Sejarah Hidup Muhammad SAW: Para Muslim Pelopor
REPUBLIKA.CO.ID, Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid bin Haritsah, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Rasulullah: beliau sendiri, isterinya, keponakannya dan bekas budaknya.
Pada waktu itu, Abu Bakar bin Abi Quhafah dari kabilah Taim adalah teman akrab Nabi SAW. Abu Bakar senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya Muhammad sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, Abu Bakar adalah orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala.
Abu Bakar kemudian mengajak Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Zubair bin Awwam untuk memeluk Islam. Kemudian menyusul pula Abu Ubaidah bin Jarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Makkah. Mereka, Assabiqunal Awwalun, (para Muslim pelopor) selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama Islam dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisme, maka kaum Muslimin masih sembunyi-sembunyi. Apabila akan melakukan shalat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Makkah. Keadaan ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam kian meluas di kalangan penduduk Makkah. Wahyu yang datang kepada Nabi Muhammad selama itu makin memperkuat keimanan kaum Muslimin.
Sebenarnya, yang kian menambah pesatnya perkembangan dakwah Islam adalah teladan baik yang diberikan Rasulullah. Beliau adalah sosok yang penuh bakti dan kasih sayang, sangat rendah hati dan tegas. Tutur katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Makkah yang sudah mengenal arti kesucian, menyadari arti kebenaran, pengampunan dan rahmat; beriman kepada ajaran Muhammad SAW. Semua kaum yang lemah, sengsara dan tidak berpunya, beriman kepadanya. Ajaran Islam tersebar di Makkah, orang berbondong-bondong memeluk agama ini, pria dan wanita.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya beliau mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang: "Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih sayang kepada orang-orang beriman yang mengikuti kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu." (QS Asy-Syuara'a: 214-216).
"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kau hiraukan orang-orang musyrik itu." (QS Al-Hijr: 94).
Rasulullah pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya untuk bicara dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, menghentikan pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya, Rasulullah mengundang mereka kembali.
Selesai makan, Nabi SAW berkata kepada mereka, "Aku tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang kubawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?"
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Namun tiba-tiba Ali—yang kala itu masik kanak-kanak—bangkit berdiri. "Wahai Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah lawan siapa saja yang kau tentang."
Bani Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.
Setelah itu, Rasulullah mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarga yang dekat kepada seluruh penduduk Makkah. Suatu hari beliau naik ke bukit Shafa dan berseru, "Hai masyarakat Quraisy."
Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"
"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta."
"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," kata Rasulullah. "Wahai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdi Manaf, Bani Zuhrah, Bani Taim, Bani Makhzum dan Bani Asad, Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain mengatakan, "Tidak ada tuhan selain Allah."
Abu Lahab, pamannya sendiri, kemudian berdiri sambil berteriak, "Celaka kau hari ini! Untuk inikah kau kumpulkan kami?"
Nabi SAW tak mampu berkata-kata. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu Allah: "Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya..." (QS Al-Masad: 1-4).
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Makkah. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang berislam—menyerahkan diri kepada Allah.
Pada waktu itu, Abu Bakar bin Abi Quhafah dari kabilah Taim adalah teman akrab Nabi SAW. Abu Bakar senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya Muhammad sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, Abu Bakar adalah orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala.
Abu Bakar kemudian mengajak Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Zubair bin Awwam untuk memeluk Islam. Kemudian menyusul pula Abu Ubaidah bin Jarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Makkah. Mereka, Assabiqunal Awwalun, (para Muslim pelopor) selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama Islam dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisme, maka kaum Muslimin masih sembunyi-sembunyi. Apabila akan melakukan shalat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Makkah. Keadaan ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam kian meluas di kalangan penduduk Makkah. Wahyu yang datang kepada Nabi Muhammad selama itu makin memperkuat keimanan kaum Muslimin.
Sebenarnya, yang kian menambah pesatnya perkembangan dakwah Islam adalah teladan baik yang diberikan Rasulullah. Beliau adalah sosok yang penuh bakti dan kasih sayang, sangat rendah hati dan tegas. Tutur katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Makkah yang sudah mengenal arti kesucian, menyadari arti kebenaran, pengampunan dan rahmat; beriman kepada ajaran Muhammad SAW. Semua kaum yang lemah, sengsara dan tidak berpunya, beriman kepadanya. Ajaran Islam tersebar di Makkah, orang berbondong-bondong memeluk agama ini, pria dan wanita.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya beliau mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang: "Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih sayang kepada orang-orang beriman yang mengikuti kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu." (QS Asy-Syuara'a: 214-216).
"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kau hiraukan orang-orang musyrik itu." (QS Al-Hijr: 94).
Rasulullah pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya untuk bicara dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, menghentikan pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya, Rasulullah mengundang mereka kembali.
Selesai makan, Nabi SAW berkata kepada mereka, "Aku tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang kubawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?"
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Namun tiba-tiba Ali—yang kala itu masik kanak-kanak—bangkit berdiri. "Wahai Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah lawan siapa saja yang kau tentang."
Bani Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.
Setelah itu, Rasulullah mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarga yang dekat kepada seluruh penduduk Makkah. Suatu hari beliau naik ke bukit Shafa dan berseru, "Hai masyarakat Quraisy."
Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"
"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"
"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta."
"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," kata Rasulullah. "Wahai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdi Manaf, Bani Zuhrah, Bani Taim, Bani Makhzum dan Bani Asad, Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain mengatakan, "Tidak ada tuhan selain Allah."
Abu Lahab, pamannya sendiri, kemudian berdiri sambil berteriak, "Celaka kau hari ini! Untuk inikah kau kumpulkan kami?"
Nabi SAW tak mampu berkata-kata. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu Allah: "Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya..." (QS Al-Masad: 1-4).
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Makkah. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang berislam—menyerahkan diri kepada Allah.