Jual Beli
Pengertian jual-beli menurut
syari`at agama yaitu kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda
tersebut selamanya. Melakukan jual beli dibenarkan dalam Al-Qur`an.
Pengertian jual-beli menurut
syari`at agama yaitu kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda
tersebut selamanya. Melakukan jual beli dibenarkan dalam Al-Qur`an. "Allah
telah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba". (QS. 2/Al-Baqoroh:
275).
Apabila jual beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan
agar tidak terjadi kecurangan di belakang hari, Al- Qur`an menyarankan agar ada
saksi. "Dan ambiilah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit, begitu pula saksi." (QS.2` Al-Baqoroh:
282).
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah
sebagai berikut:
1. Penjual dan pembelinya haruslah:
a) baligh, berarti
anak kecil tidak sah jual-belinya.
b) berakal sehat, berarti orang bodoh
atau gila tidak sah jual- belinya.
c) atas kehendak sendiri, jika
terdapat unsur paksaan maka tidak sah jual-belinya.
2. Uang dan
bendanya haruslah:
a)
halal dan suci menurut agama. Maka tidak dapat dibenarkan menjual barang haram
semacam minuman keras. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya AM
dan Rosul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai. Begitu juga babi dan
berhala. " Para sahabat bertanya, "Bagaimm dengan lemak bangkai ya
Rosulullah ? Sebab lemak bangkai berguna buat cat perahu, minyak kulit, dan
minyak lampu." Beliau menjawab, "Tidak boleh, semua itu haram.
Celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan bangkai. Mereka menghancurkan
bangkai itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka
makan uangnya." (H.R. Bukhori dan Muslim dari Jabir ra.).
b) bermanfaat. Dengan demikian kita dilarang memperjual-
belikan barang yang tidak bermanfaat, sebab orang yang membeli barang-barang
yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
"Sesungguhnya orang- orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan
setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. 17/Al-Isro`: 27).
c) keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual
barang yang tidak dapat diserahterimakan. Suatu misal menjual ikan dalam laut atau
barang yang sedang dijadikan jaminan, sebab semua itu mengandung tipu daya.
Diterangkan dalam hadis, "Telah melarang Nabi saw. akan jual- beli barang
yang mengandung tipu daya." (HR. Muslim).
d) keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) milik sendiri. Muhammad Rosulullah saw bersabda,
"Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang dimiliki." (HR. Abu
Dawud dan Tirmizi).
Dengan kata lain sah-sah saja kita menjualkan barang orang lain, asalkan
mendapat kuasa penuh untuk menjualkan dari pemilik barang yang bersangkutan
3. Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, "Saya jual barang ini dengan harga
sekian." Pembeli menjawab, "Baiklah saya beli." Dengan demikian
jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Muhammad Rosulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka." (HR. Ibnu
Hibban).
Pengertian Khiyar adalah bebas
memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Sebab Islam
menggariskan jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur
paksaan sedikitpun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya,
sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya.
Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar
selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka
menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya.
Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka
dihapus keberkahan jual-belinya." (HR. Bukhori dan Muslim)
Dasar Hukum Jual Beli :
1. Al-Qur`an
- Allah Swt berfirman, “Tidak ada
dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S.
Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas
bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan
pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam
musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah 2 :
275)
Mereka berkata, “sesungguhnya jual
beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum
syara` yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata
tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan,
padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba
secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “Dan
persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
Ibnu Juraij berkata, “Barang siapa
yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian”.
Qatadah rh berkata bahwa disebutkan
kepada kami bahwa Abu Sulaiman al-Mur`isyi (salah seorang yang berguru kepada
Ka`b) mengatakan kepada murid-muridnya, “Tahukah kalian tentang seorang yang
teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya tetapi doanya tidak dikabulkan?”. Mereka
menjawab, “Mengapa bisa demikian?”.
Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah
seorang lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu tetapi ia tidak
memakai saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayaran ternyata
si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhan-nya tetapi doanya tidak
dikabulkan.
Demikian itu karena dia telah
berbuat durhaka kepada Tuhannya yaitu tidak menuruti perintah-Nya yang
menganjurkannya untuk mencatat atau mempersaksikan hal itu”. (Tafsir Ibnu
Katsir)
Abu Sa`id, Asy-Sya`bi, Ar-Rabi` ibnu
Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid serta lainnya mengatakan bahwa pada
mulanya menulis utang piutang dan jual beli itu hukumnya wajib, kemudian
di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya)”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
Dalil lain yang memperkuat hal ini
ialah sebuah hadits yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita tetapi
diakui syariat kita serta tidak diingkari yang isinya menceritakan tiada
kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.
