Pernikahan Dan Tahapannya
Sekalipun Allah SWT menciptakan manusia untuk berpasang-
pasangan, namun setiap orang tidak bisa leluasa menikahi lawan jenisnya.
Ada aturan-aturan yang harus ditegakkan. Juga terdapat norma-norma yang
harus dipelihara
Ayat tersebut menegaskan bahwa semua makhluk hidup, kecuali para malaikat, Allah SWT takdirkan untuk berpasang-pasangan. Oleh karena itu mudah dimengerti apabila setiap orang, baik pria maupun wanita, ingin "berdekatan" dengan lawan jenisnya. Tetapi bagi orang yang beriman, keinginan itu tidak boleh disalurkan dengan begitu saja. Biarpun didasari perasaan suka sama suka dan terdorong oleh keinginan saling membutuhkan.
Demi terpeliharanya martabat pria dan wanita dalam pergaulan sehari-hari, Islam menetapkan ketentuan yang universal. Juga dapat dipastikan saling menguntungkan kedua belah pihak. "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-NYA) bagi kaum yang berpikir." (QS. 30/Ar-Rum: 21)
Sekalipun Allah SWT menciptakan manusia untuk berpasang- pasangan, namun setiap orang tidak bisa leluasa menikahi lawan jenisnya. Ada aturan-aturan yang harus ditegakkan. Juga terdapat norma-norma yang harus dipelihara. Dan Islam hanya mengakui "pernikahan secara sah" sebagai satu-satunya bentuk berpasangan yang benar. Dengan demikian mudah dimengerti jika ajaran Islam mendorong pemeluknya yang sudah baligh dan mampu secara ekonomi, untuk segera melangsungkan pernikahan.
Dengan menikah secara sah; manusia dapat memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. Selain itu pernikahan merupakan cara terbaik untuk kelangsungan dan pengembangbiakan manusia itu sendiri. "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan pria dan wanita yang banyak." (QS. 4/An-Nisa’:1)
Dalam bab ini penulis coba uraikan secara tuntas seputar masalah pernikahan: a) larangan membujang; b) muhrim; c) kufu (sederajat d) meminang; e) akad nikah; f) walimah; g) kehidupan suami-istri;
Larangan Membujang
Tidak sedikit orang yang seharusnya sudah menikah, karena
telah cukup umur dan mampu secara ekonomi, namun sengaja tidak ingin
menikah. Alasan mereka, biar puas dulu menikmati masa bujang.
Tidak sedikit orang yang seharusnya sudah menikah, karena telah
cukup umur dan mampu secara ekonomi, namun sengaja tidak ingin menikah.
Alasan mereka, biar puas dulu menikmati masa bujang. Sungguh orang-orang
tersebut dapat dikatakan mengingkari sunnah dan tidak diakui sebagai
umat Nabi Muhammad saw, Rosulullah saw. bersabda: "Barangsiapa mampu
menikah, kemudian mereka tidak menikah, maka dia tidaklah termasuk umatku. ”
(HR Thobroni & Baihaqi,)
Padahal dengan menikah, insyaa Allah, usia dan hasil jerih payahnya lebih bermanfaat, serta lebih banyak pahalanya. Sebab:
Rosulullah saw. bersabda, "Kalau demikian engkau termasuk saudara setan. Jika engkau termasuk pendeta nasrani, memang itu hak mereka (untuk tidak menikah). Apabila engkau termasuk donganku, lakukanlah apa yang aku lakukan. Karena sesungguhnya di antara sunnahku adalah nikah. Sejelek-jelek orang di antarakamu sekalian ialah yang membujang. Kalau demikian, celaka engkau Ikaf. Maka nikahlah." Ikaf berkata, "Ya Rosulullah, aku tidak akan menikah kecuali jika engkau menikahkan aku dengan wanita yang engkau kehendaki." Lalu Rosulullah saw. bersabda: "Aku akan nikahkan engkau dengan wanita Bintu Kulsum Al-Khumairi." (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah & Ibnu Abdil Bar)
Padahal dengan menikah, insyaa Allah, usia dan hasil jerih payahnya lebih bermanfaat, serta lebih banyak pahalanya. Sebab:
- dapat memejamkan mata dari menatap wanita lain;
- energinya tidak tersia-sia dengan kegiatan itu-itu saja yang sifatnya hanya untuk mengisi waktu;
- mempunyai pendamping hidup yang setiap saat siap meringankan beban lahir batinnya;
- irama hidupnya lebih teratur;
- mencari nafkahnya terhitung jihad;
- menafkahi istri dan anak-anaknya terhitung sedekah; dan
- akan lebih hemat dalam membelanjakan keuangannya.
