" My Parent "

Selasa, 04 Juni 2013

Nama-nama Al-Qur'an

Al-Qur'an mempunyai beberapa nama yang kesemuanya menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan luhur, dan secara mutlak Al-Qur'an adalah kitab samawy yang paling mulia
Karenanya dinamailah kitab samawy itu dengan: Al-Qur'an, Al-Furqan, At-Tanzil, Adz-Dzikr, Al-Kitab dsb. Seperti halnya Allah juga telah memberi sifat tentang Al-Qur'an sifat-sifat yang luhur antara lain; nur (cahaya),hudan (petunjuk), rahmatsyifa' (obat), mau'izhah (nasihat), 'aziz (mulia), mubarak (yang diberkahi), basyir(pembawa khabar baik), nadzir (pembawa khabar buruk) dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kebesaran dan kesuciannya.
Alasan penamaan
1. Alasan dinamainya dengan Al-Qur'an ialah karena banyak (kata-kata Al-Qur'an) terdapat dalam ayat, antara lain firman Allah SWT:
Qâf. Demi Al-Qur'an yang sangat mulia. (QS. Qâf: 1).
Dan Firman-Nya:
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus. (Al-Isrâ: 9).
2. Alasan Al-Qur'an dinamai dengan Al-Furqan sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hambanya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (Al-Furqan: 1).
3. Alasan Al-Qur'an diberi nama dengan At-Tanzil, sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril as). (Asy-Su'arâ: 192-193).
4. Alasan dinamakan dengan Adz-Dzikr, sebagaimana firman Allah SWT:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr: 9).
5. Sedangkan dinamakan dengan Al-Kitab sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:
Hâ Mîm. Demi Kitab (Al-Qur'an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. (Ad-Dukhân: 1-3).
Adapun mengenai sifat-sifatnya sungguh tertera dalam sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an, bahkan sedikit sekali (jarang) surat-surat dalam Al-Qur'an yang tidak menyebutkan sifat-sifat yang indah dan mulia terhadap kitab yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Mulia yang dijadikan mu'jizat (tiada tanding) yang abadi bagi seorang Nabi yang terakhir. Kami sebutkan diantaranya:
a. Firman Allah SWT:
Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang/Al-Qur'an. (An-Nisâ': 174)
b. Firman Allah SWT:
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.(Al-Isrâ': 28).
c. Firman Allah SWT:
Katakanlah Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan peawar bagi orang-orang yang beriman. (Fushshilat: 44).
d. Firman Allah SWT:
Hai manusia! Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Yûnûs: 57).
Kata Al-Qur'an adalah sama halnya dengan kata Qira'at adalah masdar dari kata qara'a, qira'atan danqur'ânan. Demikianlah menurut sebagian ulama dengan mengambil alasan Firman Allah SWT:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyâmah: 17-18).
Pengertian qur'ânahû di sini sama dengan qirâ'atahû. Maka lafazh qur'an menurut pendapat ini adalahmusytak (pengambilan dari kata kerja). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa lafazh Al-Qur'an bukanlah musytak dari qara'a melainkan isim alam (nama sesuatu) bagi kitab yang mulia sebagaimana halnya nama Taurat dan Injil. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i (Lihat kitab Mabahitsul Qur'an karangan Al-Ustadz Manna' al-Qaththan.

