Syarat dan Kewajiban Imam
1. Wanita dilarang mengimami pria. | 2. Yang pantas menjadi
imam adalah yang pintar membaca Al- Qur�an dan lebih memahami sunnah. |
3. Imam haruslah orang yang baik.
1. Wanita dilarang mengimami pria.
Dengan kata lain seorang lelaki tidak boleh bermakmum kepada wanita.
Jabir ra. mengabarkan, Muhammad Rosulullah saiv. bersabda: "Janganlah
sekali-kali seorang perempuan mengimami laki- laki. Janganlah seorang
badui mengimami muhajir. Dan janganlah seorang pendurhaka mengimami
orang mukmin, kecuali karena paksaan dari penguasa yang ditakuti
cambukannya atau pedangnya." (HR Ibnu Majah)
2. Yang pantas menjadi imam adalah yang pintar membaca Al- Qur’an dan lebih memahami sunnah.
Mengapa? Sebab Imam dalam sholat sangat menentukan sah tidaknya sholat
tersebut. Misalnya saja, jika bacaan Qur’an sang imam tidak tepat
makhroj atau tajwidnya, maka akan mempengaruhi kekhusyu’an para
makmumnya Abu Mas’ud Al- Anshori menuturkan, Rosulullah saw. bersabda, "Orang
yang pantas jadi imam {sholat berjamaah) ialah yang paling pandai
membaca kitabullah. Jika ternyata mereka sama pandai, maka yang paling
alim (mengerti) tentang sunnah. Jika ternyata mereka sama alim, maka
yang paling dahulu hijrah. Jika ternyata mereka bersamaan pula
hijrahnya, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah kamu menjadi
imam dalam wilayah kekuasaan orang lain, dan janganlah pula duduk di
tempat yang disediakan khusus untuk kemuliaan seseorang kecuali dengan
izinnya." (HR Muslim)
3. Imam haruslah orang yang baik.
Maksud kata "baik" di sini adalah merujuk pada akhlaknya, baik tutur
katanya maupun tindakannya. Jika orang yang jadi imam kurang baik
akhlaknya, sekalipun ’alim akan menimbul¬kan pikiran bukan-bukan pada
sebagian makmum. Misalnya saja dalam diri makmum akan terlintas pikiran,
"orang suka bohong atau mengingkari janji begitu dijadikan imam".
Pikiran semacam itu dapat mengganggu kekhusyukan kita dalam sholat
berjama’ah. Ibnu Abbas ra. menjelaskan, Muhammad Rosulullah saw.
bersabda, "Pilihlah imam-imam kalian dari orang-orang baik di antara
kalian, karena sesungguhnya mereka itu duta kalian, tentang apa-apa
antara kalian dengan Tuhan kalian’’. (HR. Daruquthni)
4. Tamu tidak berhak menjadi imam.
Abu Athiyyah menceritakan, bahwa Malik Ibnu Huwairits selalu mendatangi
mushollanya untuk mengajarkan hadits. Suatu hari saat waktu sholat tiba,
Abu Athiyyah berkata kepadanya, "Majulah engkau (sebagai imam)". Malik
menjawab, "Hendaklah salah seorang di antara kalian yang maju ke depan.
Tahukah kalian mengapa aku tidak mau maju ke depan? Aku pernah mendengar
Rosulullah sazo. bersabda: ’Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka
janganlah ia mengimami mereka. Hendaklah salah seorang lelaki di antara
mereka (kaum itu) yang menjadi imamnya’’. (HR. Ash-habus Sunan)
Apabila sang tamu lebih fasih bacaannya dan lebih ’alim, kemudian
dipersilakan oleh tuan rumah menjadi iman, maka janganlah menolaknya.
Dengan kata lain tamu itu harus mau menjadi imam karena atas permintaan
tuan rumah.
5. Imam dianjurkan memeriksa barisan jama’ahnya.
Abas bin Malik ra. memberitahukan, Muhammad Rosulullah saw. apabila akan
mengimami sholat melihat barisan para jama’ah di belakangnya dan
bersabda, "Luruskan shof-shofkalian, karena lurusnya shof bagian dari
kesempurnaan sholat". (HR. Muttafaq Alaih)
6. Imam dilarang panjangkan bacaan.
Abu Huroiroh ra. mengabarkan, Rosulullah saio. bersabda, "Apabila salah
seorang di antara kamu mengimami sholat orang banyak, hendaklah ia
memendekkan (bacaan) sholatnya, karena di antara makmum terdapat
orang-orang tua dan orang yang lemah. Jika dia sholat sendiri,
panjangkanlah (bacaan) sholatnya seberapa dia suka." (HR Muslim)
7. Ketika Nabi saw. berniat memanjangkan sholat.
Abu Qotadah ra. menginformasikan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda,
"Ketika aku berdiri hendak sholat, aku berniat hendak memanjangkan
sholatku. Tetapi tiba-tiba terdengar olehku tangis bayi, maka
kuringkaskan sholat itu. Sebab aku tidak ingin menyusahkan ibunya (yang
turut bermakmum pada Nabi saw.)’’. (HR. Bukhori)
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi seandainya bayi itu menangis,
kemudian sang imam memanjangkan sholatnya. Pasti tangis si bayi semakin
menjadi-jadi. Tentu para jama’ah tak lagi mampu berkonsentrasi. Apalagi
ibu si bayi pasti bimbang, apakah tetap melanjutkan sholatnya atau
membatalkannya lalu kembali sholat sendiri.
8. Usai mengimami Nabi saw. menghadap para Jama’ah
Usai mengimami Muhammad Rosulullah saw. kadang duduk menghadap kepada
para jama’ah, yang berarti membelakangi kiblat. Samurah bin Jundab ra,
mengutarakan, "Apabila Nabi saw. usai mengimami, beliau menghadap kepada
kami (para makmum)". (HR. Bukhori)
9. Adakalanya usai mengimami Nabi saw. menghadap kanan.
Terkadang usai mengimami Nabi Muhammad Rosulullah saw menghadap ke
sebelah kanan. Itulah sebabnya sebagian sahabat jika berjama’ah senang
duduk di sebelah kanan, karena bisa terlihat beliau. Al-Baro’ bin Azib
ra. menyatakan, "Apabila kami bermakmum di belakang Rosulullah saw.,
kami senang berada di sebelah kanan beliau, sebab usai sholat beliau
menghadapkan wajahnya ke arah kami". (HR. Muslim)