Rosulullah saw. bersabda, "Kalau demikian engkau termasuk saudara setan. Jika engkau termasuk pendeta nasrani, memang itu hak mereka (untuk tidak menikah). Apabila engkau termasuk donganku, lakukanlah apa yang aku lakukan. Karena sesungguhnya di antara sunnahku adalah nikah. Sejelek-jelek orang di antarakamu sekalian ialah yang membujang. Kalau demikian, celaka engkau Ikaf. Maka nikahlah." Ikaf berkata, "Ya Rosulullah, aku tidak akan menikah kecuali jika engkau menikahkan aku dengan wanita yang engkau kehendaki." Lalu Rosulullah saw. bersabda: "Aku akan nikahkan engkau dengan wanita Bintu Kulsum Al-Khumairi." (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah & Ibnu Abdil Bar)
Meminang ( Khitbah )
Pengertian
Meminang adalah pernyataan seorang pria yang meminta kesediaan seorang wanita
untuk menjadi istrinya melalui orang yang dipercaya. Hal itu diperbolehkan
dalam Islam Meminang juga bisa dilakukan dengan jalan kiasan (sindiran) jika
wanita yang dipinang dalam iddah ba`in (yakni masa
menunggu bagi seorang wanita setelah dijatuhkan talaq ketiga / talaq ba`in oleh
suaminya). Juga bisa dilakukan terhadap wanita dalam masa iddah karena
ditinggal mati suaminya. Mengutarakan keinginan dengan bahasa kiasan adalah
sebagai sopan santun Islam menjaga perasaan seseorang.
``Tidak ada
dosa bagimu meminang umnita itu dengan sindiran atan kamu sembunyikan
keinginanmu dalam hati. Allah mengetahui bahwa hmu akan menyebut-nyebut kepada mereka.
Tetapi janganlah kamu mebuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata (sindiran) yang baik. Dan
janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya.`` (QS. 2/Al-Baqoroh:
235).
Wanita yang haram dipinang, ialah
yang masih dalam iddah roj`iyah
(yakni masa menunggu bagi seorang wanita setelah dijatuhkan talaq pertama atau
kedua oleh suaminya), karena masih hak pria yang menceraikannya. Dalam
pengertian bahwa mantan suaminya itu masih berhak kembali kepadanya. Juga haram
meminang wanita yang sedang dipinang orang lain. Muhammad Rosulullah saw.
bersabda, ``Orang mukmin dengan orang mukmin
adalah bersaudara, maka tidak halal bagi seorang mukmin meminang seorang wanita
yang sedang dipinang oleh saudaranya. Sampai nyata-nyata sudah ditinggalkannya.``
(HR. Ahmad dan Muslim)
Sebelum meminang seorang wanita, pihak pria boleh melihatnya lebih
dulu. Ketika Mughiroh bin Syu`bah berkeinginan untuk menikahi
seorang wanita, Muhammad Rosulullah saw. bersabda kepadanya: ``Pergilah
nelihat wanita itu, karena dengan melihatnya akan memberikan jaminan hgi
kelangsungan hubunganmu berdua``. Mughiroh melaksanakan ymntah itu, lalu
menikahinya. Di kemudian hari, ia menceritakan tentang krukunan dirinya dengan
wanita itu. (HR. Ibnu
Majah, An-Nasa`i, dan Tirmidzi).
Apabila seorang pria berhalangan
untuk melihat secara langsurig wanita yang akan dipinangnya, maka boleh
mengirimkan utusan seorang wanita yang dapat dipercaya. Yakni yang jujur untuk
menceritakan semua yang dilihatnya dengan apa adanya.
Jelaslah
bahwa jika saudara ingin menikahi seorang wanita, memang harus betul-betul
mengenal profilnya. Tidak terbatas pada rupa dan bentuk lahiriyahnya saja.
Namun yang paling penting adalah watak/karakter dan perilakunya sehari-hari.
