mengingkari kewajibannya dinyatakan kafir.
SYARAT WAJIB HAJI
  • Islam
  • Berakal
  • Baligh
  • Merdeka
  • Mampu
Kelima syarat di atas adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. Sampai-sampai Ibnu Qudamah dalam Al Mughni berkata, "Saya tidak mengetahui ada khilaf (perselisihan) dalam penetapan syarat-syarat ini." (Al Mughni, 3:164)
Catatan:
  1. Seandainya anak kecil berhaji, maka hajinya sah. Namun hajinya tersebut dianggap haji tathowwu (sunnah). Jika sudah baligh, ia masih tetap terkena kewajiban haji. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma).
  2. Syarat mampu bagi laki-laki dan perempuan adalah: (a) mampu dari sisi bekal dan kendaraan, (b) sehat badan, (c) jalan penuh rasa aman, (d) mampu melakukan perjalanan.
  3. Mampu dari sisi bekal mencakup kelebihan dari tiga kebutuhan: (1) nafkah bagi keluarga yang ditinggal dan yang diberi nafkah, (2) kebutuhan keluarga berupa tempat tinggal dan pakaian, (3) penunaian utang.
  4. Syarat mampu yang khusus bagi perempuan adalah: (1) ditemani suami atau mahrom, (2) tidak berada dalam masa iddah.
SYARAT SAHNYA HAJI
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Miqot zamani, artinya haji dilakukan di waktu tertentu (pada bulan-bulan haji), tidak di waktu lainnya. Abullah bin Umar, mayoritas sahabat dan ulama sesudahnya berkata bahwa waktu tersebut adalah bulan Syawwal, Dzulqodah, dan sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.
  4. Miqot makani, artinya haji (penunaian rukun dan wajib haji) dilakukan di tempat tertentu yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya. Wukuf dilakukan di daerah Arafah. Thowaf dilakukan di sekeliling Kabah. Sai dilakukan di jalan antara Shofa dan Marwah. Dan seterusnya.


Cara Manasik Haji
TIGA CARA MANASIK HAJI
Haji dapat dilakukan dengan memilih salah satu dari tiga cara manasik:
  1. Ifrod, yaitu meniatkan haji saja ketika berihram dan mengamalkan haji saja setelah itu.
  2. Qiron, yaitu meniatkan umroh dan haji sekaligus dalam satu manasik. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik qiron untuk menyembelih hadyu.
  3. Tamattu’, yaitu berniat menunaikan umroh saja di bulan-bulan haji, lalu melakukan manasik umroh dan bertahalul. Kemudian diam di Makkah dalam keadaan telah bertahalul. Kemudian ketika datang waktu haji, melakukan amalan haji. Wajib bagi yang mengambil tata cara manasik tamattu’ untuk menyembelih hadyu.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Telah terdapat ijma’ (kesepakatan para ulama) bolehnya memilih melakukan salah satu dari tiga cara manasik: ifrod, tamattu’ dan qiron, tanpa dikatakan makruh. Namun yang diperselisihkan para ulama adalah manakah tatacara manasik yang afdhol (lebih utama)." (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8: 169)
Mengenai kewajiban hadyu bagi yang mengambil tata cara manasik qiron dan tamattu’ disebutkan dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,
"Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu (qurban) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna." (QS. Al Baqarah: 196). Wajibnya hadyu bagi yang mengambil manasik qiron dan tamattu’ adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Manakah dari tiga tata cara manasik tersebut yang lebih utama? Dalam hadits mengenai tata cara manasik haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa beliau bersabda,
"Jikalau aku mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku maka aku tidak akan membawa hewan hadyu dan aku akan jadikan ihramku ini umrah, maka barangsiapa dari kalian yang tidak bersamanya hewan hadyu maka hendaklah dia bertahallul dan menjadikannya sebagai umrah." (HR. Muslim no. 1218). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabat untuk memilih tamattu’ dan berkeinginan dirinya sendiri melakukannya. Tidaklah beliau memerintahkan dan berkeinginan kecuali menunjukkan tamattu’ itu afdhol (lebih utama) (Fiqhus Sunnah, 1: 447-448). Selain itu, manasik dengan tamattu’ itu lebih banyak amalannya dan lebih mudah secara umum (Syarhul Mumthi’, 7: 76-77)
Catatan: Dam yang dikeluarkan untuk manasik qiron dan tamattu’ adalah dalam rangka syukur dan bukan dalam rangka menutup kekurangan saat manasik (Ar Rafiq fil Hajj, 35).
Problem: Dalam tata cara manasik tamattu’ telah disebutkan bahwa umroh dilakukan terlebih dahulu sebelum haji. Artinya ia melakukan ritual umrah dahulu yang di dalamnya terdapat thowaf umrah dan sa’i umrah. Setelah itu ia bertahallul dengan sebelumnya memendekkan rambut. Lantas bagaimana jika sebelum wukuf di Arafah, seseorang terhalangi tidak bisa melakukan umrah? Pilihannya adalah mengganti niat hajinya dari tamattu’ menjadi qiran. Contoh dalam kasus ini adalah wanita yang telah berihram dari miqot dengan niat tamattu’. Lantas ia mengalami haidh atau nifas sebelum ia melakukan thowaf umrah. Ia barulah suci ketika datang waktu wukuf di Arafah. Artinya, ia belum sempat melakukan umrah pada haji tamattu’nya. Pada saat itu, ia mengganti niatnya menjadi niatan qiron, dan ia terus dalam keadaan berihram. Ia tetap melakukan rukun dan kewajiban haji lainnya selain thowaf di Ka’bah. Karena ia baru dibolehkan thowaf jika ia telah suci dan telah mandi (Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, 31-34).
Rukun Haji