Imam Ahmad berkata bahwa telah
menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Laits, dari Ja`far ibnu Rabi`ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmudz, dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah Saw yang mengisahkan dalam sabdanya, “Dahulu ada
seorang lelaki dari kalangan Bani Israil meminta meminta kepada seseorang yang
juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebesar 1000 dinar. Maka
pemilik uang berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar
transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka”.”
Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai
saksi”. Pemilik uang berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu”.
Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin”. Pemilik uang berkata, “Engkau
benar”. Lalu pemilik uang itu memberikan utang itu kepadanya untuk waktu yang
ditentukan. Lalu ia berangkat melalui jalan laut (naik perahu).
Setelah keperluannya selesai, lalu
ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat
pelunasan utangnya hamper tiba. Akan tetapi ia tidak menjumpai sebuah perahu
pun.
Akhirnya ia mengambil sebatang kayu,
lalu melubangi tengahnya, kemudian uang 1000 dinar itu dimasukkan ke dalam kayu
itu berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia sumbat
rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke laut seraya
berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah
berutang kepada si Fulan sebanyak 1000 dinar. Ketika ia meminta kepadaku
seorang penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku`, dan
ternyata ia rela dengan hal tersebut.
Ia meminta saksi kepadaku, lalu
kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi` dan ternyata ia rela dengan hal
tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan
(perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang tetapi
aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini
kepada Engkau”. Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke dalamnya.
Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk menjuju ke
negeri pemilik piutang.
Lalu lelaki yang memberinya utang
keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya.
Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat
uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu bakar.
Ketika ia membelah kayu itu,
ternyata ia menemukan sejumlah harta dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki
yang berutang tiba kepadanya dan datang kepadanya dengan membawa uang 1000
dinar sambil berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu
untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu tetapi ternyata aku tidak dapat
menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini”.
Ia bertanya, “Apakah engkau pernah
mengirimkan sesuatu kepadaku?”. Lelaki yang berutang balik bertanya, “Bukankah
aku telah katakatan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah perahu pun
sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?`.
Ia berkata, “Sesungguhnya Allah
telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu
tersebut. Maka kembalilah kamu dengan 1000 dinarmu itu dengan sadar. (HR
Bukhari)
- Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa’ 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat
di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian
dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha
yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta cara-cara
lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.
Sekalipun pada lahiriyahnya seperti
memakai cara-cara yang sesuai syara` tetapi Allah lebih mengetahui bahwa
sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi dengan
cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)
“kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah kalian
menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah
menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di antara penjual
dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat.
(Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)
Mereka harus senantiasa ingat akan
nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikmatan yang
sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu
mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang menjadikan ayat
ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi, padahal tanpa
menggunakan ayat al-Qur`an pun kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari
dan meningkatkan kehidupan dunia.
Sebaliknya, karena kesibukan duniawi
yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba
dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat diperlukan
bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni`matan dunia, bahwa keni`matan
tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia diingatkan bahwa waktu
yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas.
Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.
Ibnu Abi-Ashim mengatakan: “Yang
dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia` bukan berarti jangan melupakan
keni`matan lahir di dunia, melainkan umurmu. Artinya gunakanlah usiamu untuk
akhirat.”
Dan Ibnul Mubarak juga berpandangan
yang sama, ia berkata: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia`
adalah beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia untuk meraih pahala di
akhirat.”
Dua ungkapan diatas bukanlah
ungkapan yang baru melainkan kelanjutan dari ungkapan para pendahulunya dari
para ahli tafsir baik generasi shahabat, tabiin atau tabi`ut tabi`in.
Dalam menafsirkan ayat ini
Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah kamu tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu
dari dunia untuk berjuang demi meraih nasibmu dari akhirat, maka kamu terus
beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu dari siksaan Allah.”
Dia juga mengutip beberapa ungkapan
para shahabat, dianataranya: Ibnu Abbas: “Kamu beramal didunia untuk
akhiratmu.” Mujahid: “Beramal dengan mentaati Allah.”
Zaid: ”Janganlah kamu lupa
mengutamakan dari kehidupan duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan
mendapatkan di akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan
memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”
Dari beberapa pernyataan shahabat
diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “jangan melupakan nasibmu
dari dunia” adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk beramal
yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar mampu
menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan kemaslahatan akhirat.
Dengan demikian, maka makna ayat ini
sangat erat hubungannya antara awal, tengah dan penghujung ayat. Dan tidak ada
hubungan dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan duniawi atau
meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah, umumnya manusia terus
berlomba untuk meraih kehidupan dunia.
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh
Hakim dari Rifa`ah ibn Rafi`)
Maksud mabrur dalam hadits di atas
adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang
lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli
harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli
harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi,
dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul
Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang
Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 :
198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama
mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang
yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan
syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum
jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan
atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang
lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau
meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan
kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475].