Sebab dengan begitu saudara akan tahu, kelebihan dan
kelemahan si wanita tersebut. Kemudian saudara pertimbangkan secara matang,
lebih banyak mana sisi positifnya dibandingkan dengan sisi negatifnya. Lalu
seandainya saudara memutuskan tetap menikahinya, sanggupkah saudara menerima
segala kekurangannya, sekaligus mampukah saudara membimbingnya. Itulah yang
dimaksud dalam anjuran Rosulullah saw. ``Pergilah melihat (mengenali) wanita
itu``.
Dalam meminang seorang wanita,
pria hendaknya menjauhi empat hal.
1. Janganlah menikahi orang-orang Musyrik, sebagaimana ditegaskan
dalam Surat Al-Baqoroh
ayat 221 yang telah dikutip di atas.
2. Janganlah menikahi wanita karena hartanya. Muhammad Rosulullah
saw. bersabda ``Jangan engkau nikahi wanita karena kecantikannya, karena ia
hanya akan sibuk mengurus kecantikannya. Jangan pula engkau nikahi karena
hartanya, karena harta kekayaannya membuatnya beringas dan kejam kepadamu. Tapi
nikahilah wanita karena agamanya, atau juga budak wanita yang memiliki agama.`` (HR Abid bin Hamid)
3. Janganlah menikahi wanita karena kebangsawanannya, Muhammad
Rosulullah saw. bersabda, ``Barangsiapa menikahi seorang wanita karena
kebangsawanannya, niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan.`` (Al- Hadis)
4. Janganlah menikahi seorang wanita karena
kecantikannya. Sabda Muhammad Rosulullah saw. bersabda, ``Barangsiapa
menikahi seorang wanita karena hartanya dan kecantikannya, niscaya Allah akan
melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barangsiapa yang menikahi seorang
wanita karena agama, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya berupa harta
dan kecantikan.`` (Al-Hadis)
Mahar ( Mas Kawin )
Mahar ialah Suatu pemberian dari
seorang pria kepada seorang wanita yang dinikahinya disebut mahar (maskawin).
Pemberian itu dapatberupa sejumlah uang dan barang seperti Al-Qur`an,
seperangkat alat sholat dan lain sebagainya. ``Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepadamu sebagian (maskawin) itu dengan senanghati, maka
terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.`` (QS. 4/An- Nisa`: 4)
Jumlah
maskawin tergantung dari kemampuan calon suami dan atas persetujuan istri,
namun hendaklah tidak berlebihan. Jabir
ra. menuturkan, Rosulullah saw. bersabda: ``Seandainya seorang pria member!
makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita, sesungguhnya
wanita itu halal baginya.`` (HR Ahmad & Abu Dawud) Abu Aifa` menceritakan, ia
mendengar Umar mengatakan: ``Janganlah berlebih-lebihan memberi mahar kepada
wanita. Sebab apabila hal itu menjadi kemuliaan di dunia atau akan menjadi
kebaikan di akhirat, tentu Nabi lebih utama dalam hal itu. Tetapi beliau tidak
pernah memberi maskawin kepada istri-istri beliau lebih dari 12 aucjiyah
(sekitar 1.498 gram perak). Beliau juga tidak pernah membiarkan anak-anaknya
menerima maskawin lebih dari itu.`` (HR Lima orang ahli hadits)
Penyerahan
maskawin boleh secara tunai atau hutang. Apabila dibayar tunai lalu terjadi
perceraian sebelum bersetubuh, maka suami boleh meminta kembali separuhnya.
Sebaliknya jika maskawinnya hutang lantas terjadi perceraian sebelum bersetubuh,
maka suami wajib membayar separohnya. ``Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh
(campuri) padahal sudah kamu tentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua
(0,5)nya dari yang telah kamu tentukan. Kecuali jika mereka (membebaskan) atau
dibebaskan oleh orang yang memegang ikatan nikah (wali). Pembebasan itu lebih
dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.`` (QS. 2/Al- Baqoroh: 237)
Jika mahar belum
dibayar oleh suami, si istri berhak mempertahankan atau tidak tergesa-gesa menyerahkan
dirinya. Ibnu Abbas ra. menyatakan, sesungguhnya Ali ra. ketika sudah menikah
dengan Fatimah bermaksud akan mulai bercampur. Namun Muhammad Rosulullah saw.
melarangnya sebelum ia memberikan sesuatu. ``Saya tidak punya
apa-apa,` jawab Ali ra. Muhammad
Rosulullah saw. bertanya: ``Dimanakah baju besimu
untuk berperang?`` Lalu Ali ra.
menyerahkan baju besinya. Setelah itu ia mendekati Fatimah. (HR Abu Dawud)
Syarat Bentuk Kalimat Ijab dan Qabul
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah
mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak.
