Isra' Mi'raj : Fase Baru Perjuangan Rasulullah SAW (II)*
Propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter makin gencar disebarluaskan oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Dia dituduh sebagai orang gila, tukang syair atau tukang utak-atik bahasa. Bahkan tuduhan tukang klenik, dukun dan tukang sihir (yang merupakan bagian dari keseharian mereka) kini dilemparkan juga ke muka Rasulullah SAW.
Gong �demokrasi terpimpin� makin berkumandang. Seleksi alam makin terbentuk. Rasulullah SAW semakin berani menorehkan garis pemisah antara kawan dengan lawan. Dengan cerdas dia merumuskan dan memetakan mana yang sosialis mana yang anti-sosial; mana yang berani membela keadilan dan mana yang menjadikan ketidakadilan sebagai motor perjuangannya. Bagi Nabi Muhammad, mereka yang hatinya sakit, masih mungkin diperbaiki dan direhabilitasi, tetapi bagi yang hatinya mati dan membeku (munafik) menjadi sulit untuk ditoleransi, karena yang menjadi roh perjuangannya cukup jelas: mengajak kepada kejahatan dan menghalang-halangi kebaikan dan perbaikan.
Barangkali diantara mereka ada yang kejangkitan penyakit narsis, lantas berpretensi seakan-akan dirinyalah yang sedang mengadakan perbaikan dan pelestarian, sedangkan Rasulullah SAW dan kawan-kawan, kerjaannya cuma bikin onar dan koar-koar di depan massa rakyat. Selain itu tuduhan sebagai tukang agitator pun bermunculan, seakan-akan Nabi Muhammad itu kerjaannya cuma mengganggu dan mengusik ketentraman warga, hingga mencerai-beraikan hubungan keluarga dan rumah-tangga, antara orang tua dengan anak-anakanya ; antara majikan dengan para buruh dan budak-budak mereka. Semua tuduhan itu disadari Nabi Muhammad dengan sepenuh hati, bahwa inilah konsekuensi dari perjuangan revolusi (rohani), yang boleh jadi seseorang terpaksa harus mengorbankan saudaranya dan keluarganya sendiri. Bahkan pada titik tertentu, kebencian dan permusuhan pun bisa dibenarkan selagi ia berfungsi demi tegaknya kebenaran dan keadilan (agama Allah).
Huru-hara dan kekacauan makin terjadi di mana-mana. Rasulullah SAW dan para sahabat mengadakan inspeksi dan pemantauan di setiap penjuru. Tentu saja banyak orang beranggapan bahwa gara-gara ulahnya Muhammad-lah yang menimbulkan terjadinya kekacauan ini. Tapi Nabi Muhammad bukanlah tipe seorang revolusioner pengecut yang mudah melepaskan tanggungjawab. Dia bukanlah tipe pemuda progresif yang mudah terjebak untuk memihak thesis, untuk kemudian berkhianat memihak anti-thesis. Dia cukup terampil mencari solusi dan penyelesaian. Intervensi kebaikan dan jiwa sosialis tak pernah luntur dalam dirinya. Sinthesis terus digali dan ditelusuri. Pada penyandang dana dan sukarelawan dikerahkan. Para sahabat menafkahkan hak-miliknya untuk mendukung dan menyemarakkan cita-cita perjuangannya. Seorang sahabat terdekat malah mengorbankan segala kekayaannya demi untuk membebaskan dan memerdekakan para budak yang teraniaya.
Masalah ekonomi akhirnya menjadi perkara serius bagi musuh-musuh Rasulullah SAW. Hak ber-usaha dan mencari nafkah semakin diganggu dan direcoki. Perdagangan dirusak, bahkan properti dan kekayaan dirampasi. Para sauadara dan kerabat terdekat dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot di mana-mana, sampai kemudian mereka dilarang keras mengadakan transaksi dan perdagangan. Komando permusuhan terus digelar, hingga mereka betul-betul terisolasi dan terkucilkan di setiap penjuru. Pemboikotan itu menjadi sah secara �konstitusional� karena telah dilegitimasi oleh para pembesar dan penguasa mereka.
Pada suatu hari ketika persediaan makanan sudah habis, dan bahan makanan sulit diperoleh, mereka pun menderita kelaparan, hingga tulang-tulang onta terpaksa direbus untuk dijadikan bubur dan sup sebagai makanan pokok sehari-hari. Tak berapa lama setelah masa pemboikotan itu, Abu Thalib sang paman yang pernah mengasuh dan menghidupinya, meninggal dunia. Tiga bulan kemudian Siti Khadijah, istri tercinta yang selama ini menjadi penunjang semangat dan penggalang dana, juga meninggal dunia.
Kesedihan dan kedukaan semakin menjadi-jadi. Dalam situasi penuh penderitaan itu tentu saja menjadi roh semangat dan sorak-sorai bagi musuh-musuhnya. Keangkuhan dan kesombongan semakin merajalela.