Islam dan Metode Empiris
Metode empiris atau eksperimental yang sejak abad 17 M. hingga kini begitu diagungkan dalam tradisi keilmuan di Barat, bukanlah barang asing dan seolah tak dikenal sama sekali dalam tradisi ulama klasik kita. Benih dan unsur-unsur metode ini pernah dipraktekan secara serius oleh ilmuwan muslim pada berbagai disiplin ilmu alam: seperti kimia, astronomi, optik, dll. Namun, jujur kita akui, sistematisir metode ini baru dilakukan pada abad ke-17 M. ditangan Francis Bacon (w.1620 M.) melalui karya monumentalnya:Novum Organum.
Ahli kimia, Jabir bin Hayan (w. 160 H.), misalnya, dengan metode empirisnya mampu merumuskan unsur dan ciri-ciri zat serta reaksi-reaksi yang bisa menyebabkan timbulnya zat-zat baru. Metode yang sama, juga diterapkan ar-Razi (w. 311 H.), Ibnu Sina (w. 3479 H.) dan Ibnu al-Haitsyam (w. 1038) dalam bidang kedokteran. Buku kedokteran Ibnu Sina dan ar-Razi bahkan bertahan sebagai buku diktat pada sejumlah universitas top di Eropa hingga abad pencerahan Eropa. kita juga punya al-Biruni (w. 440 H.) dalam ilmu astronomi. Nama-nama tadi adalah sedikit dari sekian banyak ilmuwan muslim yang menggunakan metode empiris dalam penelitiannya. Penuturan tadi, ditengah keterpurukan umat Islam dewasa ini, tentu saja tidak karena terjebak pada romantisisme-negatif sejarah keemasan Islam. Kita sadar sepenuhnya keagungan sejarah tak mewariskan apapun pada generasi selanjutnya kecuali suri teladan. Kalimat terakhir inilah ingin kita garisbawahi. Dan yuk kita bangkit kembali yuuk! Kita bisa!
Hanya saja perlu diingat bahwa metode empiris bukanlah satu-satunya metode yang biasa dipraktekan dan dijadikan tolak ukur kajian keilmuan ulama klasik. Masih banyak metode lain, selain metode empiris, yang juga sama-sama bisa mengantarkan kita pada kebenaran dan keyakinan objektif.
Pertanyaannya, kenapa kita tidak membatasi diri pada metode empiris saja? Bukankah lebih bisa diterima para penganut Positivisme, misalnya?
Beragamnya corak metode bukanlah tanpa alasan. Keragaman ini berangkat dari sebuah keyakinan dan pandangan hidup (worldview) bahwa: pertama, realitas alam raya ini terbagi dua: alam fisik dan supranatural atau dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan âlam syahâdah dan âlam ghâib. Kedua, sebagai implikasi world view tadi, maka metode-metode yang digunakan tidak mungkin tunggal lagi, tapi harus disesuaikan dengan objek-objek penelitiannya. Nah, pada titik inilah metode empiris menemukan keterbatasannya. Karena ia hanya mungkin diterapkan pada kajian yang bisa diamati dengan indra saja. Artinya ia hanya bisa diaplikasikan pada objek alâm syahâdah atau realitas alam fisik saja. Kenyataan inilah yang menjelaskan kenapa begitu beragamnya metode yang kita miliki.
Bagaimana cara ulama klasik memperoleh dan Kemudian mengkonstruk ilmu pengetahuannya? Apa saja yang dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuannya?
Sebelum merumuskan teori dan sumber keilmuan ulama klasik, terlebih dulu kita harus membuat batas tegas antara tiga istilah kunci yang dipakai sebagai klasifikasi permanen dalam epistemologi (teori ilmu pengetahuan), supaya tidak terjadi tumpang tindih dan salah posisi. Tiga term itu adalah: ada yang disebut dengan (1) sumber ilmu pengetahuan (masdar al-ilm). (2) Ada juga yang disebut sebagai sarana atau medium untuk memperoleh dan merumuskan ilmu pengetahuan (al-wasilah) dan (3) metodologi penelitian sebagai alat untuk objektifikasi dan akurasi data.
Perlu dicatat, kuantitas dan cakupan masing-masing term ini bersifat relatif –seperti nanti akan kita dedahkan, tergantung mazhab dan aliran pemikiran yang dianut. Misalnya, dalam poin kedua tentang al-wasilah, aliran filsafat materialisme radikal membatasi wasilah keilmuan pada panca indra saja. Hal-hal yang tak bisa di indra walaupun dibangun dengan kriteria dan tingkat konsistensi logika yang tinggi, tak dianggap sebagai ilmu (science). Sementara dalam tradisi keilmuan Islam, misalnya, selain panca indra juga ada rasio, tergantung pada objek apa yang sedang dikaji, sebagai ukuran kebenaran. Artinya sebuah pernyataan yang dibangun melalui rasio murni, dalam tradisi Islam dinamakan ilmiah (argumentatif) asal ada landasan konsistensi logika. Misalnya seperti kajian konsep ketuhanan. Bahkan al-Qur’an menyuruh kita untuk mengkombinasikan antara panca indra dengan rasio.