Isra' Mi'raj : Fase Baru Perjuangan Rasulullah SAW (II)*

Propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter makin gencar disebarluaskan oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Dia dituduh sebagai orang gila, tukang syair atau tukang utak-atik bahasa. Bahkan tuduhan tukang klenik, dukun dan tukang sihir (yang merupakan bagian dari keseharian mereka) kini dilemparkan juga ke muka Rasulullah SAW.
Gong �demokrasi terpimpin� makin berkumandang. Seleksi alam makin terbentuk. Rasulullah SAW semakin berani menorehkan garis pemisah antara kawan dengan lawan. Dengan cerdas dia merumuskan dan memetakan mana yang sosialis mana yang anti-sosial; mana yang berani membela keadilan dan mana yang menjadikan ketidakadilan sebagai motor perjuangannya. Bagi Nabi Muhammad, mereka yang hatinya sakit, masih mungkin diperbaiki dan direhabilitasi, tetapi bagi yang hatinya mati dan membeku (munafik) menjadi sulit untuk ditoleransi, karena yang menjadi roh perjuangannya cukup jelas: mengajak kepada kejahatan dan menghalang-halangi kebaikan dan perbaikan.
Barangkali diantara mereka ada yang kejangkitan penyakit narsis, lantas berpretensi seakan-akan dirinyalah yang sedang mengadakan perbaikan dan pelestarian, sedangkan Rasulullah SAW dan kawan-kawan, kerjaannya cuma bikin onar dan koar-koar di depan massa rakyat. Selain itu tuduhan sebagai tukang agitator pun bermunculan, seakan-akan Nabi Muhammad itu kerjaannya cuma mengganggu dan mengusik ketentraman warga, hingga mencerai-beraikan hubungan keluarga dan rumah-tangga, antara orang tua dengan anak-anakanya ; antara majikan dengan para buruh dan budak-budak mereka. Semua tuduhan itu disadari Nabi Muhammad dengan sepenuh hati, bahwa inilah konsekuensi dari perjuangan revolusi (rohani), yang boleh jadi seseorang terpaksa harus mengorbankan saudaranya dan keluarganya sendiri. Bahkan pada titik tertentu, kebencian dan permusuhan pun bisa dibenarkan selagi ia berfungsi demi tegaknya kebenaran dan keadilan (agama Allah).
Huru-hara dan kekacauan makin terjadi di mana-mana. Rasulullah SAW dan para sahabat mengadakan inspeksi dan pemantauan di setiap penjuru. Tentu saja banyak orang beranggapan bahwa gara-gara ulahnya Muhammad-lah yang menimbulkan terjadinya kekacauan ini. Tapi Nabi Muhammad bukanlah tipe seorang revolusioner pengecut yang mudah melepaskan tanggungjawab. Dia bukanlah tipe pemuda progresif yang mudah terjebak untuk memihak thesis, untuk kemudian berkhianat memihak anti-thesis. Dia cukup terampil mencari solusi dan penyelesaian. Intervensi kebaikan dan jiwa sosialis tak pernah luntur dalam dirinya. Sinthesis terus digali dan ditelusuri. Pada penyandang dana dan sukarelawan dikerahkan. Para sahabat menafkahkan hak-miliknya untuk mendukung dan menyemarakkan cita-cita perjuangannya. Seorang sahabat terdekat malah mengorbankan segala kekayaannya demi untuk membebaskan dan memerdekakan para budak yang teraniaya.
Masalah ekonomi akhirnya menjadi perkara serius bagi musuh-musuh Rasulullah SAW. Hak ber-usaha dan mencari nafkah semakin diganggu dan direcoki. Perdagangan dirusak, bahkan properti dan kekayaan dirampasi. Para sauadara dan kerabat terdekat dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot di mana-mana, sampai kemudian mereka dilarang keras mengadakan transaksi dan perdagangan. Komando permusuhan terus digelar, hingga mereka betul-betul terisolasi dan terkucilkan di setiap penjuru. Pemboikotan itu menjadi sah secara �konstitusional� karena telah dilegitimasi oleh para pembesar dan penguasa mereka.
Pada suatu hari ketika persediaan makanan sudah habis, dan bahan makanan sulit diperoleh, mereka pun menderita kelaparan, hingga tulang-tulang onta terpaksa direbus untuk dijadikan bubur dan sup sebagai makanan pokok sehari-hari. Tak berapa lama setelah masa pemboikotan itu, Abu Thalib sang paman yang pernah mengasuh dan menghidupinya, meninggal dunia. Tiga bulan kemudian Siti Khadijah, istri tercinta yang selama ini menjadi penunjang semangat dan penggalang dana, juga meninggal dunia.
Kesedihan dan kedukaan semakin menjadi-jadi. Dalam situasi penuh penderitaan itu tentu saja menjadi roh semangat dan sorak-sorai bagi musuh-musuhnya. Keangkuhan dan kesombongan semakin merajalela.
Seluk Beluk Piala Dunia

Seluk Beluk Piala Dunia

Tahukah sahabat, perhelatan akbar empat tahun sekali World Cup berasal dari Perancis, tepatnya hasil gagasan dari Jules Rimet dan rekannya Henri Delaunay, presiden dan sekretaris federasi sepakbola Prancis, FFFA (1919 � 1949). Merekalah pionir kompetisi sepakbola tingkat dunia.

