Muhammad dalam Perspektif Al-Qur'an (Bag 2)
2. Manusia yang Berakhlak Mulia
Nabi Muhammad adalah seseorang yang Allah telah menumbuhkannya dalam perkembangan yang sehat, dan kedewasaan yang memikat, sarat akan kepribadian yang tangguh serta perangai mulia yang tiada tandingannya. Seluruh jejak langkahnya, tutur katanya, tindak tanduknya, dan sikap serta tingkah lakunya mencerminkan sebuah keagungan akhlak yang tiada dapat disepadankan dengan sosok atau tokoh siapapun juga.
Kejujurannya dalam bertutur lisan, menyebabkan masyarakat pada saat itu menjulukinya dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya). Sebuah sebutan yang sangat sulit untuk disematkan pada seseorang di tengah gejolak perabadan yang sangat terbelakang dan kejahiliyahan yang merajalela. Hingga seorang Abu Lahab-pun, sebagai musuh umat Islam nomer wahid pada saat itu, harus mengakui keluhuran dan kejujuran akhlak seorang Muhammad s.a.w. Hanya faktor kedengkian dan gengsi yang membumbung tinggi yang menyulut sikap apriori pada diri seorang Abu Lahab, menyebabkan ia enggan mengikuti dakwah Muhammad s.a.w, seorang Nabi dan Rasul pembawa risalah pamungkas untuk seluruh alam.
Hal itulah yang membuat seorang Heraclus, raja Romawi saat itu, patah arang ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang Muhammad s.a.w. Suatu ketika Heraclus bertanya pada Abu Sufyan: “Apakah dia (Muhammad) pernah berkhianat?”, lalu Abu Sufyan menjawab: “Tidak, ia tidak pernah sekalipun berkhianat”. Sehingga tidak ada lagi sebuah siasat bagi penolak dakwah Rasulullah ketika itu kecuali dengan menyebarkan fitnah dan tuduhan palsu, seperti: Muhammad s.a.w adalah seorang tukang sihir, penyair dan pendongeng sejati, serta paranormal dan dukun ramal.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menangkis tuduhan-tuduhan palsu mereka, dan mengabarkan pada mereka akan hakikat yang sebenarnya:
“Falaa uqsimu bimaa tubshiruun. Wa maa laa tubshiruun. Innahu laqawlun rasuulun kariim. Wamaa huwa biqawlin syaa’irin, qaliilan maa tu’minuun. Walaa biqawlin kaahinin qaliilan maa tadzakkaruun. Tanziilun min Rabbil ‘aalamiin”.
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”(QS.Al-Haaqqah:38 – 43).
“Wa maa ‘allamnaahusy-syi’ra wamaa yanbaghii lah. Inhuwa illa dzikrun waqur’aanun mubiin. Liyundzira mankaana hayyan wa yahiqqal qawlu ‘alal kaafiriin”
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir”(QS.Yaasin:69-70).
3. Nabi yang Umi
Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang dari kaum yang ummi(ummiyyin). Umi yang dalam literatur Arab diartikan sebagai orang yang tidak menulis dan tidak membaca. (Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, Syeikh Abdul Muhsin ibn Hamdil Abbad Al-Badr, Daarul Imam Ahmad, Kairo).
Sebagaimana yang terdapat dalam QS.Al-Jumu’ah: 2 :
“Huwalladzii ba’atsa fil ummiyiina rasuulan minhum yatluuna ‘alaihim aayaatihi wayuzakkiihim wa yu’allimuhumul kitaaba wal hikmata wa inkaanu min qablu lafii dhalaalin mubiin”
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Sementara Nazmi Lukas, seorang Arab-Kristen Koptik, dalam karyanya “Muhammad fi Hayaatihi al-Khashshah” (Maktabah Gharib, Mesir, 1981), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ummiyyin (kaum ummi) adalah umat-umat selain bani Israil. Bani Israil telah mengaku sebagai bangsa yang terpilih serta satu-satunya bangsa yang mendapat petunjuk dan anugerah kenabian, sedangkan bangsa lainnya umamiyyun atauummiyyun, yang tidak mendapatkan hidayah dan anugerah kenabian. Oleh karena itu, ayat ini (QS.Al-Jumu’ah: 2) turun untuk menegaskan rahmat yang diberikan Allah kepada bangsaummiyyun, yakni dengan diutusnya seorang rasul dari kalangan mereka, yang menyampaikan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Dalam buku yang sama Nazmi Lukas mengatakan bahwa tidak setiap orang yang ummi adalah orang bodoh dan tidak setiap orang bodoh adalah ummi. Orang yang ummi adalah orang yang tidak dapat membaca dan menulis, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Tidak semua ilmu berkaitan dengan bacaan dan tulisan, dan tidak semua bacaan dan tulisan adalah ilmu yang menjadi tanda bodohnya seseorang yang tidak membaca dan menulis.
Setelah sebuah kenyataan tentang nabi Muhammad yang ummitertera dalam QS.Al-Jumu’ah: 2, Allah menurunkan firman QS.Al-Isra’:88:
“Qul la inijtama’atil insu wal jinnu ‘ala an ya’tuu bimitsli haadzal Qur’aan laa ya’tuuna bimitslihi walaw kaana ba’dhuhum liba’dhin dzahiira”.
“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
Seiring dengan munculnya Muhammad s.a.w dengan sifat ini (ummi), mematahkan tuduhan-tuduhan palsu yang dilancarkan oleh kaum kafir atas apa yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad, berupa cerita-cerita dongeng nan fiktif, atau hikayat serta legenda yang imajinatif belaka. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Ankabut: 48
“Wamaa kunta tatluu min qablihi min kitaabin walaa takhuttuhu biyamiinika idzan lartaabal mubthiluun”
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.
Ayat ini menjadi bukti simbolis bahwa tuduhan-tuduhan orang-orang kafir pada saat itu bermotif sentimentil dan tendensius. Mereka akhirnya terjebak pada kebohongan yang mereka kobarkan sendiri. Bagaimana seorang Muhammad s.a.w bisa mengucapkan kabar dengan untaian kalimat yang indah nan memikat, sedangkan ia bukan seorang penyair, dan ia bukan pula seorang yang mampu membaca dan menulis? Maka terkuaklah kebatilan tipu daya mereka. Sedangkan kesejatian ayat-ayat Allah telah menjadi saksi dan mukjizat yang kokoh, yang mampu mematahkan claim-claim negatif kaum musyrikin terhadap diri Muhammad s.a.w, sosok nabi yang kehadirannya menjadi penyejuk bagi alam semesta. (bersambung...)