Hal-hal yang perlu diketahui tentang Ramadhan jilid 2
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. DilaraVI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
VI. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do’a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur’an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur’an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
VII. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
1. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
2. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
3. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
4. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi’i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha’nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha’nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
VIII. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha’ (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar/mengqadha’ pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
IX. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha’ atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha’. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha’ shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
X. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari’atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
1. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya.
Aneh tapi nyata, di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat.
Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan, terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda.
Pertama, menurut Rasulullah Saw. haram/dilarangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur’an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, maka dia melakukan dosa dan bid’ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta’abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta’abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya.
Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid’ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada tujuan-tujuan lain terselubung di dalamnya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa’ : 146 & 175 dan Al-Haj : 78.
Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan, kebatilan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya adalah sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
2. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 – 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
3. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
5. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama’ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
6. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).
ng shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu’ (Sunnah).