Tawadhu itu apa sih..
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya...
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya” (QS. Al-A’raaf/7 : 146).
Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya.Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi” (HR. Al Baihaqi)
Pengertian Tawadhu’
Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, ataurendah hati terhadap orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).
Sekarang ini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuh-kannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda : Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi (HR. Muslim).
Mengukur ketawadhu’an
Sa’id Hawwa dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa percobaan yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an.
1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, misalnya dengan mengatakan, Alangkah bagusnya perkataanmu terhadap sesuatu yang belum aku ketahui. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang dibukakan oleh Allah untukku melalui kamu!, maka jika hal itu dilakukan berulang-ulang, sehingga manjadi tabiat dirinya berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan.
Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khatab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata, “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah saw berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.
2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka, dan berjalan di belakang atau di tengah, bukan di depan. Bila hal itu terasa berat, berarti masih ada kesombongan di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hal itu terasa ringan baginya, berarti sifat ketawadhu’an telah ada dalam dirinya.
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya” (QS. Al-A’raaf/7 : 146).
Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya.Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi” (HR. Al Baihaqi)
Pengertian Tawadhu’
Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, ataurendah hati terhadap orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).
Sekarang ini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuh-kannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda : Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi (HR. Muslim).
Mengukur ketawadhu’an
Sa’id Hawwa dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa percobaan yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an.
1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, misalnya dengan mengatakan, Alangkah bagusnya perkataanmu terhadap sesuatu yang belum aku ketahui. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang dibukakan oleh Allah untukku melalui kamu!, maka jika hal itu dilakukan berulang-ulang, sehingga manjadi tabiat dirinya berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan.
Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khatab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata, “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah saw berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.
2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka, dan berjalan di belakang atau di tengah, bukan di depan. Bila hal itu terasa berat, berarti masih ada kesombongan di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hal itu terasa ringan baginya, berarti sifat ketawadhu’an telah ada dalam dirinya.
Abu Darda ra berkata: “Seseorang akan bertambah jauh dari Allah selama (ia menyukai) orang yang berjalan di belakangnya”.
3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).
4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Apabila ia merasa berat untuk melakukan hal tersebut, meski tidak ada orang yang melihatnya maka itu adalah kesombongan dan apabila ia tidak merasa berat kecuali bila dilihat oleh orang banyak, maka ia termasuk riya’ (ingin diperhatikan orang lain). Keduanya merupakan penyakit jiwa dan lawan dari sifat tawadhu.’
5. Hendaklah memakai pakaian yang sangat sederhana. Apabila ia merasa berat melakukannya di hadapan orang banyak, maka ia riya’ dan bila ia tidak mau melakukannya saat tidak dilihat orang banyak, maka itu adalah kesombongan. Zaid bin Wahab berkata, “Saya meilhat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang”.
Memperoleh ketawadhu’an
Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :
1. Mengenal Allah SWT
Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah SWT dan bersyukur kepadanya, sebab pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.
2. Mengenal Diri
Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. 16 : 78).
Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.
3. Mengenal Aib Diri
Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurang dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman. “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang–orang yang mengadakan perbaikan” (QS. 2 : 11).
Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.
4. Merenungkan nikmat Allah
Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlaq tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlaq tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlaq orang-orang sholeh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.
Bangsa Indonesia yang saat ini mengalami berbagai krisis sesungguhnya terjadi karena kesombongan pemimpin dan rakyatnya. Fenomena kesombongan, berupa pengagungan kepada diri sendiri, harta, ilmu, keturunan, dan lain-lain terjadi dimana-mana. Orang yang bersikap tawadhu’ sekarang menjadi langka dan malah dikucilkan. Padahal pertolongan dan petunjuk Allah hanya diberikan kepada orang yang tawadhu’, bukan kepada mereka yang sombong. “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyom-bongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selaname=News&file=article&sid=392
3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).
4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Apabila ia merasa berat untuk melakukan hal tersebut, meski tidak ada orang yang melihatnya maka itu adalah kesombongan dan apabila ia tidak merasa berat kecuali bila dilihat oleh orang banyak, maka ia termasuk riya’ (ingin diperhatikan orang lain). Keduanya merupakan penyakit jiwa dan lawan dari sifat tawadhu.’
5. Hendaklah memakai pakaian yang sangat sederhana. Apabila ia merasa berat melakukannya di hadapan orang banyak, maka ia riya’ dan bila ia tidak mau melakukannya saat tidak dilihat orang banyak, maka itu adalah kesombongan. Zaid bin Wahab berkata, “Saya meilhat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang”.
Memperoleh ketawadhu’an
Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :
1. Mengenal Allah SWT
Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah SWT dan bersyukur kepadanya, sebab pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.
2. Mengenal Diri
Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. 16 : 78).
Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.
3. Mengenal Aib Diri
Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurang dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman. “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang–orang yang mengadakan perbaikan” (QS. 2 : 11).
Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.
4. Merenungkan nikmat Allah
Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlaq tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlaq tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlaq orang-orang sholeh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.
Bangsa Indonesia yang saat ini mengalami berbagai krisis sesungguhnya terjadi karena kesombongan pemimpin dan rakyatnya. Fenomena kesombongan, berupa pengagungan kepada diri sendiri, harta, ilmu, keturunan, dan lain-lain terjadi dimana-mana. Orang yang bersikap tawadhu’ sekarang menjadi langka dan malah dikucilkan. Padahal pertolongan dan petunjuk Allah hanya diberikan kepada orang yang tawadhu’, bukan kepada mereka yang sombong. “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyom-bongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selaname=News&file=article&sid=392