CANDI SUKUH BUKAN CANDI PORNO
Oleh
Prof. Dr. Bani Sudardi
Candi Sukuh adalah sebuah candi Hindu yang terletak di Dusun Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Bagi masyarakat modern, candi sukuh termasuk candi yang luar biasa. Kenapa?
Di gerbang utama candi ini dilukiskan secara vulgar alat kelamin laki-laki (penis) dan alat kelamin perempuan (vagina) dalam keadaan “siap tempur”. Karena itu, orang sering menyatakan Candi Sukuh sebagai “candi jorok, candi porno, candi saru, atau candi norak, candi seks”.
Tetapi pandangan seperti itu adalah sebuah pandangan yang sama sekali tidak benar. Candi Sukuh adalah sebuah candi sakral dengan bentuk arsitek mirip piramida. Kehadiran lukisan penis dan vagina di dasar pintu masuk candi merupakan ajaran bahwa manusia harus mengenal ”asal-usul dumadi” yang tidak lain berasal dari air mani yang kemudian berproses di rahim ibu. Hal inilah yang hampir diajarkan oleh setiap ajaran agama di dunia manapun agar manusia tidak sombong karena berasal dari setitik air mani yang memancar.
Candi Sukuh adalah candi yang paling menarik dari segi tata arsitektur. Candi tersebut mengambil bentuk piramida mirip dengan bentuk kuil di Inca, Meksiko atau piramit Mesir. Candi Sukuh juga memunculkan unsur-unsur Indonesia asli dan hal ini tergambar dalam relief-relief yang relief-relief tersebut bersumber dari teks-teks Jawa Kuno dan Jawa Tengahan (Garudeya, Wirataparwa, Sudamala, Bima Suci, dan Gatotkacasraya).
Candi Sukuh adalah candi dari masa Hindu yang di dalamnya bercampur antara kebudayaan prasejarah Jawa dengan kebudayaan Hindu. Di dalam Candi Sukuh muncul unsur-unsur Indonesia asli yang pada masa kejayaan Majapahit tenggelam akibat dominasi kebudayaan Hindu.
Bentuk arsitektur dan tata ruang Candi Sukuh berkaitan dengan makna simbolis yang menunjukan adanya pergeseran filosofi dari pemujaan dewa-dewa India ke pemujaan dewa-dewa kesuburan dalam kepercayaan lokal. Sebagai misal, pergeseran pemujaan dewa Siwa ke tokoh manusia (Sadewa) yang tercermin dalam teks Sudamala (Jawa Tengahan) yang kemudian dijadikan dasar cerita ruwatan. Pergeseran ini tersebut juga tampak pada kemenonjolan tokoh garuda daripada tokoh Wisnu dalam teks Garudeya (Wirataparwa). Pergeseran lain tampak pula pada piktogram Bima dan Dewa Ruci yang merupakan teks tentang kemenonjolan perjuangan spiritual Bima dalammencari air suci (her banyu adi tirta wening) dibanding perjuangan lahiriah (peperangan).
Untuk memahami Candi Sukuh perlu memahami teks-teks dari masanya, di antaranya seperti:
- Teks Samodramantana yang mengisahkan para dewa menguras lautan untuk mendapatkan air amerta.
- Teks Sudamala yang mengisahkan Sudamala atau Sadewa yang berhasil meruwat Uma (Istri dewa Siwa) yang dikutuk menjadi Durga (raksasa siluman perempuan yang menakutkan).
- Teks Gatotkacasraya yang mengisahkan Gatotkaca ketika membantu perkawinan Abimanyu.
- Nawa Ruci (Bima Suci) yang mengisahkan Bima ketika mencari air suci dan ditengah lautan harus mengalahkan naga Sembur Nawa. Setelah tewasnya naga semburnawa,maka Dewa dijumpai Dewa Ruci yang menjelaskan tentang asal-usul dumadi.
- Cerita Panji yang mengisahkan Panji berjuang untuk menemukan istrinya sehingga terjadilah suatu kisah romantis penuh liku-liku (Zoetmulder. 1985)
Sebagaimana sebagian besar candi-candi di Jawa, khususnya yang dibangun mulai abad ke-9, di dinding-dindingnya selalu dipahatkan relief dari teks-teks darmasastra. Relief yang paling spektakuler adalah relief Candi Prambanan yang memahatkan teks darmasastra Ramayana. Relief Candi Sukuh menyajikan relief dari teks-teks yang memiliki nilai lokal dan bukan teks darmasastra, melainkan teks-teks yang dalam cerita pewayangan Jawa dikenal sebagai teks carangan (Hartini, 2008:45).