1. Niat ikhlas karena Allah | 2. Wuquf di ’Arafah. | 3. Mabit | 4. Melakukan Thawaf Ifadhah. | 5. Melakukan sai
1. Niat ikhlas karena Allah
Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak diperintah, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama-Nya dengan lurus." (Al-Bayyinah:5).
Dan sabda Nabi saw, "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niatnya." (teks hadits dan takhirijnya sudah termaktub dalam pembahasan syarat-syarat sahnya wudhu’).

2. Wuquf di ’Arafah.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw. , "Haji adalah ’Arafah (Wukuf)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:2441, Tirmidzi II:188 no:890, Nasa’i V:264, Ibnu Majah II: 1003 no:3015. dan ’Aunul Ma’bud V:425 no:1933).
Dari ’Uwah ath-Thai r.a. bertutur, Aku pernah datang menemui Nabi saw. di Musdalifah sewaktu beliau pergi untuk shalat, lalu aku berkata, "Ya Rasulullah, sejatinya aku datang dari dua gunung Thai; sangat letih untukku dan telah wuquf disana, lalu apakah ibadah haji saya sah?" Maka jawab Rasulullah saw., "Barangsiapa yang mengikuti shalat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami bertolak (dari sini) dan sebelumnya telah wuquf di ’Arafah pada siang atau malam hari, maka sempurnalah ibadah hajinya dan hilanglah kotorannya (Artinya dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya berupa manasik, pent.)" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2442, Tirmidzi II: 188 no:892, ’Aunul Ma’bud V:427 no:1934, dan Ibnu Majah II: 1004 no.3016 serta Nasa’i no:263).
3. Mabit di Muzdalifah hingga terbit matahari dan shalat shubuh di sana. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits di atas:
"Barangsiapa yang mengikuti shalat kami dan wuquf bersama kami hingga kami bertolak (dari sini menuju Mina), dan sebelumnya telah wuquf di ‘Arafah pada siang atau malam hari maka sempurnalah ibadah hajinya dan hilanglah kotorannya."

4. Melakukan Thawaf Ifadhah.

Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang mulia (Baitullah)." (Al-Hajj :29).
Dari Aisyah r.a. bertutur, Shafiyah binti Huyay datang bulan setelah sebelumnya saya informasikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya, apakah ia menyebabkan kita tertahan atau terhalang dalam perjalanan kita sekarang ini (dengan sebab tidak dapat mengerjakan thawaf ifadhah karena halnya itu, pent.)?" Saya jawab, "Ya Rasulullah, bahwa Shafiyah sudah mengerjakan thawaf ifadhah dan sudah thawaf di sekeliling Baitullah, kemudian setelah melakukan thawaf ifadhah ia haidh." Maka sabda Beliau, "Kalau begitu hendaklah dia keluar [pulang bersama kami]!" (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:567 no:1733, Muslim II:964 no:1211, ’Aunul Ma’bud V:486 no:1987, Nasa’i I:194, Tirmidzi II:210 no:949 dan Ibnu Majah II: 1021 no:30725).
Jadi, sabda Nabi saw., "Apakah ia menyebabkan kita tertahan, ini menunjukkan bahwa thawaf ifadhah merupakan suatu kemestian yang harus dilaksanakan, dan ia menjadi penghalang dan penahan bagi orang yang belum mengerjakkannya.
5. Melakukan sa’i antara Shawaf dan Marwah, karena Rasulullah saw. melakukannya, bahkan beliau juga memerintahkannya:
"Bersa’ilah; karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian melakukan sa’i." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1072, al-Fathur Rabbani XII: 72 no:277 dam Sumber: Diadaptasi dari ’Abdul ’Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ’Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 489 -- 491.
Rukun Haji
1. Niat ikhlas karena Allah | 2. Wuquf di ’Arafah. | 3. Mabit | 4. Melakukan Thawaf Ifadhah. | 5. Melakukan sai
1. Niat ikhlas karena Allah
Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak diperintah, kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama-Nya dengan lurus." (Al-Bayyinah:5).
Dan sabda Nabi saw, "Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niatnya." (teks hadits dan takhirijnya sudah termaktub dalam pembahasan syarat-syarat sahnya wudhu’).