World Cup diselenggarakan oleh F�d�ration Internationale de Football Association (FIFA), pengatur cabang olahraga ini. Turnamen babak final Piala Dunia adalah ajang olahraga yang paling banyak ditonton di dunia, melebihi bahkan Olimpiade.

FIFA terbentuk pada 21 Mei 1904, atas prakarsa delegasi Belgia, Spanyol, Swedia, Prancis, Denmark, Swis, dan Belanda. Tokoh yang terpilih sebagai presiden pertama FIFA adalah orang Prancis, Robert Querin. Ia hanya setahun menjabat, diganti oleh Daniel Hurley Woodfall dari Inggris. Kepemimpinan berlanjut sampai ia meninggal, 1918, dan pada 1920 diganti orang Prancis lagi, Presiden FFFA Jules Rimet. Henri Delaunay, sekretarisnya, menjadi sekretaris jenderal.

Ide itu tercetus pada 1904 di Paris saat Kongres I FIFA. Kemudian tahun 1928, Jules Rimet dan rekannya Henri Delaunay, peserta kongres di Amsterdam bersama FIFA memutuskan untuk melaksanakan ide tersebut. Lalu FIFA secara resmi mempersiapkan sebuah kejuaraan bernama World Cup yang akan berlangsung setiap empat tahun.

Pada kongres FIFA 17-18 Mei 1929 di Barcelona, Spanyol, Uruguay mendapatkan dukungan dari 23 peserta kongres untuk jadi tuan rumah Piala Dunia pertama menyingkirkan ambisi Hungaria, Italia, Belanda, Spanyol, dan Swedia. Piala kejuaraan ini dikenal dengan Piala Jules Rimet.

Piala Jules Rimet dibuat oleh perupa Perancis, Abel La Fleur, berbentuk oktagonal berlambangkan bumi dipegang oleh Dewa Kemenangan yang bernama Nike (dewa Yunani purba). Piala ini dibuat dari emas, mempunyai berat 3.8 kg dan tinggi 35 cm.

Uruguay menjadi penyelenggara pertama Piala Dunia yang berlangsung dari 13-30 Juli 1930. 13 negara turut serta - enam dari Amerika Selatan, lima dari Eropa dan dua dari Amerika Utara. Uruguay mengalahkan Argentina 4-2 di depan 93.000 penonton di Montevideo untuk menjadi negara pertama yang merebut piala tersebut.

Selama Perang Dunia II kejuaraan ini terhenti selama selama 12 tahun, dimulai kembali tahun 1950 di Brasil. 

Piala Jules Rimet pernah dicuri sewaktu dipamerkan di Stampex Exhibition di Westminster Central Hall, London saat menjelangnya Piala Dunia 1966 di Inggris, namun ia ditemukan 7 hari kemudian oleh seekor anjing bernama Pickles. Pada 1970 di Meksiko, FIFA telah memutuskan Brasil menyimpan Piala Jules Rimet karena menjadi negara pertama yang juara sebanyak 3 kali, 1958, 1962 dan 1970.

Badan induk FIFA kemudian membuat Piala Dunia baru dengan menggunakan emas 18 karat, 36 cm tinggi dan mempunyai berat 4.97 kg dan dirancang oleh perupa terkenal Italia, Silvio Gazzaniaga dan digunakan sehingga sekarang. FIFA menetapkan hanya pemimpin negara dan pemenang Piala Dunia saja yang boleh menyentuh piala tersebut. Replika piala yang dilapis emas akan diberikan untuk dsimpan oleh pemenang.


***
Tahun 1958, Swedia 

Dalam ajang Piala Dunia ke-6 ini telah lahir seorang legenda sepak bola Brasil, Pele. Bagaikan seekor rusa pemuda berusia 17 tahun tersebut menari melewati barikade lawan dan mempertunjukkan keajaiban nyata dalam mengolah bola. Begitupun dengan 'pesulap-pesulap' lainnya, dengan nama-nama mereka yang memang sudah terdengar magis, merayakan sepak bola sebagai sebuah pesta bukan sebagai sebuah pertempuran dengan segala kekerasannya. Bola bergulir begitu cepat dari kaki ke kaki hingga membuat pusing bagi yang melihatnya. Dengan gaya bermain yang nan indah, tim Brasil membawa jiwa dan semangat dalam turnamen akbar yang diadakan pada tanggal 8 � 29 Juni.