Pergeseran relief dari teks darmasastra ke teks-teks carangan berkaitan dengan pergeseran nilai dalam masyarakat Jawa abad ke-15. Di antara teks-teks yang kemudian disebut sebagai teks-teks Jawa Tengahan dalam ekspresi kidung (bukan kakawin) adalah Dewaruci, Sudamala, Kidung Subrata, Panji Anggraeni, dan Sri Tanjung (Sutarjo, 2008:15).
Candi Sukuh sudah banyak dikaji para ahli sejak awal abad ke-19. Penelitian tentang Candi Sukuh dirintis oleh Raflles pada tahun 1817 dalam bukunya History of Java. Penelitian ini dilanjutkan oleh peneliti-peneliti lain, di antaranya sebagai berikut.
Kajian tentang candrasengkala dan prasasti yang terdapat pada Candi Sukuh telah dilakukan oleh Van der Vlis pada tahun 1843. Menurut Vlis, relief-relief tertentu di Candi Sukuh mengandung angka tahun Saka yang dikenal dengan candrasengkala. Di antaranya, di awal gapura paling bawah terdapat relief raksasa yang memakan manusia yang dapat dinyatakan sebagai candrasengkala “gapura buto amangan wong” yang bermakna 1359 Saka atau 1437 Masehi. Dari candrasengkala tersebut diketahui bahwa Candi Sukuh tidak dibangun bersamaan, melainkan setahap demi setahap. Hal ini tampak pada candra sengakala di candi utama yang berbunyi “katur karungu kram purusa” yang bermakna tahun 1362 Saka tahun1440 Masehi.
Yang menarik, menurut kajian Van der Vlis, di Candi Sukuh ditemukan candra sengkala berupa patung manusia-garuda yang berdiri sendiri di Halalaman ketiga. Patung tersebut berjumlah dua buah berbetuk burung garuda. Akan tetapi, kedua patung itu berbeda. Patung yang satu bersayap, berbadan, berkaki, seperti manusia (manusia-garuda) serta ada angka tahun 1362 Saka (1440 M) sedangkan yang lainnya berstilir manusia, tetapi tidak bertangan serta tidak mengandung inskripsi (Vlis, 1843:57).
Penelitian tentang Candi Sukuh tersebut dilanjutkan oleh Muusses (1929) yang meneliti Sang Awikramawardhana sebagai saat-saat akhir Majapahit yang kemungkinan membangun Candi Sukuh
Stutterheim (1925) yang meneliti tentang relief Ramayana di Indonesia. Yang menarik perhatian Stutterheim di Candi Sukuh adalah relief tentang garuda yang mencengkeram gajah dan kura-kura untuk dimakan. Kisah ini adalah kisah garuda dalam mencari air amrta yang dalam tradisi Jawa terjelma juga dalam kisah Bima mencari air suci (Nawa Ruci). Tindakan garuda memakan gajah dan kura-kura ternyata merupakan bentuk ruwatan karena gajahd an kura-kura adalah makhluk terkena kutuk yang dimakan tersebut justru menjadikannya kembali ke bentuk aslinya sebagai dewa (hlm 23). Candi Sukuh juga mempertemukan tradisi Mahabharata dan Ramayana. Menurut kajian Stuterheim, di Candi Sukuh terdapat relief yang menggambarkan Arjuna dengan bendera perangnya bergambar kera. Di pihak lain, terdapat relief Hanoman yang sedang menghadapi seseorang yang sedang tafakur. Agaknya, di akhir Majapahit, antara Ramayana dan Mahabharata sudah mulai ada kontaminasi.
Bernet Kempers yang meneliti seni-seni Indonesia klasik (1959). Dijelaskan bahwa relief vagina dan phalus secara naturalistik di Candi Sukuh adalah gambaran peristiwa mistik yang berkaitan dengan kesuburan dan kemakmuran. Di candi Sukuh digambarkan juga adanya Dwarapala yang menyimpangi gaya India dan muncul dengan langgam prasejarah Casparis tentang inskripsi (1950) yang di dalamnya Casparis membahas sedikti tentang prasasti di dalam Candi Sukuh yang pada umumnya prasasti tersebut sudah rusak dan sulit dibaca,meskipun prasasti tersebut muncul pada abad ke-14.
Kesadaran tentang keunikan Candi Sukuh dengan candi-candi lainnya seperti Candi Borobudur, Prambanan, Plaosan dan candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya telah dikemukanan oleh Sri Sugiyanti (2006). Menurut Sri Sugiyanti, yang membedakan Candi Sukuh dengan candi lainnya terutama terletak pada bentuk arsitektur, tokoh-tokoh, dan relief-relief yang dipahatkan.