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu`ah
62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam
telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum’at, maka kaum muslimin
wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua
pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila
melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan
perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma`idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih
bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu
seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang
hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
Syarat Jual Beli
Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang
bertransaksi dengannya yakni harus sesuai dengan orang yang dituju.
Akad (ijab qabul)
- Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual
menyatakan ijab atau sebaliknya. - Jangan diselingi dengan
kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut
:
Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab qabul) yang diucapkan”.
(Al-Jazairi, hal.155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i :
Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada
orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni harus sesuai dengan orang yang
dituju. Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!”. Tidak
boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
- Ditujukan pada seluruh badan yang akad
Tidak sah berkata, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau
tangan kamu”.
- Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak
bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab kecuali jika diwakilkan.
- Harus menyebutkan barang dan harga
- Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
- Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum
mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal.
- Ijab qabul tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang
terlalu lama yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
- Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan
lain
- Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh berubah seperti perkataan, “Saya
jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan 10
dirham”, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan
belum ada qabul.
- Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
- Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada
hubungan dengan akad.
- Tidak dikaitkan dengan waktu
Madzhab Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu :
- Berada di tempat yang sama
- Tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak terdapat pemisah yang
menggambarkan adanya penolakan.
- Tidak dikatkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak
berhubungan dengan akad
Imam Malik berpendapat :
“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”.
(al-Qurthubi, hal. 128)
Syarat shighat menurut madzhab Maliki :
- Tempat akad harus bersatu
- Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah yang
mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
- Qabul harus sesuai dengan ijab
- Ijab dan qabul harus bersatu
Yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu
Pendapat kelima adalah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga
dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
“Aqad bi al-mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan
(ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui
harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai
pembayaran”. (al-Jazairi, hal. 156)
- Orang yang berakad (aqid)
- Baligh dan berakal.
Sehingga tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil,
orang gila dan orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta.
Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. (Q.S. An-Nisa 4 :
5)
[268]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh
atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat mengatur harta bendanya).
- Beragama Islam.
Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misal
penjualan budak muslim kepada orang kafir sebab kemungkinan besar pembeli
tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah Swt
melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan
mukmin.
Allah Swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisaa 4
: 141)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
Madzhab Syafi’i
1. Dewasa atau sadar
Aqid harus balig dan berakal, menyadari dan mampu memelihara
din dan hartanya. Dengan demikian, akad anak mumayyiz dianggap tidak sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
Dianggap tidak sah, orang kafir yang membeli kitab Al-Qur’an
atau kitab-kitab yang berkaitan dengan dinul Islam seperti hadits, kitab-kitab
fiqih atau membeli budak yang muslim.
Allah Swt berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak memberi
jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin”. (Q.S. An-Nisa’ 4 : 141)
4. Pembeli bukan musuh
Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata kepada
musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan kaum muslimin.
Madzhab Hambali
1. Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh dan berakal) kecuali pada jual beli barang-barang
yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur
kemashlahatan.
2. Ada keridhaan
Masing-masing aqid harus saling meridhai yaitu tidak ada
unsur paksaan. Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual
barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di
luar harga umum.
Madzhab Maliki
1. Penjual dan pembeli harus
mumayyiz
2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3. Keduanya dalam keadaan sukarela
Jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah.
4. Penjual harus sadar dan dewasa
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali dalam membeli
hamba yang muslim dan membeli mushaf.
Madzhab Hanafi
1. Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan
oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi 3 :
- Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
- Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh
anak kecil
- Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan yaitu aktifitas
yang boleh dilakukan tetapi atas seizin wali.
2. Berbilang
Sehingga tidak sah akad yang dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang yang
terdiri dari penjual dan pembeli.
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :
a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan
syubhat.
b. Bermanfaat menurut syara’.
c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku
pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini kepadamu
selama 1 tahun” maka penjualan tersebut tidak sah karena jual beli merupakan
salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali
ketentuan syara’.
e. Dapat diserahkan cepat atau lambat, contoh :
- Tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi
- Barang-barang yang sudah hilang
- Barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan
yang jatuh ke kolam sehingga tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut.
f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain :
- Dengan tidak seizin pemiliknya
- Barang-barang yang baru akan menjadi pemiliknya
g. Diketahui (dilihat).
Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya,
takarannya atau ukuran-ukuran lainnya. Maka tidak sah jual beli yang
menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama, rukun jual
beli itu ada empat :
1.Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah
sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling
memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada
ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian
bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak
disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul al-Salam,
hal. 4).
2.Orang-orang yang berakad (subjek)
Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).
3.Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.
4.Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat
yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan
suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of
exchange).