Atau salah satunya bentuk madhi
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah
mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak.
Atau salah satunya bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal
(yang akan datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali
mengatakan, "Zawwajaka Ibnatii " (Aku nikahkan kamu dengan puteriku),
sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, "Qabiltu"
(Aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi
bentuk kedua adalah si wali mengatakan: "Uzawwijuka Ibnatii " (Aku akan
nikahkan kamu dengan puteriku), sebagai bentuk mustaqbal. Lalu si
mempelai laki-laki menjawab: "Qabiltu "(Aku terima nikahnya), sebagai
bentuk madhi.
Mereka mensyarakatkan hal itu, karena adanya persetujuan dan kesepakatan
dari kedua belah pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah.
Sedangkan ijab dan qabul hanya merupakan manifestasi dari persetujuan
tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus memperlihatkan secara
jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah
berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari at bagi
sebuah akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena
adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak
mengandung pengertian lain. •
Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secaia pasti
persetu-juan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan
berlangsung. Sehingga, jika salah seorang di antaranya mengatakan:
"Uzawwijuka Ibnatii"(Aku akan nikahkan kamu dengan puteriku). Lalu pihak
yang lain menjawab: "Aqbah nikahaha " (aku akan menerima nikahnya).
Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena, kalimat
yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan
perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada
saat itu.
Seandainya mempelai laki-laki mengatakan: "Zawwijni Ibnataka" (Ni-kahkan
aku dengan puterimu), lalu si wali mengatakan: "ZawwajtuhaLaka’ (Aku
telah menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada
saat itu telah terlaksana. Karena, kata "Zawwijnii " (nikahkan aku)
menunjukkan arti perwakilan dan akad nikah itu dibenarkan jika diwakili
oleh salah satu dari kedua belah pihak.
Mengumumkan Pernikahan
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap
terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan. Atau belum sah,
kecuali para saksi yang hadir menyaksikan akad nikah yang dilangsungkan,
mes-kipun penyiarannya dilakukan dengan sarana yang lain. Akan tetapi
jika para saksi telah menyaksikan pelaksanaannya dan kedua mempelai
berpesan kepada mereka untuk merahasiakan akad pernikahan itu atau tidak
menyiarkannya, maka akad tersebut tetap dianggap sah. Sedangkan Imam
Malik dan para saha-batnya berpendapat, bahwa mengumumkan sebuah
pernikahan (secara meluas) bukanlah suatu hal yang wajib. Akan tetapi,
cukup hanya dengan menyatakan-nya saja (kepada orang-orang yang
terdekat).
Dalam hal ini mereka beralasan, bahwa jual-beli yang di dalamnya
dise-butkan nama Allah, maka harus menyertakan adanya saksi dari pihak
lain ke¬tib berlangsungnya transaksi (yang menguatkan bukti terjadinya
transaksi terse-but). Namun, ada juga dalil yang menunjukkan, bahwa
penampakan tersebut bukanlah sebagai kewajiban di dalam jual-beli.
Begitu pula dengan pernikahan yang di dalamnya Allah Subhanahu wa Ta
’ala tidak menyebutkan keharusan adanya pengumuman secara meluas ketika
akad sedang berlangsung, sebagai syarat atau kewajiban. Karena, maksud
dari pengumuman dan penampakan itu sebenarnya adalah untuk menjaga
keberlangsungan dari keturunan yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
Adapun tindakan pengumuman sebuah pernikahan tetap dibenarkan sete-lah
terlaksana akad, yaitu untuk mengklarifikasi perbedaan yang terjadi
antara kedua mempelai. Jika akad nikah dilaksanakan dan tidak dihadiri
oieh banyak saksi, lalu mereka juga ikut bers aksi sebelum kedua
mempelai melakukan hubung¬an badan, maka akad nikah tersebut tetap sah.