Sumber ilmu, ialah tempat dimana ilmu bisa diperoleh. Ia juga menjadi titik ukur kebenaran sejati. Pernyataan terakhir ini sesuai dengan kaidah: al-ilm yatba’ al-ma’lum (al-maklum atau objek pengetahuanlah yang menjadi tolak ukur kebenaran. Akal tak bisa mereka-reka seenaknya. Artinya secanggih apapun sebuah teori tetap tak dianggap akurat ketika, misalnya, menyatakan bahwa sesungguhnya matahari –sebagai al-maklum- itu terbit di Barat dan tenggelam di Timur). Kecuali mazhab anti-realisme, kaidah ini diikuti mayoritas aliran pemikiran.
Apa Saja Yang Bisa Dijadikan Sumber Keilmuan dalam Islam?
Dalam Islam yang bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan, sebagaimana kita temukan dengan mudah dalam mukadimah karya ulama-ulama ilmu kalam klasik adalah: wahyu dan kaun (alam semesta).
Realitas dijadikannya wahyu, selain kaun, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tertinggi tentu memberikan implikasi luar biasa pada cara pandang umat Islam tentang berbagai hal yang terjadi di jagat raya ini.
Kenyataan ini berbenturan dengan mainstream pemikiran yang berkembang di Barat dewasa ini, yaitu aliran positivisme atau matrialisme. Aliran ini menolak wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Baginya hanya hal-hal yang bisa diverifikasi dan dibuktikan lah yang bisa menjadi sumber keilmuan (alam semesta).
Apa Implikasinya?
Implikasinya, bagi mereka –aliran matrialisme dan sejenisnya- persoalan metafisika: konsep Tuhan, konsep wahyu, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, konsep neraka dan sebagainya bukanlah sesuatu yang ilmiah. Kepercayaan terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi dan khurafat belaka. Misalnya saja, seorang tokoh psikoanalisis Barat-Modern, Sigmund Freud (w. 1939), mengatakan bahwa kepercayaan kita terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi atau khurafat belaka
Dalam Islam yang menerima konsep wahyu –selain kaun- sebagai sumber ilmu pengetahuan danmembangun visi metafisisnya melalui wahyu, menilai pembahasan metafisika sebagai kerja ilmu dan hasilnya pun, kalau dilakukan dengan metode yang benar, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah.
Kenapa pengetahuan tentang Alam Gaib yang berdasarkan informasi wahyu dianggap pengetahuan ilmiah atau argumentatif?
Yah, karena proses seorang muslim menuju pada keyakinan untuk menerima sepenuh hati, apapun hal gaib yang datang dari Allah Saw. sangat ilmiah, argumentatif dan dibangun diatas landasan dalil rasional-aksiomatik. Misalnya. setelah melakukan pengembaraan intelektual serius atas fenomena alam semesta dengan pendekatan dalil-dalil rasional-aksiomatik lewat teori-teori yang sering kita temukan dalam diktat kuliah ilmu kalam atau tauhid kita, misalnya, istihalah at-tasalsul wa ad-dawr, istihalh at-tarjih bila al-murajih, talazum al-bayin bi al-ma’na al-khas dan qanun ‘iliyah), hingga akhirnya terbersitlah sebuah keyakinan dan keimanan dalam hatinya akan wujud Allah Swt sebagai Dzat pencipta dan pengatur alam semesta, juga berstatus wajibul wujud dan MahaKuasa.
Sebagai konsekuensi logisnya, dia harus menerima apapun yang difirmankan atau diberitakan Allah Swt, termasuk soal gaib. Walaupun akal dan kemampuan intelektual manusia tak mampu mencernanya -karena urusannya berkaitan dengan dunia gaib. Penerimaan atas konsep metafisikaNya yang diambil dari al-Qur’an dan “Sunah”, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah karena datang dari Dzat MahaKuasa dan diinfokan melalui metodologi periwayatan atau penuturan yang sangat canggih, terpercaya dan berujung pada satu kesimpulan bahwa berita-berita seputar alam metafisik –dan yang lainnya- ini benar adanya karena betul-betul datang dari Dzat yang Maha Agung dan Berkuasa. Wallahu ‘alam.