Khiyar ada dua macam:
1. Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih
berada di tempat berlangsungnya transaksi atau tawar-menawar, keduanya berhak
memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Muhammad Rosulullah saw.
bersabda, "Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau
tidak selama keduanya belum berpisah." (HR. Bukhori dan Muslim).
2. Khiyar Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam
jual- beli. Misalnya penjual mengatakan, "Saya jual barang ini dengan
harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari." Maksudnya penjual
memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi I tidaknya pembelian
tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila I pembeli mengiyakan, maka status
barang tersebut sementara I waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya.
Artinya, si I penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. I Namun
jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang I tersebut menjadi hak
penjual kembali. Muhammad Rosulullah I saw. bersabda kepada seorang lelaki,
"Engkau boleh khiyar ipak I segala barang yang engkau beli selama tiga
hari tiga malam." (HR. I Baihaqi dan Ibnu Majah).
3. Khiyar aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang I yang
dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi I kualitas atau nilai
barang tersebut, namun hendaknya dilakukan I sesegera mungkin. Aisyah
menuturkan, "Bahiva seorang Idaki telah membeli seorang budak. Budak
tersebut sudah beberapa Imn tinggal bersama dia, kemudian diketahui ada cacat
pada budak itu. Lantas ia mengadukan hal tersebut kepada Rosulullah, maka
Rosulullah putuskan untuk mengembalikan kepada penjualnya. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Tirmizi).
Riba
Arti riba adalah bunga uang atau
nilai lebih atas penukaran barang. Yaitu aqod yang terjadi pada pertukaran
benda sejenis tanpa diketahui sama atau tidak timbangannya (takarannya).
Arti riba adalah bunga uang atau
nilai lebih atas penukaran barang. Yaitu aqod yang terjadi pada pertukaran
benda sejenis tanpa diketahui sama atau tidak timbangannya (takarannya). Hal
ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, dan emas.
Riba, apapun bentuknya, dalam syari`at Islam hukumnya haram. I Sanksi hukumnya
juga sangat berat. "Orang-orang yang memakan riba, I tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan I setan karena gila."
(QS. 2/Al-Baqoroh: 275) Maksudnya, pemakan riba I itu tidak pernah tenteram
jiwanya. Untuk itu orang yang terlanjur I melakukan transaksi riba, setelah
mengetahui ayat ini hendaklah I meninggalkannya. "Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah I kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sia riba (yang belum
dipun gut), jika I kamu orang beriman." (QS. 2/Al-Baqoroh: 278)
Dosa riba tidak hanya menimpa pemilik uang yang berniat I meminjamkannya,
melainkan juga menimpa semua orang yang I
terlibatdi dalamnya. Jabir ra. memberitahukan: "Rosulullah mengutuk orang
yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang
menyaksikannya." (HR. Muslim). Jadi jelaslah bahwa semua orang yang
terlibat dalam transaksi riba mulai dari pemilik uang, pencatat, sampai
saksinya pun terkena dosanya.
Guna menghindari riba, maka apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti
emas dengan emas, atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
1) sama timbangan ukurannya atau
2) dilakukan serah terima saat itu juga.
3) secara tunai.
Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya,
namun tetap harus secara tunai dan diserah- terimakan saat itu juga. Kecuali
barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dengan beras, dapat
berlaku ketentuan jual- beli sebagimana barang-barang yang lain.
Sebagian ulama berpendapat, riba ada empat macam, yakni:
1. Riba Fadhli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya.
Misalnya cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar barang lain dari emas 22
karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
2. Riba Qordhi, adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan
saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp
100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar 115.000,00. Bunga
pinjaman itulah yang disebut riba.
3. Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun
penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan
kacang atau ketela yang masih dalam tanah.
4. Riba Naza`, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu
kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya,
kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau jika
membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.
Sebagian ulama lagi menggolongkan riba yang empat macam ini menjadi tiga
golongan dengan memasukkan riba qordhi dalam riba naza`.
Utang-Piutang
Pengertian utang-piutang adalah
menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan
pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak merubah keadaannya. Misalnya utang
Rp 100.000,00, maka di kemudian hari harus melunasinya Rp 100.000,00,.
Memberi utang kepada seorang berarti menolongnya, dan sangat dianjurkan oleh
agama. "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, sertajangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan."
(QS. 5/Al-Maidah: 2). Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Seorang muslim
yang memberi utang seorang muslim dua kali, sama halnya bersedekah kepadanya
satu kali." (HR. Ibnu Majah). Muhammad Rosulullah saw. juga bersabda,
"Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu menolong saudaranya."
(HR, Muslim).
Rukun utang-piutang ada tiga, yakni:
- Yang berpiutang dan yang berutang.
- Ada harta atau barang.