2. Wuquf di ’Arafah.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw. , "Haji adalah ’Arafah (Wukuf)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:2441, Tirmidzi II:188 no:890, Nasa’i V:264, Ibnu Majah II: 1003 no:3015. dan ’Aunul Ma’bud V:425 no:1933).
Dari ’Uwah ath-Thai r.a. bertutur, Aku pernah datang menemui Nabi saw. di Musdalifah sewaktu beliau pergi untuk shalat, lalu aku berkata, "Ya Rasulullah, sejatinya aku datang dari dua gunung Thai; sangat letih untukku dan telah wuquf disana, lalu apakah ibadah haji saya sah?" Maka jawab Rasulullah saw., "Barangsiapa yang mengikuti shalat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami bertolak (dari sini) dan sebelumnya telah wuquf di ’Arafah pada siang atau malam hari, maka sempurnalah ibadah hajinya dan hilanglah kotorannya (Artinya dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya berupa manasik, pent.)" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2442, Tirmidzi II: 188 no:892, ’Aunul Ma’bud V:427 no:1934, dan Ibnu Majah II: 1004 no.3016 serta Nasa’i no:263).
3. Mabit di Muzdalifah hingga terbit matahari dan shalat shubuh di sana. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits di atas:
"Barangsiapa yang mengikuti shalat kami dan wuquf bersama kami hingga kami bertolak (dari sini menuju Mina), dan sebelumnya telah wuquf di ‘Arafah pada siang atau malam hari maka sempurnalah ibadah hajinya dan hilanglah kotorannya."

4. Melakukan Thawaf Ifadhah.

Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang mulia (Baitullah)." (Al-Hajj :29).
Dari Aisyah r.a. bertutur, Shafiyah binti Huyay datang bulan setelah sebelumnya saya informasikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya, apakah ia menyebabkan kita tertahan atau terhalang dalam perjalanan kita sekarang ini (dengan sebab tidak dapat mengerjakan thawaf ifadhah karena halnya itu, pent.)?" Saya jawab, "Ya Rasulullah, bahwa Shafiyah sudah mengerjakan thawaf ifadhah dan sudah thawaf di sekeliling Baitullah, kemudian setelah melakukan thawaf ifadhah ia haidh." Maka sabda Beliau, "Kalau begitu hendaklah dia keluar [pulang bersama kami]!" (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:567 no:1733, Muslim II:964 no:1211, ’Aunul Ma’bud V:486 no:1987, Nasa’i I:194, Tirmidzi II:210 no:949 dan Ibnu Majah II: 1021 no:30725).
Jadi, sabda Nabi saw., "Apakah ia menyebabkan kita tertahan, ini menunjukkan bahwa thawaf ifadhah merupakan suatu kemestian yang harus dilaksanakan, dan ia menjadi penghalang dan penahan bagi orang yang belum mengerjakkannya.
5. Melakukan sa’i antara Shawaf dan Marwah, karena Rasulullah saw. melakukannya, bahkan beliau juga memerintahkannya:
"Bersa’ilah; karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian melakukan sa’i." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1072, al-Fathur Rabbani XII: 72 no:277 dam Sumber: Diadaptasi dari ’Abdul ’Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ’Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 489 -- 491.

Wajib Haji

Ihram dari miqot. (1) Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari. (2)Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada. (3)Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.

Ada beberapa wajib haji:

Ihram dari miqot.
  1. Wukuf di Arafah hingga Maghrib bagi yang wukuf di siang hari.
  2. Mabit di malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah) di Muzdalifah pada sebagian besar malam yang ada.
  3. Mabit di Mina pada hari-hari tasyriq.
  4. Melempar jumroh secara berurutan.
  5. Mencukur habis atau memendekkan rambut.
  6. Thowaf wada’.
Jika wajib haji ditinggalkan, maka harus menunaikan dam.

Wajib pertama: Ihram dari miqot.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat-tempat miqot, beliau bersabda,
Artinya : "Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut jika hendak melakukan ibadah haji dan umroh. Sedangkan mereka yang berada di dalam batasan miqot, maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Mekkah, mereka memulainya dari di Mekkah." (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181)
 
Wajib kedua: Wukuf di Arafah hingga maghrib bagi yang mulai wukuf di siang hari.
Karena dalam hadits Jabir yang menceritakan cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan manasik, beliau wukuf di Arafah hingga waktu Maghrib.
 
