Hikmah Tahun Baru Islam
Berbeda dengan pergantian tahun lalu dimana pergantian tahun baru Masehi lebih awal beberapa hari dibandingkan dengan tahun Hijriyah. Dimana tahun baru masehi dirayakan dengan penuh gegap gempita, pesta pora di mana-mana, kembang api dll
Menyadari hakikat tahun baru hijrah, umat Islam sebagai umat terbaik dan sepatutnya menjadi suri tauladan yang baik kepada orang lain haruslah mempunyai cara dan sikap yang menjunjung tinggi ajaran wahyu dalam menyambut datangnya tahun baru hijrah, agar dapat membedakan dengan cara dan adat orang lain.
Sebagai Ummat Islam, Ummat Nabi Muhammad SAW, sepatutnya kita menyambut pergantian tahun yang ditentukan oleh Allah sebagai tahun yang dipakai dalam penentuan waktu dalam menjalankan Syariat Islam. Cara memperingati tahun baru seperti yang Rasulullah SAW sabdakan: " Barangsiapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharram, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta`ala menjadikan kaffarat / tertutup dosanya selama 50 tahun.
Pada awal tahun Hijriyah itulah permulaan fajar Islam mulai menyingsing dengan di awali dengan Hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sabiqulan awwalun dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Itulah tonggak sejarah Islam, Ummat Islam, dicanangkan ke seluruh dunia. Kedatangan tahun baru Islam agak sepi akibat begitu lama umat Islam terjajah dan terlalu membesar-besarkan penggunaan kalendar masehi dibandingkan tahun hijrah dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini menyebabkan umat Islam sendiri tidak ingat bulan-bulan dalam Islam kecuali Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah saja.
Inilah antara lain usaha besar kaum kuffar merusak serta menjauhkan umat Islam dari ruh Islam, termasuk memastikan umat Islam tidak menghayati tahun hijrah dalam kehidupan. Agak jarang umat Islam mengucapkan selamat tahun baru, umat Islam sudah terjajah oleh budaya kuffar. Mungkinkah umat Islam mampu memperkasai kembali penggunaan tahun baru hijrah. Jawabannya ada pada tindakan dan kesungguhan umat Islam dalam merealisasikannya. Jika dalam pemakaian tahun pun susah kita berhijrah maka mungkinkah kita mampu hijrah dari sistem jahiliah kepada sistem Islam.
Marilah kita berhijrah dari jahiliah kepada Islam, kufur kepada iman, lemah kepada kuat, sesat kepada kebenaran, kegelapan kepada cahaya, dosa kepada pahala, mundur kepada maju. Oleh karenanya marilah insaf bahwa jika kita ingin mengembalikan ruh hijrah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat sehingga Islam mampu merajai dunia maka kita harus kembali kepada Islam dalam secara ”kaffah” atau totalitas dalam semua aspek kehidupan. Sebagaimana kita ketahui bersama hijrah Nabi Muhammad shallalahu `alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah telah membawa perubahan besar terhadap peradaban umat manusia, perubahan dari zaman jahiliah menuju peradaban madaniah di bawah naungan cahaya Illahi dengan kata lain Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melakukan perubahan yang paling fundamental dalam kehidupan, dari kehidupan yang tidak memiliki peradaban ke arah kehidupan yang penuh rahmat ampunan dan kasih sayang.
Teladan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam kepada kita semua, memberikan inspirasi penting untuk membangun sebuah peradaban baru di masa yang akan datang, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana beliau mulai membangun peradaban Islam dari tataran induvidual menuju tataran sosial yang lebih baik. Pada tataran individual Rosullalah menegakkan hakidah nafsiah yaitu menegakkan hakidah dalam diri setiap insan. Hal ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang kita rencanakan untuk berubah justru harus dimulai dengan melakukan perubahan dari diri sendiri. Perubahan yang kemudian lebih meluas membangun komitmen bersama kearah pembentukkan sebuah tatanan kehidupan yang diterapkan pada masyarakat Madinah.