- Lafazd kesepakatan. Misalnya: "Saya utangkan ini
kepadamu." Yang berutang menjawab, "ya, saya utang dulu,
beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya
lunasi."
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah SWT menyarankan agar kita
mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. "Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah seorang penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia
menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan
mgmlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya." (QS. 2/Al-Baqoroh: 282)
Tentu saja jika antara orang yang berutang piutang itu sudah saling mengenal
baik dan saling mempercayai, maka boleh tidak mencatatnya. Tetapijika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya."
(QS. 2/Al-Baqoroh: 283).
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena
kesulitan, Allah menganjurkan memberinya kelonggaran. "Dan jika (orang
yang berutang itu) dalam kesulitan, maka benkh tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau seluruh
utang), itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. 2/Al-Baqoroh:
280)
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya
sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut halal bagi yang
berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Muhammad
Rosulullah saw, bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang
sebaik-baiknya ketika membayar utang." (sepakat ahli hadis). Abu Huroiroh
ra. berkata : "Rosulullah telah berutang heivan, kemudian beliau bayar
dengan hewan yang lebih besar dari heumn yang beliau utang itu, dan Rosulullah
saw. bersabda: "orang yang paling baik di antara kamu, ialah orang yang
dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik." (HR. Ahmad dan Tirmizi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang
melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh.
Tambahan pelunasan tersebut tidak halal. Muhammad Rosulullah saw.
"Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia semacam dari beberapa
macam riba." (HR. Baihaqi).
Jaminan (Agunan)
Pengertian jaminan ialah suatu
barang berharga yang dijadikan penguat kepercayaan dalam memperoleh utang.
Barang itu menjadi milik yang berpiutang apabila utang tidak dibayar.
"Apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis (utang),
maka hendaklah ada jaminan yang dipegang. Tetapi jika sebagian kamu I
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menumiktm I
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, I Tuhannya."
(QS. 2/Al-Baqoroh: 283).
Utang dengan jaminan ini pernah dilakukan oleh Nabi `l Muhammad Rosulullah saw.
Anas ra. memberitakan, "Rosulullah saw. I telah menjaminkan baju besi
beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, I sewaktu beliau utang Syair (gandum)
dari seorang Yahudi untukkelmrga I beliau." (HR. Ahmad, Bukhori, Nasai,
dan Ibnu Majah).
Orang yang memegang jaminan boleh mengambil manfaat dari I barang yang
dijaminkan sebatas ganti rugi menjaga barang tersebut I Muhammad Rosulullah
saw. bersabda, "Apabila dijaminkan seekor I kambing, maka yang memegang
jaminan itu boleh meminum susunya I sekedar sebanyak (senilai) makanan yang
diberikan kepada kambing itu. I Jika dilebihkannya dari sebanyak itu, maka
kelebihannya tersebut menjadi I riba." (HR. Muslim).
Apabila jaminan itu bertambah, misalnya kambing yang I dijaminkan beranak maka
anak kambing tersebut menjadi milik yang menjaminkan. Jadi jika kambing yang
dijaminkan itu dijual karena I utangnya tidak dibayar, maka anak kambing
tersebut harus dikembalikan pada yang menjaminkan kambingnya,
Hiwalah
Menurut syara` pengertian hiwalah,
adalah memindahkan tanggungan pembayaran utang kepada orang lain. Hal itu
diperbolehkan selama orang-orang yang terkait tidak keberatan. Dalam arti orang
yang dilimpahi beban membayar utang tersebut menyatakan sanggup dan marnpu,
serta orang yang berpiutang setuju.
Suatu misal A meminjam uang dari B sebesar Rp 100.000,00 dan C meminjam uang
dari A juga sebesar Rp 100.000,00. Seharusnya A mengembalikan uang pinjamannya
kepada B, dan C mengembalikan uang pinjamannya kepada A. Berhubung terjadi
sesuatu hal, maka A melimpahkan beban pengembalian uang pinjaman dari B kepada
C. Jadi C yang membayar uang pinjaman A kepada B.
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa rukun hiwalah adalah:
1) Muhil, ialah orang yang berutang dan berpiutang seperti A.
2) Muhtal, ialah orang yang berpiutang seperti B.
3) Muhtal alaihi, ialah orang berutang seperti C
4) Antara utang muhil (A) kepada muhtal (B) dengan utang muhal alaihi (C)
kepada muhil (A) haruslah sama jumlahnya.
5) Sighoh adalah lafazd aqod.
Tentang kewajiban membayar utang ini, Muhammad Rosulullah saw. bersabda:
"Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya.
Apabila salah seorang di antara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain
hendaklah diterima pemindahan itu, asal orang lain itu mampu membayar."
(HR. Ahmad dan Baihaqi).