Wajib ketiga: Mabit di Muzdalifah
Alasan wajibnya hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan mabit di Muzdalifah. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah) dalam ayat,
Artinya : "Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)" (QS. Al Baqarah: 198).
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
Artinya : "Aku adalah di antara orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulukan pada malam Muzdalifah karena kondisi lemah keluarganya." (HR. Bukhari no. 1678 dan Muslim no. 1295)
Mabit di Muzdalifah termasuk wajib haji. Jika ditinggalkan tanpa ada uzur, maka ada kewajiban dam. Namun kalau meninggalkannya karena ada uzur, maka tidak ada dam. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (8: 136) berkata, "Wajib menunaikan dam bagi yang meninggalkan mabit (di Muzdalifah) jika kita katakan bahwa mabit di sana adalah wajib. Dam di sini ditunaikan bagi orang yang meninggalkannya tanpa adanya uzur. Adapun yang mengambil wukuf di Arafah hingga malam hari nahr (malam 10 Dzulhijjah), ia sibuk dengan wukufnya sampai meninggalkan mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apa-apa untuknya. Hal inilah yang disepakati ulama Syafi’iyah."
Jadi barangsiapa yang tidak mampu masuk Muzdalifah hingga terbit matahari (keesokan harinya) karena jalanan macet (misalnya) dan sulitnya bergerak, juga tidak ada cara lain untuk pergi ke sana (seperti dengan berjalan kaki) karena khawatir pada diri, keluarga dan harta, maka ia tidak dikenai kewajiban dam karena adanya uzur. Demikian fatwa dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 407-408).
Yang disebut telah melakukan mabit di Muzdalifah adalah bila telah bermalam di sebagian besar malam, bukan hanya selama separuh malam atau kurang dari itu. Di antara dalilnya adalah di mana Asma’ binti Abi Bakr mabit di Muzdalifah hingga bulan hilang, yaitu sekitar sepertiga malam terakhir dan bukan pada pertengahan malam. Dan juga seseorang dinamakan bermalam jika ia bermalam hingga waktu Shubuh atau hingga sebagian besar malam ia lewati (Lihat An Nawazil fil Hajj, 409-410). Dari penjelasan ini, jika bus jama’ah haji hanya melewati Muzdalifah tanpa diam hingga sebagian besar malam dan tanpa adanya uzur, maka ia berarti meninggalkan mabit di Muzdalifah hingga sebagian besar malam dan wajib membayar dam (Lihat An Nawazil fil Hajj, 416-417).
 
Wajib keempat: Melempar Jumroh
Yang dimaksud di sini adalah melempar jumroh ‘Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijah, melempar tiga jumroh lainnya di hari tasyriq (hari ke-11, 12 atau 13 jika masih tetap di Mina). Allah Ta’ala berfirman,
Artinya "Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (hari tasyriq). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya." (QS. Al Baqarah: 203). Yang dimaksud berdzikir di sini adalah dengan bertakbir ketika melempar jumroh (Tafsir Al Jalalain, 41). Pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah saat melempar jumroh Aqobah dan dilakukan setelah terbit matahari. Sedangkan pada hari-hari tasyriq adalah waktu melempar tiga jumroh lainnya (mulai dari jumroh ula, lalu jumroh wustho dan jumroh aqobah) dan waktunya dimulai setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal).
 
Wajib kelima: Mabit di Mina pada Hari-Hari Tasyriq
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam (mabit) di Mina selama hari-hari tasyriq. Mabit ini dilakukan pada hari-hari tasyriq (ke-11, 12, dan 13 bagi yang masih ingin tetap di Mina). Yang disebut mabit adalah dilakukan pada sebagian besar malam baik dimulai dari awal malam atau dari tengah malam (Al Minhaj lii Muridil Hajj wal ‘Umroh, 133).
 
Wajib keenam: Mencukur atau Memendekkah Rambut
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini dalam sabdanya,
"Pendekkanlah rambut dan bertahallul-lah." (HR. Bukhari no. 1691 dan Muslim no. 1227)
Mencukur atau memendekkan merupakan ibadah wajib dan akan membuat orang yang berhaji dianggap telah halal dari berbagai larangan ihram. Mencukur rambut di sini adalah bentuk merendahkan diri pada Allah karena telah menghilangkan rambut yang menjadi hiasan dirinya. Allah Ta’ala telah menyifati hamba-hamba-Nya yang sholeh,
"Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya" (QS. Al Fath: 27). Mencukur (halq) adalah menggunakan silet (muws), sedangkan menggunakan alat cukur selain itu berarti hanya memendekkan (taqshir). Mencukur rambut di sini boleh diakhirkan hingga akhir hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun jangan diundur setelah itu karena sebagian ulama katakan seperti itu akan terkena dam (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 134-135).
Rambut dinamakan dicukur atau dipendekkan jika diambil dari semua rambut, bukan hanya mengambil tiga rambut atau sekitar itu. Yang terakhir ini bukan dinamakan halq (mencukur) atau qoshr (memendekkan) (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
Sedangkan wanita cukup memotong satu ruas jari dari ujung rambutnya yang telah dikumpulkan (Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, 135).
 