Akan tetapi, jika telah melakukan hubungan badan, sedangkan para saksi
belum menyaksikan akad nikah, maka keduanya harus dipisahkan
(pernikahannya tidak dapat dianggap sah).
Sebuah pernikahan tidak sah, kecuali dengan dihadirkannya beberapa
saksi, demikian menurut penclapat para ulama. Tidak ada perbedaan di
antara para ulama terdahulu mengenai hal tersebut, kecuali sekelompok
ulama dari kalangan mutaakhirin (yang hidup belakangan). Selain itu,
hadirnya saksi ber-kaitan dengan hak dari kedua mempelai, utamanya
mengenai keturunan atau anak, sehingga hal itu disyaratkan dalam akad
nikah. Dengan maksud, agar
sang ayah tidak mengingkari anak yang nantinya dilahirkan dari hubungan
perni¬kahan tersebut, sehingga terpelihara keutuhan dari keturunannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad nikah tetap sah tanpa adanya
saksi. Di antaranya adalah ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi,
Yazic binHarun, Ibnu Mundzir, Dawuddanhal ini pernah dikerjakan oleh
IbnuUma: dan Ibnu Zubair. Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, bahwa ia
pernah menikah tanpa adanya saksi. Akan tetapi, kemudian ia mengumumkan
pernikahannya itu. Adapun mengenai adanya dua saksi dalam suatu
pernikahan tidak ditetap¬kan dalam hadits, demikian menurut Ibnu
Mundzir.
Sedangkan Yazid bin Harun mengatakan: "Allah memerintahkanadanya saksi
dalam jual-beli saja dan tidak pada pernikahan. Sementara Ashabum’y.
mensyaratkan adanya saksi dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya 4
dalam jual-beli. Jika suatu akad nikah dilaksanakan secara diam-diam dan
penye¬lenggara berpesan agar tidak diumumkan, maka pernikahan itu tetap
sah, tetapi dihukumi makruh. Yang demikian itu karena bertentangan
denganperintahuntuk mengumumkannya. " Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ibnu Mundzir. Sementara yang
memakruhkannya adalah Umar. ‘Urwah, Sya’abi dan Nafi’. Menurut Imam
Malik, akad nikah seperti itu batal.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik mengenai seorang laki-laki yang
menikahi seorang wanita dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Lalu
orang tersebut meminta kedua saksi itu untuk merahasiakannya. Mengenai
permintaan itu, ia (Imam Malik) menjawab: "Kedua mempelai harus
dipisah¬kan dengan bercerai dan tidak diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedang bagi si wanita boleh mengambil maharnya jika telah menerima dan
bagi kedua saksi tersebut tidak mendapatkan sanksi apa-apa."
Walimah ( Resepsi )
Bila disebut walimah, orang akan segera menafsirkan walimatul ursi (walimah pengantin). Maksudnya
pesta pernikahan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah SWT berupa
berlangsungnya akad nikah. Hukum walimah ini sunnah muakkad. Pelaksanaannya
hendaklah sebatas kemampuan. Sebab Islam mencegah melakukan sedekah semacam itu
dengan memaksakan diri, misalnya dengan mencari hutang, karena hal itu
memberatkan. Selain itu harus disadari, daripada uang dihambur-hamburkan hanya
untuk selamatan, lebih baik digunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.
Misalnya untuk mengontrak rumah atau membeli perabotan rumah tangga. Sebab
pengantin baru harus memulai kehidupan dari awal dan semua itu memerlukan
banyak uang.
Ada beberapa hadits yang menerangkan masalah walimatul ursi
ini.
1.
Anas bin Malik ra.
berkata: "Aku tidak melihat Rosulullah
saw membuat walimah untuk istri-istri beliau seperti walimah yang
diselenggarakan untuk istri yang bernama Zainab. Beliau waktu itu memotong
seekor kambing." (HR. Muslim).
2.
Shofiyah binti Syaibah
ra. berkata, "Rosulullah telah
membuat walimah untuk sebagian istri-istri beliau dengan dua mud (1 mud = 6 ons) dari syair (tepung jagung)." (HR. Muslim).
3.
Muhammad Rosulullah
saw. bersabda. "Kalau di antara
kamu diundang (walimah), maka datanglah. Jika kamu berpuasa, maka doakanlah dan
apabila kamu tidak sedang berpuasa, maka makanlah." (HR. Muslim).