Wadi`ah (Titipan)
Pengertian wadi`ah adalah menitipkan
barang kepada seseorang agar dijaga dan dipelihara sebagaimana mestinya. Karena
ini barang titipan, jika barang tersebut rusak dengan sendirinya karena karatan
misalnya, maka orang yang dititipi tidak wajib menggantinya. Apabila
menitipkannya terlalu lama, maka orang yang dititipi karena merasa terbebani
boleh mengembalikannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, tolong-menolong seperti titip barang ini sering
terjadi, dan tidak jarang menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu Islam
mengaturnya. Dijelaskan dalam Al-Qur`an:
"Sungguh Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat (titipan yang
dipercayakan kepadamu) kepada yang berhak (pemiliknya)." (QS. 4/An- Nisa:
58). Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Kembalikanlah titipan itu kepada
orang yang mempercayai engkau. Janganlah sekali-kali mengkhianati, meski kepada
orang yang khianat kepadamu." (HR. Tirmizi).
Rukun Penitipan:
1) barang tersebut milik orang yang menitipkan.
2) ada yang menitipkan dan ada yang menerima titipan atau yang sah
mewakili keduanya.
3) ijab qobul, misalnya pemilik barang mengatakan: "Saya
titipkan ini kepadamu." Dan disanggupi oleh yang dititipi.
Hukum menerima titipan, adalah:
a) sunnah bagi orang yang yakin sanggup
menjaga dan memelihara barang titipan tersebut.
b) haram jika berkeinginan merusak atau
menghilangkannya.
makruh bagi orang yang tidak yakin sanggup menjaganya.
Luqothoh
Pengertian luqothoh yaitu menemukan
barang yang tidak bertuan atau tidak ada yang memiliki pada suatu tempat.
Tentang hal ini, diterangkan dalam hadis, Zaid bin Kholid mengemukakan,Mm Nabi
Muhammad saw. telah ditanya oleh seseorang yang telah menemukan emas dan perak.
Beliau menjawab, kenalilah ikatnya, tempat ditemukannya, kemudian beritahukan
kepada umum dalam waktu satu tahun. Apabila suatu hari datang yang mencari
(pemiliknya), maka serahkanlah. Setelah satu tahun tidak datang pemiliknya,
maka terserah kepadamu." (HR. Bukhori dan Muslim).
Hukum barang temuan, adalah:
1) wajib, jika meyakini barang tersebut
akan sia-sia kalau dibiarkan.
2) sunnah, bagi yang sanggup menjaga dan
memeliharanya.
3) makruh, bagi orang yang ragu-ragu atau
khawatir akan menyia- nyiakan barang tersebut.
Macam-macam barang temuan dan kewajiban bagi yang menemukan (apabila
mengambil)nya:
1) . barang tahan lama: emas, perak dan lainnya, maka penemu hams
menyimpannya dan memberitahukan kepada umum selama satu tahun. Jika setelah
satu tahun tidak datang pemiliknya, makaia berhak memilikinya.
2) barang tidak tahan lama: nasi, pisang,
atau kue-kue, maka penemu boleh memanfaatkannya, namun jika datang pemiliknya
harus mengganti seharga barang tersebut.
3) barang tahan lama tetapi memerlukan
perawatan seperti ketela bisa tahan lama bila dijadikan gaplek, atau susu bisa
tahan lama bila dijadikan keju, maka harus berbuat yang bermanfaat bagi
pemiliknya. Misal menjualnya, kemudian meyimpan uangnya dan menyerahkannya jika
pemiliknya meminta.
4) barang yang memerlukan biaya seperti
binatang:
a) bila binatang buas atau sekiranya binatang tersebut bisa menjaga
dirinya sendiri seperti unta, kambing, kuda dan lain- lain, hendaknya
dibiarkan. Zaid bin Kholid menyatakan, telah bertanya seorang kepada Nabi
tentang unta yang tersesat. Beliau menjawab: "Biarkan sajalah, tak usah
engkau pedulikan." (HR. Bukhori dan Muslim).
b) binatang yang lemah atau tidak bisa menjaga dirinya dari
binatang buas, hendaknya diambil dan melakukan salah satu dan tiga cara:
menyembelihnya dengan syarat sanggup membayar harganya jika bertemu pemiliknya.
menjual dan menyimpan uangnya agar dapat diberikan kepada pemiliknya.
Memelihara dengan memberinya makan dengan niat menolong semata.
Laqithoh
Anak kecil yang hilang tanpa
diketahui penanggung jawabnya, baik orang-tua maupun sanak kerabatnya disebut
laqithoh. Hukum memungut anak tersebut fardhu kifayah, dengan ketentuan harus
merawat dan mendidiknya. Apabila tidak sanggup harus menitipkannya kepada orang
mampu yang dapat dipercaya dan adil.