Wajib ketujuh: Thowaf Wada’
Thowaf wada’ artinya thowaf ketika meninggalkan Ka’bah. Thowaf wada’ tidak ada roml di dalamnya (Fiqih Sunnah, 1: 518-519). Hukum thowaf ini adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal ini. Bagi yang meninggalkan thowaf wada’, maka ia dikenai dam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : "Janganlah seseorang pergi (meninggalkan Makkah), sampai akhir dari ibadah hajinya adalah thowaf di Ka’bah" (HR. Muslim no. 1327).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
Arinya : "Orang-orang diperintah agar akhir urusan ibadah hajinya adalah dengan thowaf di Ka’bah kecuali ada keringanan bagi wanita haidh."(HR. Muslim no. 1328).
Sebagian ulama -seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, mufti Saudi Arabia sebelumnya- berkata bahwa thowaf ifadoh itu sudah bisa mencukupi thowaf wada’ . Namun jika melakukan thowaf ifadhoh sendiri, lalu thowaf wada’, maka itu adalah kebaikan demi kebaikan. Tetapi, jika dicukupkan dengan salah satunya, maka itu pun sudah cukup (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid ke-17). Namun yang lebih hati-hati dalam hal ini adalah tetap mengerjakan thowaf ifadhoh sendiri dan thowaf wada’ sendiri. Karena thowaf wada’ itu berada di akhir setelah semua manasik selesai, sedangkan setelah thowaf ifadhoh mesti melakukan sa’i bagi yang belum menunaikan sa’i haji. Pendapat terakhir ini yang kami rasa lebih hati-hati (Mawqi’ Islam Web, fatwa no. 58685).
Thowaf wada’ ini dilakukan oleh selain penduduk Makkah. Adapun penduduk Makkah dan wanita haidh tidak disyari’atkan melakukan thowaf wada’ dan tidak ada kewajiban apa-apa (Fiqih Sunnah, 1: 519). 
Larangan Ketika Ihram
 
Yang dimaksud dengan larangan-larangan ihram yaitu hal-hal yang dilarang melakukannya disebabkan karena berada dalam keadaan ihram, dengan bahasa lain yaitu hal-hal yang di-haramkan karena ihram.
Yang dimaksud dengan larangan-larangan ihram yaitu hal-hal yang dilarang melakukannya disebabkan karena berada dalam keadaan ihram, dengan bahasa lain yaitu hal-hal yang di-haramkan karena ihram.
Dalam penjelasannya tentang larangan-larangan ihram, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin Rahimahullaah berkata: "Di antara larangan-larangan ihram adalah:
1. Mengadakan hubungan intim (jima’) antara suami dan isteri, ini adalah larangan ihram yang paling besar dosanya, dan paling berpengaruh (pada ibadah haji atau umrah yang sedang dilaksanakannya,-Pent). Dalil-nya firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
"...Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan ber-bantah-bantahan didalam masa menger-jakan haji... (QS. Al-Baqarah: 197).
Yang dimaksud rafats ialah melaksanakan jima’ dan hal-hal yang mengarah kepada jima’.
Dan jika terjadi jima’ sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar Jumratul ’Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah,-Pent), maka perbuatan tersebut mengakibatkan lima hal:
Dosa.
Ibadah hajinya rusak.
Harus menyelesaikan/menyempurnakan ibadah hajinya hingga selesai.
Wajib baginya membayar fidyah berupa seekor unta yang disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada para fuqara’.
Wajib mengqadha’ hajinya ditahun berikutnya.
Syaikh Rahimahullaah berkata: "Ini merupakan pengaruh-pengaruhnya yang besar, cukuplah bagi seorang mukmin untuk merasa takut dan menjauhinya.
2. Bercumbu rayu, mencium dan meman-dang dengan penuh syahwat serta segala sesuatu yang merupakan penyebab terjadinya hubungan intim, sebab perbuatan-perbuatan itu dapat menjerumuskan ke-pada jima’.
3. Mencukur rambut kepala berdasarkan pada firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
"...Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum binatang hadyu (kurban) sampai ditempat penyembelihannya... (QS. Al-Baqarah: 196)
Selanjutnya para ulama mengkiaskan mencukur rambut dengan mencukur ram-but anggota tubuh lainnya, termasuk memotong kuku.
4. Akad nikah, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
"Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang."
5. Meminang seorang wanita, berdasarkan hadits diatas.
6. Membunuh binatang buruan, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
"Hai orang-orang yang beriman jangan-lah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram..." (QS. Al-Maa-idah: 95)
7. Memakai wangi-wangian, baik dibadan, pakaian atau pada makanan dan minuman, berdasarkan hadits Rasulullah perihal se-orang yang meninggal karena terjatuh dan diinjak oleh untanya ketika sedang wukuf di ’Arafah  ("janganlah kamu kenakan wangi-wangian padanya").
Adapun bekas wangi-wangian yang dipakai sebelum berihram, maka tidak-lah mengapa dan tidak wajib baginya untuk menghilangkannya setelah berihram, hal ini berdasarkan hadits ’Aisyah Radhiallaahu anha :
"Aku pernah memakaikan minyak wangi kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berihram."
Beliau juga mengatakan:
"Sepertinya aku melihat kilauan minyak wangi Rasulullah dibelahan rambutnya, sedang beliau dalam keadaan ber-ihram."
8. Memakai pakaian berjahit yang membentuk tubuh, seperti kemeja (gamis), celana, jubah yang dijahit sambung dengan penutup kepala, sorban dan khuf, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang pakaian seorang yang berihram, beliau menjawab:
"Seorang yang berihram tidak boleh memakai baju, sorban, jubah yang disambung dengan penutup kepala, dan tidak pula pakaian yang dicelup dengan wars dan za’faran, tidak pula khuf, kecuali jika tidak mendapat sandal, dan hendaklah ia memotong-nya hingga kelihatan kedua mata kaki nya."
9. Menutup kepala dengan sesuatu yang me-nempel padanya secara langsung, seperti peci, topi dan sorban.
10. Khusus untuk wanita dilarang memakai niqab (sejenis penutup wajah), karena Nabi ; telah melarang seorang wanita memakai niqab ketika sedang ihram.
11. Dan memakai kaos tangan, dua hal ter-akhir (No. 10 dan 11) berdasarkan hadits ’Abdullah bin ’Umar h, Nabi bersabda:
"Janganlah seorang wanita yang ber-ihram mengenakan niqab (sejenis pe-nutup wajah,-Pent) dan jangan pula kaos tangan."
12. Mendekati perbuatan maksiat.
13. Permusuhan dan berbantah-bantahan dalam kebathilan. Kedua point terakhir ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 197 yang telah termaktub pada point pertama diatas.
14. Makan sebagian dari daging binatang buruan yang ia ikut andil dalam perburuannya, seperti dengan memberi isyarat kepada para pemburu ke arah binatang tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , ketika beliau ditanya oleh para Sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Abu Qatadah yang tidak ikut berihram, maka beliau menjawab:
"Adakah salah seorang di antara kamu yang menyuruhnya untuk menyerang (memburunya) atau memberi isyarat ke tempat binatang itu? Mereka berkata: ’Tidak’. Beliaupun bersabda: ’Maka, makanlah!’"
Dari kasus ini, dapat difahami bahwa seorang yang sedang ihram yang mempunyai andil dalam membantu si pemburu, tidak dibolehkan baginya memakan daging binantang buruan tersebut. Walaahu Ta’ala a’lam. 