Dari uraian di atas tampak bahwa aspek arsitektur dan tata ruang Candi Sukuh belum banyak dikaji orang. Unsur yang banyak dikaji adalah aspek naratif/ relief. Kesulitan pengkajian aspek arsitektur dan tata ruang Candi Sukuh karena candi tersebut sudah menyimpang dari tuntunan percandian India. Percandian India diatur dalam Vastusastra yang dihitung berdasar diagram-diagram yang disebut vastupursamandala (Yadav, 2002). Sementara itu, Candi Sukuh menunjukkan konsep-konsep lokal mengenai ruwatan dan sangkan paran yang di dalamnya banyak dipengaruhi oleh paham filosofi asli Jawa.
Perubahan konsep tata ruang dan arsitektur Candi Sukuh yang menyimpangi pola India memiliki alasan sosial dan kultural. Sukatno (2003) menjelaskan bahwa konsep mandala suatu candi tidak hanya berkait dengan konteks arsitektural bangunan candi yang suci. Konsep tersebut di Indonesia berkaitan dengan penempatan kepercayaan lokal (unsur genius lokal) yang bermakna kompleks dalam kaitan dengan situasi sosial politik.
Makna ini segera terasa pada amplifikasi penokohan relief-relief Candi Sukuh yang mengangkat tokoh Sadewa. Padahal, tokoh tersebut di dalam Mahabharata (India) adalah tokoh pendukung setelah Arjuna. Mengenai cerita yang mendasari relief, Candi Sukuh pernah dibahas oleh Callenfels (1925) yang membahas relief-relief yang ada hubungannya dengan Kisah Sudamala. Cerita Sudalama tersebut kemudian juga dibahas panjang lebar oleh Zoetmulder (1974) dalam bukunya Kalangwan yang menyoroti secara mendalam Kisah Sudamala dari sisi filologis dan sastra. Relief Candi Sukuh dan Kisah Sudamala pernah juga dibahas oleh Sri Mulyono (1978) ketika membahas mengenai tokoh Semar. Menurut Sri Mulyono, di Candi Sukuh tokoh Semar pertama-tama muncul dalam relief. Candi Sukuh juga disinggung oleh Holt (1967/ 2000) bahwa di kedua candi tersebut muncul unsur-unsur prehistoris dan penyajian alat seks secara vulgar. Arca-arca di Candi Sukuh mencerminkan nenek moyang masa purba.
Daftar Pustaka
Bernet Kempers . 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam : The Hague .
Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia . Cambridge , Massachusetts : Harvard University Press
Callenfels, P.V. van. Stein. 1925. "De Sudamala in de Hindu-Javaansche Kunst" dalam Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Deel LXVI, 's Hage, M. Nijhoff.
Casparis, J.G.de. 1950. Prasasti Indonesia. Bandung.
Cassirer, Ernst. 1990. An Essay on Man (Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei tentang Manusia. Terjemahan A. Nugroho. Jakarta : Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Candi Sukuh di Jawa Tengah. Jakarta : Proyek Pembinaan Media Kebudayaan.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca , New York : Cornell University Press.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak-jejak Perkembangan Seni di Indonesia . Terjemahan R.M. Soedarsono. Bandung: Msyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz. 1995. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Marsono, Akhmad Nugroho, Sumarsih, Manu, R.S. Subalidinata, Anung Tedjowirawan, Suharto. 1998. “Nilai Susastra dan Kandungan Filosofis Wayang”. Hasil Penelitian Kerja sama antara Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi), Jakarta.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulyono, Sri. 1978. Apa Siapa Semar. Jakarta: Gramedia.
Mulyono, Sri.1978. Wayang : Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung.
Muusses, M.A. 1929. “Singhawikramawardhana” dalam Feestbundel II. . Teks peringatan berdirinya Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen 1778-1928.
Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java :Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands Volume I. The Hague : KITLV
Prijohoetomo.1934. Nawaruci: Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling. Groningen : Bij J. B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V.
Raffles, Thomas Stamford. 1978. The History of Java.(Vol. I) Oxford : Oxford University Press.
Sri Sugiyanti 2006.. Usaha Pelestarian Candi Sukuh. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan
Stutterheim 1925. Rama Legenden und Rama Reklief in Indoesien. Munchen.
Sukatno, Otto. 2004. Dieng Poros Dunia. Yogyakata: IRCISOD
Susanto,Hary. 1981. Mitos Menurut Pemikiran Mirsea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Sutarjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta. Surakarta: JSD UNS
Van der Vlis .1843. Incription van de Candi Sukuh. Weltervreden.
Yadav, Jay Singh. 2002. “Pengaruh Budaya India pada Candi di Indonesia” dalam Renville Siagian. Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cempakakencana.
Zoetmulder. 1985. Kalangwan : Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Komentar, saran, kritik, permintaan info selanjutnya, ucapan terima kasih, dan lain-lain terhadap artikel ini mohon kirimkan ke banisudardi@uns.ac.id