Kebaikan yang akan diterima oleh seseorang yang memelihara anak ini, diterangkan
dalam firman Allah SWT. "Barang siapa memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia."
(QS. 5/Al-Maidah: 32).
Perihal nafkahnya, apabila anak tersebut ternyata membawa harta, maka dihidupi
dengan hartanya sendiri. Akan tetapi jika tidak, belanjanya diambilkan dari
Baitul Mai. Jika dari Baitul Mai tidak teratur, maka menjadi tanggungan umat
Islam yang mampu. "Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan
dan takwa." (QS. 5/Al-Maidah 2).
Pinjam-Meminjam (`Ariyah)
`Ariyah adalah memberikan manfaat
dari suatu barang kepada orang lain, tanpa mengurangi nilai barang tersebut.
Dengan kata lain, barang tersebut boleh dipinjam untuk dimanfaatkan sesuai
dengan fungsinya, dan setelah itu harus dikembalikan dalam keadaan semula,
dengan catatan tidak boleh terjadi kerusakan sedikit pun. Jadi, setiap barang
yang dapat diambil manfaatnya tanpa mengakibatkannya rusak atau berkurang
nilainya, boleh di- pinjamkan.
Kewajiban mengembalikan barang pinjaman dalam keadaan seperti semula ini
ditegaskan dalam hadis. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Pinjaman
wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar." (HR.
Abu Dawud dan Tirmizi)
Hukum meminjamkan suatu barang, ada empat.
1. sunnah dengan tujuan saling
tolong-menolong antar sesama.
2. wajib, misalnya meminjamkan mukena
untuk sholat bagi orang yang membutuhkannya.
3. haram, apabila meminjamkan suatu
barang untuk keperluan maksiat atau kejahatan.
Rukun pinjam-meminjam.
1. syarat bagi yang meminjamkan,
adalah memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Oleh karena itu si
peminjam dilarang meminjamkan barang pinjaman kepada orang lain, karena barang
tersebut bukan miliknya. Dalam hal ini anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak
sah meminjamkan.
2. yang meminjam haruslah orang yang
berhak menerima kebaikan dan bertanggung-jawab. Dengan demikian anak kecil dan
orang gila tidak berhak mendapatkan pinjaman.
3. barang yang dipinjam haruslah:
a. memberi manfaat.
b. tidak rusak akibat dimanfaatkan
sesuai fungsinya.
4. ijab qobul, kesepakatan antara
peminjam dan pemilik barang yang meminjamkan.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya,
si peminjam tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri
berarti saling percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang
dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka
wajib menggantinya. Shofwan bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi
saw. telah meminjam beberapa baju perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain.
Shofwan bertanya: "Paksaankah, ya Muhammad?" Rosulullah saw.
menjawab: "Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin". Kemudian (baju
perang itu) hilang sebagian, maka Rosulullah saw. mengemukakan kepada shofwan
akan menggantinya. Shofwan berkata: "Saya sekarang telah mendapat kepuasan
dalam Islam." (HR. Ahmad dan Nasai).
Sewa-Menyewa (Ijaroh)
Perjanjian sewa-menyewa, dalam fiqih
Islam disebut ijaroh. Artinya adalah imbalan yang harus diterima oleh seseorang
atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran,
tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum Ijaroh ini adalah firman Allah SWT. "Dan jika kamu ingin
menyusukan anak kamu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan
pembayaran yang patut (layak)." (QS. 2/Al-Baqoroh: 233). "Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah cerai) itu sedanghamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah imbalannya kepada mereka. Dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya." (QS. 65/At-Tholaq: 6).
Rukun sewa-menyewa.
1. yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah baligh,
dan berakal sehat.
2. sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing,
bukan karena dipaksa.
3. barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang
menyewakan, atau walinya.
4. ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5. manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus
diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya ada orang akan menyewa
sebuah rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang
menyewakan, apakah rumah tersebut
mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan begitu si pemilik rumah akan
mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab resiko kerusakan rumah antara
dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan dipakai sebagai gudang. Demikian
pula jika barang yang dipersewakan itu s^pi, harus dijelaskan untuk menarik
gerobak atau`memb`cijak sawah.
6. berapa lama waktu memanfaatkan
barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7. harga sewa dan cara pembayarannya juga
harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, maka haruslah diketahui
secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya:
1. jenis pekerjaan, dan jumlah jam kerjanya
setiap harinya.
2. berapa lama masa kerja. Haruslah
disebutkan satu atau dua tahun.
3. berapa gaji dan bagaimana sistem
pembayarannya, harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
tunjangan-tunjangannya harus disebutkan dengan jelas. Misalnya besarnya uang
transportasi, uang makan, biaya I kesehatan, dan lain-lainnya kalau ada.