Kesalahan-kesalahan Ketika Haji
Kesalahan ketika ihram | Kesalahan dalam thawaf | Kesalahan ketika sa`i | Kesalahan di Arafah | Kesalahan di Muzdalifah | Kesalahan ketika melempar jumroh | Kesalahan di Mina | Kesalahan ketika Thawaf Wada`
Selasa, 18 September 2012
Kesalahan ketika ihram
Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan`im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.


Kesalahan dalam thawaf
Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu `alaihi wa sallam.
Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma`il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka`bah, sedangkan Hijr Isma`il itu berada dalam Ka`bah.
Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
Mencium setiap pojok atau rukun Ka`bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.



Kesalahan ketika sa`i
Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa`i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
Ada yang melakukan sa`i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa`i akan berakhir di Marwah.
Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
Shalat dua raka`at setelah sa`i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
Tetap melanjutkan sa`i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama`ah terlebih dahulu.



Kesalahan di Arafah
Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan dam karena tidak melakukan yang wajib.
Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo`a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid`ah yang tidak pernah diajarkan.
Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.
 
Kesalahan di Muzdalifah
Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran. Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
Sebagian jama`ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.


Kesalahan ketika melempar jumroh
Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir "Allahu akbar".
Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama`ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa`i.
Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
Sebagian jama`ah haji dan biasa ditemukan adalah jama`ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.


Kesalahan di Mina
Melakukan thawaf wada` dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru. Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.
 
Kesalahan ketika Thawaf Wada`
Setelah melakukan thawaf wada`, ada yang masih berlama-lama di Makkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada` adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Makkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
Berjalan mundur dari Ka`bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada` dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid`ah.
Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.
 
Wallahu Ta`ala a`lam. Walhamdulillahilladzi bi ni`atihi tatimmush sholihaat.