Rasullalah shallalahu `alaihi wasallam membangun sebuah konsep sya`riah istima`yah yaitu konsep hukum kemasyarakatan yang meliputi penegakkan hukum, sosial, politik dan ketatanegaraan. Dari Madinah lah kita menyaksikan apa yang dikenal dengan persamaan di depan hukum dan pemerintahan, dipraktekkan secara bermartabat dan beradab, dari Madinah pula kita menyaksikan bagaimana hukum ditegakkan secara lugas, demikian juga dengan kerjasama antar kelompok yang berbeda keyakinan agamanya, tentu masih banyak pelajaran berharga yang kita petik dari Rasulullah, karena itulah tidak berlebihan kalau penulis menggunakan kesempatan yang sangat membahagiakan ini, untuk menyeruhkan kepada seluruh umat Islam di tanah air agar senantiasa mempelajari, menggali dan mengaktualisasikan semuanya itu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sekian ragam peristiwa penting Islam, peristiwa hijrah sesungguhnya menempati posisi yang utama. Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab, melainkan juga menjadi titik balik peradaban Islam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam. Harapannya, tentu di samping memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual.
Puncak kegemilangan sejarah Islam lewat momen hijriyah patut dibilang sebagai sebuah revolusi tanpa kekerasan yang pertama kali dalam sejarah. Dalam waktu yang cukup singkat Muhammad mampu mengubah wajah Kota Madina dari pola masyarakat yang diskriminatif, primordialis-fanatis dan eksklusif menjadi masyarakat yang terbuka, egaliter, dan penuh dengan nilai-nilai persaudaraan. Kota Madina yang awalnya selalu diselimuti oleh pertentangan antarsuku menjadi komunitas yang dipenuhi oleh semangat kolektif untuk membentuk peradaban baru.
Atas kesuksesan ini sangat beralasan bila Michael Hart dalam The 100: A Rangking of The Most Influental Person in History telah menempatkan Muhammad pada urutan pertama. Muhammad tidak hanya sukses membangun peradaban baru Islam tetapi juga mampu mengkombinasikan unsur sekuler dan agama dalam satu racikan peradaban Madina. Muhammad tidak hanya tampil sebagai seorang agamawan yang selalu mendermakan pesan spiritualnya, tetapi ia juga tampil sebagai negarawan yang adil dan bijaksana. Islam telah didudukkan tidak hanya sebagai agama yang berisi panduan ritual, tetapi juga sebagai etik-moral yang selalu hidup di tengah masyarakat.
Menyadari keagungan sejarah “hijrah” ini maka tidak khilaf apabila umat Islam menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini mempunyai arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madina.
Apa yang diharapkan dengan dijadikannya hijriyah sebagai tahun baru Islam? Pada tanggal 1 Muharram 1430 nanti —yang bertepatan dengan 29 Desember 2008—kembali umat Islam memperingati sejarah sucinya. Sudah seribu empat ratus dua puluh tujuh tahun peristiwa ini berlalu. Namun, semenjak itu pula semangat hijriyah tidak pernah usang dimakan zaman karena selalu disegarkan dengan peringatan dan perayaan setiap tahunnya. Oleh karenanya, setiap kali umat Islam merayakan tahun barunya seketika itu pula semangat umat Islam disegarkan.
Setiap tahun kaum muslim kembali diingatkan dengan memori keemasan sejarahnya. Dan, setiap tahun pula semangat dan makna hijriyah ini akan menjadi kekuatan yang merevitalisasi dan mampu mendorong semangat umat Islam. Tentunya semangat hijrah diharapkan mampu menjadi semangat baru bagi umat Islam dalam memulai sejarahnya pada detik ini dan pada masa selanjutnya. Karenanya, makna hijriyah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik.
Melihat kenyataan ini Indonesia tampaknya harus menjalani hukum sejarah dari sebuah peradaban. Tentunya bangsa ini tidak memaknai “hijrah” dengan perpindahan fisik layaknya “hijrah”nya Nabi meningalkan Makkah. Yang bisa dilakukan oleh bangsa ini adalah hijrah maknawi. Artinya, bangsa Indonesia butuh semangat “hijrah” dari kemerosotan ekonomi, sosial, politik dan hukum menuju peradaban yang mencerahkan. Peradaban yang lebih menjamin kesejahteraan masyara-kat, keterbukaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tahun baru hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, hijriyah yang diperingati oleh umat Islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang subtantif, produktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial.
Pada momen ini bangsa Indonesia berkesempatan untuk menguak makna dan semangat hijriyah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah berarti pula berubah untuk membangun peradaban baru seperti Nabi meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban. Semoga bangsa Indonesia mampu “hijrah” dari penderitaan yang membelitnya menuju bangsa yang berkeadaban.