Muhammad dalam Perspektif Al-Quran (Bag 1)
Muhammad s.a.w lahir di tengah keluarga besar Bani Hasyim yang sangat terhormat di kota Makkah. Beliau lahir saat mentari terbit pada hari Senin, hari kesembilan dari bulan Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun Gajah. Dinamakan tahun Gajah, karena sejarah mencatat sebuah prahara yang cukup besar yang dipicu oleh pasukan Abrahah berkendarakan gajah yang menyerang kota Makkah yang hendak meluluhlantakkan bangunan Ka’bah di awal tahun itu. Peristiwa ini termaktub di dalam QS.Al-Fiil. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, Syeikh Shafiyyu Rahman Al-Mubarakfuri).
Sedangkan Ibnu Hisyam, dalam As-Sirah An-Nabawiyah, mengutip pendapat Ibnu Ishaq bahwa Muhammad s.a.w lahir pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah atau bertepatan pada tanggal 20 atau 22 April 571 M, sebagaimana ditetapkan oleh ilmuwan tersohor Muhammad Sulaiman Al-Mansurufauri Rahimahullah.
1. Nabi yang Terlahir Yatim
Sudah 1436 tahun berlalu suatu momen yang menghadirkan seorang anak manusia ke permukaan bumi, yang terlahir dalam keadaan yatim tak berayah, dan tak lama kemudian, kasih sayang ibu serta belaian lembut dan pelukan hangatnya harus berakhir di saat umurnya belum genap enam tahun. Dia-lah Muhammad s.a.w, yang tumbuh dewasa di bawah asuhan sang kakek tercinta Abdul Muthallib, yang kemudian sepeninggalnya, beralih dalam naungan Abu Thalib, sang paman yang bijaksana.
Muhammad s.a.w, yang tidak sempat mengenal ayahnya sendiri dan tak lama merasakan kebahagian bersama ibunya, tidak menyebabkannya frustasi dan kehilangan kendali. Ia tumbuh dewasa dengan sifat tawadhu’, berakhlak terpuji serta jauh dari sifat-sifat yang tercela, seperti takabbur, ujub, zalim dan sebagainya.
Keadaan itu terukir dalam untaian ayat Al-Qur’an dalam QS.Adh-Dhuha: 6 – 8 ;
“Alam yajidka yatiiman fa aawaa. Wa wajadaka dhaalan fahadaa. Wa wajadaka ‘aailan fa aghnaa”.
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bimbang, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”(QS.Adh-Dhuha: 6 – 8).
Kemudian hal itu semua menjadikan pribadi Muhammad s.a.w teguh pendirian, peduli terhadap sesama, dan berkasih sayang terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firmanNya:
“Fa ammal yatiima falaa taqhar. Wa amma saaila falaa tanhar. Wa Amma bini’mati Robbika fahaddist”
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur) (QS.Adh-Dhuha: 9 – 11).
Inilah sebuah tarbiyah Ilahiah (pendidikan dari Tuhan) yang Allah anugerahkan kepada Nabiyyur-Rahmah (sang nabi yang menebarkan rahmat), yang diungkapkanNya dalam kitab suci, sebagai peringatan bagi hamba-hambaNya yang beriman agar dapat membawa diri mereka ke sifat-sifat yang mulia dan sebagainya, sebagai wujud syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas taufikNya berupa hidayah setelah dhalalah(kesesatan), dan kekayaan yang memadai setelah kefakiran yang penuh derita, serta segala nikmat yang tak terhingga menaungi keberadaan mereka.
Inti sari dari makna ayat tersebut di atas: Janganlah bersikap kasar terhadap anak-anak yatim, sebab dahulu engkau adalah anak yatim, dan engkau tidak suka diperlakukan sewenang-wenang. Dan janganlah menghardik orang-orang fakir, karena dahulu engkau seorang yang fakir, dan engkau tak sudi dicela oleh orang lain. Dan tidak diragukan bahwa manusia yang selalu ingat akan nikmat Tuhannya, niscaya akan mengalami kemajuan yang berkesinambungan dalam kebaikan dan tercegah dari kejahatan lagi nasib buruk, bagi yang Allah kehendaki.