Umrah
Mengingat ibadah umroh ini hukumnya sunnah, alangkah baiknya jika kita mendahulukan yang wajib, yakni berhaji. Dan dalam beribadah haji itu kita boleh sekaligus berniat umroh.
Umroh adalah berziarah ke Baitullah. Hukumnya sunnah, yakni apabila dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidaklah berdosa. Ada seseorang yang bertanya kepada Muhammad Rosulullah saw. perihal umroh, "Apakah itu wajib?" Nabi saw. bersabda, "Tidak, hanya saja jika engkau berumroh, maka itu lebih utama." (HR. Ahmad, dan Tirmidzi)

Mengingat ibadah umroh ini hukumnya sunnah, alangkah baiknya jika kita mendahulukan yang wajib, yakni berhaji. Dan dalam beribadah haji itu kita boleh sekaligus berniat umroh. ’Aisyah ra. mengisahkan bahwa ia dan para sahabat pergi haji bersama-sama Nabi Muhammad saw. Lalu beliau bersabda, "Siapa yang ingin ihrom untuk haji dan umroh sekaligus silahkan. Siapa yang ingin ihrom untuk haji saja juga silakan. Dan siapa yang ingin ihrom untuk umroh saja silakan." Muhammad Rosulullah saw. sendiri bersama sekelompok sahabat, menurut ’Aisyah ra, ihrom untuk haji. Sekelompok sahabat yang lain ihrom untuk umroh saja. Begitu juga aku, ihrom untuk umroh saja.’’ (HR. Muslim)

Hukum ibadah umroh ini bisa menjadi wajib atau sunnah, Umroh yang terhitung wajib adalah:

  • umrotul Islam, yakni umroh yang baru pertama kali dilak­sanakan.
  • umroh yang harus dilaksanakan karena nadzar.

Ibadah umroh yang terhitung sunnah adalah umroh yang dilaksanakan untuk kedua kali, dan seterusnya.

Ada dua waktu yang utama untuk melaksanakan umroh, yaitu:
  1. Umroh pada Bulan Romadhon. Ibnu Abbas ra. mengutararakan, Muhammad Rosulullah saw. pernah bertanya kepada seorang wanita dari golongan Anshor bernama Ummu Sinan, "Apa keberatanmu untuk tidak pergi haji bersama-sama kami?" Ummu Sinan menyatakan, "Kami hanya mempunyai dua ekor unta. Yang satu dipakai suamiku pergi haji bersama anaknya, sedang yang satu lagi dipakai pembantu kami untuk menyiram kebun." Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Jika begitu, umrohlah nanti pada bulan Romadhon. Nilainya sama dengan haji bersamaku." (HR. Muslim) Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Melakukan ibadah umroh (haji kecil pada bulan Romadhon seperti mengamalkan ibadah haji atau seperti haji bersamaku." (HR. Bukhori)
  2. Umroh dalam Bulan Dzulqoidah. Anas ra. mengabarkan, "Rosulullah saw. mengerjakan umroh empat kali. Semua itu beliau kerjakan dalam bulan Dzulqoidah, selain yang dikerjakannya bersama- sama haji. Di antaranya umroh yang beliau lakukan dari Hudaibiyah sewaktu berlaku perdamaian Hudaibiyah, dan umroh yang beliau kerjakan dari Ji’ronah ketika membagi-bagikan harta rampasan perang Hunain." (HR. Muslim)

Keutamaan melaksanakan ibadah umroh beberapa kali, adalah menghapus dosa-dosa di antaranya. Abu Huroiroh ra. mengemukakan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Masa dari satu umroh ke umroh berikutnya adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tidak lain hanyalah surga." (HR. Muslim)

Syarat Umroh sama dengan syarat haji, yaitu:
  1. Islam;
  2. baligh (dewasa);
  3. aqil (berakal sehat);
  4. merdeka (bukan budak); dan
  5. istitho’ah.

Rukun Umroh, yaitu:
  1. ihrom disertai niat;
  2. thowaf atau mengelilingi ka’bah;
  3. sa’i;
  4. tahallul; dan
  5. tertib atau berurutan.

Wajib-wajib Umroh:

  • Ihrom dari Miqot:
- Miqot Zamani (batas waktu), yakni dapat dilakukan sewaktu- waktu;
- Miqot Makani (batas tempat mulai ihrom), seperti halnya haji.
  • Menjaga diri dari larangan ihrom yang jumlahnya sebanyak larangan haji.
Tentang keutamaan haji dan umroh diterangkan dalam hadits.

Abdullah bin Mas’ud menyatakan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Satukanlah haji dan umroh, karena keduanya menghilangkan dosa-dosa sebagaimana dapur api menghilangkan kotoran besi, emas, dan perak. Dan haji mabrur itu pahalanya tidak lain adalah surga." (HR. Nasa’i dan Tirmidzi)

Wukuf di Arofah
Orang-orang Quraisy dan orang-orang yang seagama dengan mereka, dulu wukuf di Mudzalifah. Mereka dinamakan Al-Hums� (pemberani). Tetapi orang-orang Arab lainnya wukuf di Arofah. Ketika Islam datang, Allah Azza wa Jalla ...
2.    Wukuf di Arofah, adalah berhenti di Padang Arofah sejak tergelincirnya matahari tanggai 9 Dzulhijjah sampai terbit fajar pada tanggai 10 Dzulhijjah.