4. Muhammad
Rosulullah saw. bersabda. "Sejelek-jelek
jamuan adalah jamuan walimah di mana yang diundang hanya orang-orang kaya,
sedangkan orang-orang miskin dilupakan. Barangsiapa tidak mendatangi undangan
yang tidak seperti itu, maka berarti ia mendurhakai Allah dan rosul-Nya." (HR. Muslim).
Muhrim
Wanita-wanita yang tidak halal (dilarang) dinikahi disebut
muhrim. Apabila hal ini dilanggar, maka pernikahannya tidak sah, dan
hubungan mereka (sebagai suami-istri) tergolong dalam perbuatan zina.
Wanita yang tidak halal dinikahi ini ada 14 macam, terbagi dalam 4 (empat) golongan. Semua itu diterangkan dalam Al-Qur`an (baca: QS. 4/An-Nisa: 22-24)
Tujuh orang dari sebab nasab (keturunan):
- ibu, ibunya ibu, dan ibu dari bapak sampai garis keturunan ke atas, seterusnya.
- anak, cucu, dan keturunan ke bawah seterusnya.
- saudara wanita seibu-sebapa, atau seibu/sebapa saja
- saudara wanita dari bapak.
- saudara wanita dari ibu.
- anak wanita dari saudara lelaki, dan seterusnya.
- anak wanita dari saudara wanita, dan seterusnya.
Dua orang dari sebab rodho`ah (susuan):
- ibu yang menyusui, sekalipun bukan ibu kandung.
- saudara wanita satu susuan.
Empat orang dari sebab mushoharoh (perkawinan):
- ibu dari istri (mertua)
- anak tiri, apabila sudah pernah menggauli ibunya
- istri dari anak (menantu)
- istri dari bapak. "Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau."(QS. 4/An-Nisa`:22)
Satu orang dari sebab jama` (berkumpul), yaitu:
- saudara wanita dari istri (ipar).
Kufu (Setingkat)
Persamaan derajat (kufu) bukan menjadi syarat dalam pernikahan, namun tanpa kerelaan pihak istri atau walinya pernikahan yang sudah dilangsungkan dapat dibatalkan. Kufu adalah hak wanita dan walinya.
Persamaan derajat (kufu) bukan menjadi syarat dalam pernikahan, namun tanpa kerelaan pihak istri atau walinya pernikahan yang sudah dilangsungkan dapat dibatalkan. Kufu adalah hak wanita dan walinya.
Persamaan derajat (kufu) bukan menjadi syarat dalam
pernikahan, namun tanpa kerelaan pihak istri atau walinya pernikahan yang sudah
dilangsungkan dapat dibatalkan. Kufu adalah hak wanita dan walinya. Keduanya
berhak menilai dan memutuskan: apabila pihak suami dipandang lebih rendah
derajatnya (status sosialnya), maka mereka berhak menolaknya.
Persamaan derajat itu dapat ditinjau dari lima segi.
Tentang masalah kufu, Al-Qur`an mengungkapkan, "Pezina pria tidak boleh menikah kecuali dengan pezina wanita atau dengan wanita musyrik. Dan pezina wanita tidak boleh menikah kecuali dengan pezina pria atau dengan pria musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin. (QS. 24/An-Nur: 3). Maksudnya ayat ini adalah tidak pantas orang yang beriman menikah dengan pezina, demikian juga sebaliknya. Semua itu guna memelihara keturunan dan kehormatan diri orang beriman.
Bagaimana jika antara pria dan wanita yang tidak sederajat, misalnya wanita muslimah dengan pria non muslim atau sebaliknya, tetap menjalin cinta dan menikah? Dalam banyak kasus pernikahan semacam itu merugikan pihak muslim. Memang secara kasat mata mereka bisa hidup sejahtera dan seolah bahagia, namun akidahnya lambat laun tergadaikan. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya murtad. Na`udzubillah.
Al-Qur`an melarang orang muslim menikah dengan non muslim,
"janganlah kaniu nikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik : mkipun din menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (pria) msyrik(dengan wanita yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya pria yang beriman lebih baik daripada pria musyrik meskipun in menarik hatimu." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221)
Oleh karena itu jika saudara mulai jatuh cinta, sebelum melangkah lebih jauh selidikilah dulu latar belakang orang yang saudara cintai. Setidaknya tentang agamanya, apakah si dia seiman dengan kita atau tidak. Jika sudah jelas-jelas beda agama, jauhilah.