Waqof
Kata waqof berasal dari bahasa Arab
"waqf`, artinya menahan. Pengertiannya adalah menahan (tidak dijual, tidak
dihadiahkan, dan tidak diwariskan) suatu benda supaya dapat diambil manfaatnya
untuk kebaikan. Misalnya mewaqofkan masjid, atau tanah untuk madrasah, pondok
pesantren, rumah sakit, dan lam sebagainya.
Waqof dilakukan pertama kali oleh Umar ra. atas nasihat Rosulullah saw.
Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khoibar. Ia bertanya
kepada Rosulullah saw. "Apakah perintahmu kepadaku yang berhubungan dengan
tanah yang saya dapatkan ini?" Rosulullah saw. menjawab. "Jika engkau
suka, tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya." Dengan nasihat
tersebut lalu Umar menyedekahkan manfaat tanahnya dengan perjanjian tidak akan
menjual atau menyedekahkan atau mewariskan tanahnya itu." (HR. Bukhori
Muslim). Waqof ini termasuk perbuatan baik yang dianjurkan oleh Allah SWT.
"Kamu tidak akan memiperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian
harta yang kamu cintai. Dan apa pirn yang kamu infakkan, tentang halitu sungguh
Allah Maha Mengetahui." (QS. 3/Ali Imron: 92). "Wahai orang-orang
yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah
kebaikan, agar kamu beruntung." (QS. 22/Al-Hajj: 77).
Kelebihan waqof dibandingkan dengan sedekah yang lain, adalah pahalanya yang
akan terus-menerus mengalir, sekalipun orang yang mewaqofkannya telah
meninggal dunia. Tentu saja dengan catatan selama barang yang diwaqofkan itu
dapat diambil manfaatnya oleh orang lain. Nabi Muhammad Rosulullah saw.
bersabda: "Apabila seseorang mati, selesailah amalnya (maksudnya amal
kebaikannya itu tidak bertambah lagi), kecuali tiga perkara:
1) waqoff;
2) ilmu yang bermanfaat (baik dengan jalan mengajarkannya atau menuliskannya
dalam buku) untuk orang lain); dan
3) anak yang saleh yang selalu mendoakan orang-tuanya." (HR. Jamaah ahli
hadis, selain Bukhori dan Ibnu Majah).
Rukun waqof ada empat, yaitu:
1. orang yang berwaqof (wakif), syaratnya:
a. berakal dan telah dewasa.
b. kehendak sendiri, tidak sah waqofnya karena
dipaksa.
2. barang yang diwaqofkan (maukuf), syaratnya milik wakif sepenuhnya,
bersifat abadi, dan dapat diambil manfaatnya tanpa berakibat kerusakan.
3. tujuan waqof (maukuf alaih) sesuai dengan sedekah, atau setidaknya
merupakan hal yang dibolehkan (mubah) dalam ajaran Islam seperti waqof tanah
untuk kuburan atau lapangan olah raga.
Apabila waqof tersebut ditujukan kepada kelompok tertentu haruslah jelas,
sehingga segera dapat diserahterimakan setelah waqof diikrarkan. Jika waqof itu
bertujuan membangun tempat-
tempat pendidikan seperti pondok pesantren atau tempat-temp£ ibadah umum, maka
haruslah ada suatu badan hukum vans dapat menerimanya.
4. pernyataan waqof (sighot)dapat
dengan lisan, tetapi lebih baik secara tertulis. Tujuannya agar dapat diketahui
dengan jelas, untuk menghindari terjadinya persengketaan di kemudianhaii Dalam
hal ini pernyataan menerima (qobul) dari orang van? menerima tidak diperlukan
lagi.
Syarat-syarat waqof.
1. untuk selamanya, berarti tidak
dibatasi waktu.
2. tunai, harus diserahkan saat
diikrarkan.
3. secara jelas kepada siapa barang
tersebut diwaqofkan.
Masalah lain yang perlu diketahui tentang waqof ini, adalah apabila manfaat
barang waqof itu sudah tidak dapat dinikmatilagi, maka boleh dijual. Uang dari
hasil penjualan tersebut harus dibelikan gantinya. Misalnya menjual masjid yang
tergusur, maka uang dari penjualan masjid tersebut harus digunakan untuk
membangun masjid kembali di tempat yang lain.
Ibnu Taimiyah menyatakan, "Sesungguhnya yang menjadi pokok di sini guna
menjaga kemaslahatan. Allah SWT menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan
menjauhkan kerusakan. Allah telah mengutus pesuruh-Nya menyempurnakan
kemaslahatan dan menghindari segala kerusakan."
Allah berfirman, Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun,
"gantikan aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan
kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat
kerusakan." (QS. 7/Al-`Arof: 142).