’Aisyah ra. menuturkan, "Orang-orang Quraisy dan orang-orang yang seagama dengan mereka, dulu wukuf di Mudzalifah. Mereka dinamakan Al-Hums’ (pemberani). Tetapi orang-orang Arab lainnya wukuf di Arofah. Ketika Islam datang, Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada nabi-Nya supaya datang ke Arofah dan wukuf di sana. Setelah itu berangkat dari sana bersama-sama. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: ’Kemudian berangkatlah kamu dari tempat orang banyak berangkat (Arofah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. 2/Al-Baqoroh: 199)." (HR. Muslim)

Abdurrohman bin Ya’mur menceritakan, bahwa orang-orang Najd telah datang kepada Rosulullah saw. sewaktu beliau sedang wukuf di Padang Arofah. Mereka bertanya kepada beliau, lalu beliau menyuruh orang supaya mengumumkan: "Haji di Arofah’’. Artinya yang terpenting dalam urusan haji adalah hadir di Arofah. Barangsiapa yang datang pada malam sepuluh sebelum terbit fajar, sesungguhnya ia telah mendapatkan waktu yang sah." (HR. Lima ahli hadits)

3.    Thowaf, adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 (tujuh) kali, dengan syarat:


  • suci dari hadats dan najis baik badan maupun pakaian.
’Aisyah ra. memberitahukan, bahwa ia datang ke Mekah ketika dalam keadaan haid (menstruasi), maka ia tidak melakukan thawaf di Ka’bah dan juga tidak bersa’i antara Shofa dan Marwah. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad saw., maka beliau bersabda, "Kerjakanlah apa yang biasa dikerjakan oleh orang haji hanya engkau tidak boleh thowaf di Baitullah sebelum engkau suci." (HR. Empat ahli hadits)
menutup aurat;

  • Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang mengelilingi,dan memulai thowaf dari arah Hajar Aswad (batu hitam) yang terletak di salah satu pojok di luar Ka’bah. Jabir ra. menceritakan, "ketika Nabi besar Muhammad saw. sampai di Mekkah, beliau mendekat ke Hajar Aswad. Lalu beliau sapu Hajar Aswad itu dengan tangan beliau kemudian berjalan cepat tiga kali keliling dan berjalan biasa empat kali keliling." (HR Muslimdar, Nasai).
Thowaf ada lima macam:
>          Thowaf Qudum, adalah thowaf yang dilakukan ketika bani sampai di Mekah
>          Thowaf Ifadhoh, adalah thowaf yang menjadi rukun haji;
>          Thowaf Sunnah, adalah thowaf yang dilakukan semata-mata mencari ridho Allah SWT.
>          Thowaf Nadzar, adalah melakukan thowaf untuk memenuhi nadzarnya.
>          Thowaf Wada’, adalah thowaf yang dilakukan sebelum meninggalkan kota Mekah (sebagai perpisahan).
4.         Sa’i, adalah lari-lari kecil atau jalan cepat antara Bukit Shofa dan Marwah. "Sesungguhnya Shofa dan Mirwah merupakan bagian dan syiar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitulli atau berumroh, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya." (QS. 2/Al-Baqoroh: 158) Allah SWT katakan "tidak ada dosa" sebab sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa’i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. Dan pada masa jahiliyah tempat itu pun digunakan sebagai tempat sa’i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat ini. Shofiyah binti Syaibah ra. mengutarakan, seorang wanita telah mengabarkan kepadanya bahwa dia telah mendengar Rosulullah saw. bersabda di antara Bukit Shofa dan Marwah: "Telah diwajibkan atas engkau sa’i, maka hendaklah engkau kerjakan". (HR. Ahmad)
Syarat melakukan sa’i adalah:
  • melakukannya setelah thowaf qudum, dan sebanyak tujuh kali. Ibnu Umar ra. menceritakan, Nabi saw. datang di Mekah lalu ia thowaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali, lalu sholat dua rokaat di belakang Maqom (lbrohim), dan (dilanjutkan) sa’i antara shofa dan Marwah sebanyak tujuh kali." (HR. Lima ahli Hadits, kecuali Abu Dawud)
  • memulainya dari Bukit Shofa dan mengakhirinya di Bukit Marwah. Jabir ra. mengabarkan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Hendaklah kalian mulai (sa’i) dari yang terlebih dulu disebut Allah dalam Al-Qur’an (Bukit Shofa)". (HR. Nasai)
5.      Tahallaul adalah mencukur atau memotong rambut sebagai tanda selesainya melaksanakan serangkaian kegiatan dalam ibadah haji. Sedikitnya memotong tiga helai rambut. Rahmat Allah bagi yang menyelesaikan hajinya dengan tahallul. Muhammad Rosulullah saio. bersabda: "Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka yang mencukur rambutnya." Mereka (para sahabat) mengatakan, "Yang memendekkan rambutnya juga, ya Rosulullah Nabi Muhammad saw. mengatakan : "Juga yang memendekkan rambutnya." (HR Muslim).

6.       Tertib, yaitu menjalankan rukun haji secara berurutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar