Kejujuran Rasulullah
Kejujuran Rasulullah Ketika bulan Rajab hadir, nyaris seluruh umat Islam teringat akan peristiwa isra' dan mi'rajnya Rasulullah Saw. Yaitu, peristiwa hilangnya kanjeng Rasul Saw. di separuh malam dan kembali dengan membawa 'pesan' dari Sidratul Muntaha untuk menunaikan sholat lima waktu. Kejadian 'wisata' malam itu merupakan ujian untuk umat Islam. Seberapa besarkah keyakinan meraka terhadap kejujuran Rasulullah Saw. dan risalah yang dibawanya? Ya, 'wisata' itu bukan hanya bagian dari mukjizat Rasulullah, tapi juga bagian dari 'penyeleksian' keimanan umat Islam, baik mereka yang mendengar cerita Rasulullah secara langsung maupun mereka yang tak bertemu, namun hidup di zaman yang serba ingin membuktikan segala hal yang tak mungkin menurut akal mereka, tapi pernah terjadi di masa-masa sebelumnya.
Ternyata, 'penyeleksian' keimanan itu pun menuai banyak hasil. Ada yang semakin taat dan percaya kepada Rasulullah, bahkan ada yang menyatakan bahwa lebih dari itu pun mereka sangat mempercayainya. Namun, tak sedikit juga 'vonis' keras datang dengan menegaskan bahwa 'wisata' Rasulullah malam itu hanya cerita 'fiktif' belaka, sehingga mereka pun menjadi kafir. Sungguh, 'penyeleksian' keimanan yang selektif terjadi saat membawa 'pesan' shalat lima waktu.
Kini, yang perlu menjadi pusat perhatiaan umat Islam hanya satu. Yaitu, pentingnya kejujuran. Kenapa Abu Bakar begitu meyakini cerita 'wisata' Rasulullah dari Mesjdil haram ke Mesjidil Aqsha kemudian dilanjutkan naik ke langit ketujuh dengan mengenderai Buraq dan 'bertemu' dengan Allah di Sidratul Muntaha? Jawabannya hanya satu, karena 'buah' sifat jujur Rasulullah Saw.
Bukan cerita asing lagi bagaimana kejujuran Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul. Seluruh orang Quraisy bahkan Abu Jahal, pembesar suku Quraisy sekalipun sangat mengakui kejujuran Rasulullah. "Inna la nukadzdzibuka wa lakin nukadzdzibu alladzi ji 'ta bihi" (Sesungguhnya kami tidak mendustaimu, hanya saja kami mendustai ajaran yang kamu bawa)", demikian komentar Abu Jahal akan kejujuran kanjeng Rasul Saw, Muhammad bin Abdullah di hadapan suku Quraisy.
Bahkan, jika dirunut lebih jauh dan mendalam. Khadijah, isteri Rasulullah Saw. yang selalu bersamanya, sungguh, sangat mengagumi kejujuran Rasulullah. Sehingga kata-kata kekagumannya itu pun muncul bak air mengalir ketika Rasulullah menerima wahyu pertama kali, "Absyir, pa waallahi la yukhjikaallahu abadan.fa waallahi innaka latashilurrahma wa tusyaddiqol haditsa" (Bergembiralah, Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Demi Allah, seseungguhnya kamu adalah orang yang senantiasa menjalin hubungan silaturrahmi dan selalu berkata benar)", ujar Khadijah sambil menenangkan Rasulullah yang begitu ketakutakan setelah bertemu Jibril di gua Hira.
Juga, Rasulullah Saw. sendiri pun mengakui akan kejujurannya. Pengakuan itu terjadi saat Abdullah bin Umar sedang menulis hadits yang baru didengarnya dari Rasulullah, dan ingin menghapalnya. Tiba-tiba datang beberapa orang dari suku Quraisy melarang dan menahannya untuk menulis. Kemudian mereka mengatakan, "Apa benar kamu sedang menulis hadits yang kamu dengar dari Rasulullah? Bukankah Rasulullah juga manusia yang berbicara saat marah dan senang?". Abdullah bin Umar pun berhenti menulis. Dengan rasa tak puas, ia datang menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan sigap Rasulullah Saw. berkata, "Uktub, fa waalladzi nafsi biyadihi ma kharaja minni illa haqqun (Tulislah, demi diriku dalam genggaman-Nya, apapun yang kuucapkan tidak lain adalah kebenaran)".
Subhanallah, sifat jujur Rasulullah Saw. bukan saja tampak dalam kondisi serius. Saat sedang bercanda, kanjeng Rasul Saw. pun tetap konsisten berperilaku jujur. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa datang seorang wanita yang sudah lansia menemui Rasulullah dan memohon agar didoakan masuk surga. Lantas Rasulullah Saw. menjawab, "Ya umma fulan, innal jannata la tadkhullah 'ajuzun (Wahai ibu, sungguh surga itu tidak akan dimasuki wanita tua)". Kontan, wanita tua itu menangis. Kemudian Rasulullah Saw berkata kembali, "Aku mendapat kabar bahwa tidak akan masuk surga wanita yang sudah tua, karena Allah mengatakan," Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan sebaya umurmya." (Qs. Al-Waaqi'ah [56]: 35-37). Seketika itu juga wanita yang menangis tadi pun tersenyum, dan mengetauhi bahwa di dalam surga tidak ada lagi yang tua, semuanya dijadikan muda.
Karena itu, Rasulullah senantiasa mengingatkan umatnya untuk selalu berkata jujur dan menjauhi sifat dusta. Rasulullah berpesan, "Berperilaku jujurlah kamu. Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan. Kebaikan menunjukkan jalan menuju surga. Setiap manusia yang selalu berkata jujur dan memilih kejujuran hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhi kamulah sifat sombong. Sesungguhnya kesombongan itu menuntun ke arah kedurhakaan. Kedurhakaan membawa ke neraka. Setiap manusia yang selalu berbohong dan memilih kebohongan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta."
Semoga dengan memperingati momentum 'wisata' isra' dan mi'rajnya Rasulullah Saw. kita dapat menempa diri menjadi manusia yang jujur. Karena mengikuti sifat Rasulullah adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran [3] : 31). Rabbana Yahdiina