" My Parent "
Tampilkan postingan dengan label Ruwahan Tradisi Islam ?. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ruwahan Tradisi Islam ?. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Juli 2013

Ruwahan, Tradisi Islam ?

Telah menjadi tradisi sebagian umat muslim di Indonesia ketika masuk bulan syakban melakukan ritual ruwahan. Ruwah adalah bulan ketujuh Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Syakban. Kata ruwah itu sendiri konon berasal dari kata "arwah" atau roh para leluhur/nenek moyang. Dari akar kata inilah, bulan Syakban diin­dentikkan dengan bulan menge­nang arwah keluarga dan nenek moyang yang telah mendahului kita. Adapun cara mengenang arwah para pen­dahulu tersebut biasanya dengan mengadakan zia­rah kubur, sedekah dan berdoa (tah­lilan, dll).
Tradisi ruwahan yang berkembang di Indonesia me­mang bukan ber­asal dari Islam, karena tradisi se­macam ini adalah berasal dari tradisi "nyadran" (datang ke makam leluhur untuk memberikan doa) yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit ketika ia mendoakan ibundanya Ratu Gayatri dan roh nenek moyang­nya yang telah diperabukan.
Perlu kita renungi bahwa masuknya Islam ke Nusantara ini tidak melalui kekerasan, akan tetapi melalui tiga tahapan yang membawa kedamaian, yaitu pertama, tahapan adaptasi. Ke­dua, tahapan akomodasi, dan ketiga, tahapan seleksi.
Pada masa penyebaran Is­lam, Wali Songo tidak menolak tradisi ini. justru mengadopsinya menjadi ritual yang ber­tujuan mendoakan orang tua di alam barzah seiring dengan sabda Rasulullah saw: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang soleh." (HR Muslim).
Dalam mengadopsi ritual ini, para ulama nusantara yang di­pelopori Wali Songo sangat se­lektif dalam substansi ritual, mulai dari bacaan, perbuatan dan peruntukan sajian yang disiapkan. Dengan mengubah bacaan yang dipakai menjadi bacaan islami, mulai dari membaca Alquran, doa-doa dan zikir, demikian juga mengubah perbuatan menjadi yang tidak melanggar syariat serta meluruskan niat pada sajian yang dihidangkan maka berubahlah substansinya menjadi penghambaan terhadap Allah SWT, meskipun dengan tetap melestarikan tradisi yang men­jadi budaya bangsa. Allah swt berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bo­doh." (QS. Al-A'raf [7]:199).
Kata 'urf' pada ayat ini adalah makruf. Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang baik, tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pengertian kemasyarakatan kata makruf dipergunakan dalam arti adat kebiasaan dan muamalah dalam suatu masyarakat. Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara dan waktu. (Kementerian Agama RI, 3: 555-556).
Dari sisi substansinya, ruwahan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal itu bisa dipahami dari beberapa hal. Pertama bahwa ziarah ke kubur adalah hal yang diperbolehkan Rasulullah saw bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang ziarahilah kuburan, karena sesungguhny ziarah itu mengingatkan kalian kepada akhirat." (HR Muslim).
Kedua, bakti seorang anak tetap bisa dipersembahkan kepada orang tuanya, meskipun kedua orang tuanya atau salah satu di antara keduanya telah meninggal. Dan salah satu caranya adalah dengan mendoakan mereka. (lih. HR. Muslim).
Ketiga, sedekah adalah perbuatan mulia yang mendapatkan ganjaran berlipat dari Allah swt. Allah swt berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 261).
Keempat, masalah tujuan tergantung niat seseorang, karenanya dalam hal seperti ini sikap yang bijak adalah membenahi niat dan bukan menghilangkan secara keseluruhan ritualnya. Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya segala amal tergantung dengan niat” (HR Bukhari-Muslim).
Kelima, Rasulullah saw mencontohkan doa untuk saudara-saudara seakidah yang telah meninggal terlebih dahulu. Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah ampunilah dosa-dosa orang-orang yang hidup di antara kami, demikian juga dosa-dosa orang-orang yang telah meninggal di antara kami.”(HR Ahmad).
Semoga Allah swt mengampuni dosa kita dan dosa-dosa saudara-saudara kita yang telah mendahului dan semoga kita bisa bijak bersikap. Amiiin.

                                                                                                           By: Uus Susangka
                                                                                                           Sumber : Sumeks