Perlu saudara ketahui bahwa rata-rata tujuan orang non muslim menikahi orang Islam adalah untuk mengajak memasuki agama mereka. Ingat misi mereka memang memperbanyak pemeluk melalui pernikahan. Karena itu tidak sedikit non-muslim yang ketika mau menikah dengan orang Islam, rela masuk Islam lebih dulu. Setelah menikah mereka kembali ke agamanya semula. Lalu istrinya yang muslimah pun diajak untuk memeluk agamanya dengan berbagai macam cara. Jadi waspadalah. Benarlah firman Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, "Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221
Barangkali yang juga harus dipertimbangkan tentang kufu ini adalah selisih usia. Buroidah ra. mengemukakan, Abu Bakar ra. dan Umar ra. datang melamar Siti Fatimah ra., maka Muhammad Rosulullah saw. menjawab, "Sesungguhnya ia masih terlalu kecil". Kemudian datanglah Ali kw. melamarnya, Maka Rosulullah saw. menikahkan Siti Fatimah dengannya. (HR. Nasai)
Rosulullah saw. menikahkan putrinya, Siti Fatimah ra. Dengan Ali kw. karena usia keduanya hampir sepadan. Sedangkan umur Siti Fatimah dibandingkan dengan Abu Bakar ra. dan Umar ra. terpaut sangat jauh, sebab kedua sahabat Nabi saw. itu telah berusia lanjut.
Hadits ini menyiratkan anjuran, sebaiknya pernikahan itu dilakukan dengan orang yang tidak banyak selisih usianya. Mengapa? Sebab permikiran orang yang telah lanjut usia berbeda dengan pemikiran gadis belia. Jadi kalau seorang gadis yang masih belia menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua akan terjadi hal-hal semacam berikut ini:
si istri punya keinginan selalu bermanja-manja, tidak peduli di keramaian saat jalan-jalan. Namun suaminya merasa malu untuk mengimbangi tingkah-laku istrinya;
si istri menghadapi masalah dengan canda-tawa, sebaliknya suaminya selalu serius;
si istri masih senang bermain-main, sedangkan suaminya inginnya senantiasa beribadah;
apabila punya uang si istri cenderung bersenang-senang, tetapi suaminya mengutamakan menabung.
Nah keinginan-keinginan suami istri yang selalu bertolak belakang itu merupakan masalah yang sangat serius. Jika hal itu terus-menerus terjadi, pastilah pertengkaran demi pertengkaran tak terhindarkan. Dan setiap pertengkaran yang tidak dapat diakhiri dengan baik senantiasa menorehkan luka berkepanjangan. Akibatnya keduanya pun memendam ketersiksaan. Lalu terjadilah saling menghindari, yang akhirnya membuat masing-masing merasa asing. Selanjutnya, biasanya terjadilah perceraian.
Persamaan derajat itu dapat ditinjau dari lima segi.
- Agama. Seorang wanita muslim tidak sederajat dengan pria kafir.
- Merdeka. Seorang yang merdeka tidak sederajat dengan budak.
- Keturunan. Seorang dari keluarga yang saleh tidak sederajat dengan keluarga yang fasik.
- Kehormatan dan kesucian diri. Wanita terhormat dan bersih dari noda dan dosa tidak sederajat dengan pria pemabuk atau penjudi, apalagi dengan pezina.
- Status sosial. Pria yang pekerjaannya rendah tidak setingkat dengan wanita anak dari orang yang terpandang kedudukannya.
Tentang masalah kufu, Al-Qur`an mengungkapkan, "Pezina pria tidak boleh menikah kecuali dengan pezina wanita atau dengan wanita musyrik. Dan pezina wanita tidak boleh menikah kecuali dengan pezina pria atau dengan pria musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin. (QS. 24/An-Nur: 3). Maksudnya ayat ini adalah tidak pantas orang yang beriman menikah dengan pezina, demikian juga sebaliknya. Semua itu guna memelihara keturunan dan kehormatan diri orang beriman.
