Kadangkala, kejadian-kejadian di masa lalu seringkali dijadikan
sebuah pembenaran untuk memelihara sentiment-sentimen rasial, meskipun sulit
ditemukan relevansinya saat ini. Salah satunya adalah Perang Bubat yang terjadi
sekitar 7 abad yang lalu (tepatnya tahun 1279 M). Peristiwa yang membawa trauma
yang mendalam bagi keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh anggota keluarga
kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri Lara Linsing, serta putrinya
yang cantik jelita (khas tanah Parahiyangan) Dyah Pitaloka Citraresmi,
terbantai di Palagan Bubat. Peristiwa yang telah lama berlalu sebenarnya,
tetapi melahirkan banyak mitos seputar hubungan Sunda dan Jawa, sampai saat
ini.
Banyak pendapat yang sudah membantah bahwa peristiwa itu sudah
tidak banyak memberikan dampak pada hubungan Jawa dan Sunda dewasa ini. Tetapi
beberapa indikasi masih menunjukkan ketegangan hubungan ini, seperti misalnya
tiadanya nama-nama yang berbau Jawa (Majapahit) yang digunakan sebagai nama
jalan di tanah Parahiyangan/Pasundan (baru-baru ini ada informasi bahwa di
Cimahi ada Jl. Gadjah Mada), atau adanya mitos yang melarang
laki-laki/perempuan Sunda untuk menikah dengan orang Jawa. Dalam suatu seminar
di Universitas Padjajaran belum lama ini, yang membahas novel Gajah Mada:
Perang Bubat karangan Langit Kresna Hariadi, ketegangan yang sama kembali
muncul. Ini membuktikan bahwa ketegangan itu masih belum dapat cair seutuhnya.
Jika saja mau melihat lebih jauh sejarah ke belakang, dan
kemudian diteliti kembali untuk mencari persamaan-persamaan antara dua
kebudayaan yang sebenarnya masih saudara tersebut, semestinya Palagan Bubat
tidak menjadikan dua saudara bersitegang (untuk jangka waktu yang lama).
Sejarah dimulai ketika pendiri kerajaan Galuh, Sang
Wretikandayun (612 M) memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara yang memang
sudah lemah dibawah pemerintahan Prabu Tarusbawa (yang selanjutnya mengganti
nama kerajaan Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan –Bogor sekarang).
Sang Wretikandayun memiliki tiga orang putra, salah satu diantaranya adalah
Amara alias Sang Mandiminyak. Sang Mandiminyak memiliki dua orang istri. Dari
istri pertama (Pohaci Rababu) memiliki putra bernama Sena (Bratasenawa), sedang
dari istri kedua (Dewi Parwati putri Kartikayesinga penguasa Kalingga – Jawa
Tengah) memiliki putri bernama Sannaha. Oleh Ratu Sima (istri Kartikayesinga),
Sena dan Sannaha, yang masih saudara kandung tersebut, dikawinkan. Dari
perkawinan keduanya lahir Sanjaya yang kemudian terkenal sebagai pendiri wangsa
Sanjaya yang berkuasa di tanah Jawa (taraju Jawadwipa), yang selanjutnya
menjadi penguasa tunggal Bumi Mataram (Hindu). Sebelum menjadi penguasa
Mataram, Sanjaya juga menjadi raja di kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda
Galuh. Inilah hubungan kekerabatan (dekat) pertama antara tanah Pasundan dan
Jawa.
Bagaimana dengan
Majapahit ?
Penguasa Majapahit adalah wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken
Arok (Awuku Tumapel). Pendiri Wilwatikta adalah Rakian (Rakean=Rahadian=Raden)
Wijaya. Ibunda Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal (Dyah Daramurti) dari Tumapel
dari suami keluarga kerajaan Sunda, Rahiyang Jayadarma. Bahkan ketika Raden
Wijaya menjadi Maharaja Majapahit yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana
dengan kekuasaan yang besar, masih sering mengunjungi kakeknya, Prabu Guru
Darmasiksa di Sunda Pakuan. Dalam kunjungan tersebut, Prabu Guru Darmasiksa
pernah memberikan nasehat kepada Sanggramawijaya (gelar Raden Wijaya) : Hawya
ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliran ring ki
sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa
wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka
mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya.
Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parasparo
pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan
pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan
rajya Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana; mangkana juga
rajya Sunda ring Wilwatikta.
(Jangan hendaknya engkau mengganggu, menyerang, dan merebut Bumi
Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada.
Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan
keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini
adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.
Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling
membantu, bekerja sama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu
janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian
akanmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda
mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan
bantuan; demikian pula halnya kerajaan Sunda kepada Majapahit) (Danasasmita,
1983:23)
Terlihat bahwa
sebenarnya antara kerajaan Sunda dan Jawa (baca: Majapahit) terjalin hubungan
yang demikian erat, dari satu leluhur yang seharusnya tercipta hubungan yang
harmonis dan saling kerjasama antara keduanya. Bukannya ketegangan dan
permusuhan. Perkara perang Bubat adalah persoalan politik, yang memang tidak
seharusnya masuk lebih jauh dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan secara umum.
Semestinya Perang Bubat dapat dilihat seperti kita melihat peristiwa-peristiwa
politik yang terjadi di negeri ini, meskipun mungkin menyakitkan tetapi tidak
seharusnya itu menghancurkan hubungan persaudaraan yang telah berlangsung
berabad-abad. Kalau kita mau jujur melihat persamaan-persamaan yang ada pada
dua kebudayaan tersebut, seperti linguistik, seni, budaya, dan hasil-hasil
peradaban antara dua kebudayaan, mestinya hal tersebut dapat lebih saling
mempererat hubungan antar-keduanya.from http://chintoenx.multiply.com/journal/item/3/Jawa_dan_Sunda_lagi
BISA DIAMBIL KESIMPULAN DARI APA YANG UDAH GW CARI DI GOOGLE:
KENAPA LAKI-LAKI SUNDA NGGA BOLEH
KAWIN SAMA PEREMPUAN JAWA.
KARENA EH KARENA:
KARENA EH KARENA:
- PIHAK JAWA MERASA LEBIH TUA DARI PIHAK SUNDA PERNYATAAN INI DIAMBIL KARENA KERAJAAN JAWA LEBIH LAMA DARIPADA KERAJAAN SUNDA.
- PIHAK SUNDA MERASA HARGA DIRINYA DI LECEHKAN DAN DIHINA AKIBAT PERANG BUBAT YANG TERJADI.
kunci
langgeng rumah tangga :
- berkomitmen dalam rumah tangga.
- saling setia.
- saling menghargai.
- wanita memang di "bawah" pria.
- taat sama suami.
- suami menghormati istri
- istri menghormati suami.
- saling sabar.
- jangan mau kalah sama mitos.
- saling pengertian.
- komunikasi.
- memahami sifat satu sama lain.
- jangan berbicara dengan nada tinggi.
- kalau marah boleh tapi dengan nada rendah.
- saling mendorong kearah yang lebih baik dengan perbuatan , jika ada yang "jatuh".
- jangan ada pihak ketiga walaupun itu teman curhat usahakan. curhat dengan suami/istri walaupun sangat pahit terdengar.
- jangan sampai masalah terdengar oleh mertua atau orangtua.
- jujur.
- masalah materi harus dibicarakan dengan baik.
- ingat pengorbanan yang telah dilakukan di masa lalu.