Bagaimana jika antara pria dan wanita yang tidak sederajat, misalnya wanita muslimah dengan pria non muslim atau sebaliknya, tetap menjalin cinta dan menikah? Dalam banyak kasus pernikahan semacam itu merugikan pihak muslim. Memang secara kasat mata mereka bisa hidup sejahtera dan seolah bahagia, namun akidahnya lambat laun tergadaikan. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya murtad. Na`udzubillah.
Al-Qur`an melarang orang muslim menikah dengan non muslim,
"janganlah kaniu nikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik : mkipun din menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (pria) msyrik(dengan wanita yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya pria yang beriman lebih baik daripada pria musyrik meskipun in menarik hatimu." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221)
Oleh karena itu jika saudara mulai jatuh cinta, sebelum melangkah lebih jauh selidikilah dulu latar belakang orang yang saudara cintai. Setidaknya tentang agamanya, apakah si dia seiman dengan kita atau tidak. Jika sudah jelas-jelas beda agama, jauhilah.
Perlu saudara ketahui bahwa rata-rata tujuan orang non muslim menikahi orang Islam adalah untuk mengajak memasuki agama mereka. Ingat misi mereka memang memperbanyak pemeluk melalui pernikahan. Karena itu tidak sedikit non-muslim yang ketika mau menikah dengan orang Islam, rela masuk Islam lebih dulu. Setelah menikah mereka kembali ke agamanya semula. Lalu istrinya yang muslimah pun diajak untuk memeluk agamanya dengan berbagai macam cara. Jadi waspadalah. Benarlah firman Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, "Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221
Barangkali yang juga harus dipertimbangkan tentang kufu ini adalah selisih usia. Buroidah ra. mengemukakan, Abu Bakar ra. dan Umar ra. datang melamar Siti Fatimah ra., maka Muhammad Rosulullah saw. menjawab, "Sesungguhnya ia masih terlalu kecil". Kemudian datanglah Ali kw. melamarnya, Maka Rosulullah saw. menikahkan Siti Fatimah dengannya. (HR. Nasai)
Rosulullah saw. menikahkan putrinya, Siti Fatimah ra. Dengan Ali kw. karena usia keduanya hampir sepadan. Sedangkan umur Siti Fatimah dibandingkan dengan Abu Bakar ra. dan Umar ra. terpaut sangat jauh, sebab kedua sahabat Nabi saw. itu telah berusia lanjut.
Hadits ini menyiratkan anjuran, sebaiknya pernikahan itu dilakukan dengan orang yang tidak banyak selisih usianya. Mengapa? Sebab permikiran orang yang telah lanjut usia berbeda dengan pemikiran gadis belia. Jadi kalau seorang gadis yang masih belia menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua akan terjadi hal-hal semacam berikut ini:
si istri punya keinginan selalu bermanja-manja, tidak peduli di keramaian saat jalan-jalan. Namun suaminya merasa malu untuk mengimbangi tingkah-laku istrinya;
si istri menghadapi masalah dengan canda-tawa, sebaliknya suaminya selalu serius;
si istri masih senang bermain-main, sedangkan suaminya inginnya senantiasa beribadah;
apabila punya uang si istri cenderung bersenang-senang, tetapi suaminya mengutamakan menabung.
Nah keinginan-keinginan suami istri yang selalu bertolak belakang itu merupakan masalah yang sangat serius. Jika hal itu terus-menerus terjadi, pastilah pertengkaran demi pertengkaran tak terhindarkan. Dan setiap pertengkaran yang tidak dapat diakhiri dengan baik senantiasa menorehkan luka berkepanjangan. Akibatnya keduanya pun memendam ketersiksaan. Lalu terjadilah saling menghindari, yang akhirnya membuat masing-masing merasa asing. Selanjutnya, biasanya terjadilah perceraian.
Mahram
Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram
dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan
kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan
tidak langsung.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita
yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita
dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung
dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda,
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda,
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
- Kebolehan berkhalwat (berduaan)
- Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
- Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
-
Ibu kandung
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya. -
Anak-anakmu yang perempuan
Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya. -
Saudara-saudaramu yang perempuan,
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya. -
Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan. -
Saudara-saudara ibumu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan. -
Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah. -
Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu. -
Ibu-ibumu yang menyusui kamu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan. -
Saudara perempuan sepersusuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan. -
Ibu-ibu isterimu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki. -
Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya. - Isteri-isteri anak kandungmu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.