Hanya pada pertandingan melawan Inggris tim ini bermain tanpa gol, akan tetapi kemudian mesin tim ini pun mulai bergerak. Maka kemudian Didi, Vava, Zito, Zagallo atau Garincha tidak dapat terbendung lagi. Penyerang-penyerang hebat dengan seragam kuning hijau ini mengakhiri era pemain yang hanya berfungsi sebagai pemain luar atau gelandang menyerang. Semua pemain depan mempunyai tugas sama � menyerang. Tim Brasil tanpa hambatan memainkan pola 4-2-4 dan berhasil membawa bintang Edson Arantes do Nascimente menjadi bersinar.

Pada partai perempat final melawan Wales (1:0) Pele berhasil membukukan gol pertamanya di Piala Dunia. Di usia 17 tahun 239 hari, ia berhasil mengungguli pemain Meksiko Manuel Rosas sebagai pencetak gol termuda Piala Dunia. Rosas berhasil membuat gol pertamanya pada saat berusia 18 tahun 93 hari pada tahun 1930. Sementara Michael Owen dari Inggris pada tahun 1998 dengan usia 18 tahun 190 hari.

Di semi final para pemain hebat Perancis pun dipaksa menyerah. Meski memiliki Just Fontane sebagai pencetak gol terbanyak, namun tidak bisa membawa Perancis menjadi juara, tim 'Equipe Tricolore' Perancis juga harus tenggelam, seperti halnya tuan rumah Swedia di partai final. Keduanya dibantai Brasil dengan skor telak 5:2. Vava dan Pele masing-masing mencetak dua gol dan Zagallo satu gol, adalah para pencetak gol pada partai final tersebut dan hingga kini tercatat dalam sejarah sebagai tim yang menang telak dalam partai grand �final Piala Dunia.

Tahun 1962, Chili

World Cup yang berlangsung di Chili dari tanggal 30 Mei sampai 17 Juni 1962 ini dapat dianggap sebagai titik balik perkembangan persepakbolaan dunia. Dimana kemenangan kontroversial terjadi pada pertandingan grup antara Chili melawan Italia (2:0), yang dinilai sebagai partai Piala Dunia yang paling brutal yang pernah terjadi dalam sejarah, karena sang protagonis sebagai tuan rumah pada saat itu tidak hanya menggunakan kaki tapi juga tinjunya

Pada perhelatan akbar tahun 1962 tim Spanyol harus pulang setelah babak awal. Memang pemain asal Hungaria, Ferenc Puskas, pada saat itu bermain untuk tim Spanyol, tetapi Puskas sendiri tidak cukup untuk menyelamatkan Spanyol. Sementara pemain Alfredo di Stefano tetap dibangkucadangkan oleh Herrera dan dengan demikian membuat 'si busur pirang' dari klub Real Madrid itu hanya jadi penonton.

Sementara itu, Penemu sistem sepak bola bertahan adalah seorang kelahiran Argentina bernama Stellenio Herrera yang menerima tanpa emosi julukan yang diberikan kepadanya sebagai 'pengubur sepak bola'. �Saya dibayar untuk memenangkan pertandingan bukan untuk bermain indah,� ungkap mantan pelatih tim nasional Spanyol yang kemudian kabarnya masih sukses bersama Inter Milan. Akan tetapi dengan sistem bermainnya yang destruktif ini, ia gagal pada Piala Dunia. Tim Spanyol harus pulang setelah babak awal.

Perjalanan tim Chili dengan permainan kerasnya sempat membuat heboh dunia sepak bola. Sebagai tuan rumah Chili secara mengejutkan berhasil mengalahkan Argentina. Chili, meskipun telah terjadi bencana gempa bumi dua tahun sebelum World Cup tersebut, masih dapat menyelenggarakan putaran final Piala Dunia. 

Pertandingan babak penyisihan grup antara Chili dan Italiaa benar-benar menyerupai sebuah medan pertempuran. Seperti layaknya seorang petinju, Leonel Sanchez meninju dan menghancurkan tulang hidung pemain Italia Humberto Maschino tanpa mendapatkan hukuman. Skandal terbesar adalah penampilan wasit asal Inggris Kenneth Astor; ia mengeluarkan dua pemain Italia Giorgio Ferrini dan Mario Davil dan membiarkan para pemain Chili yang memaki dan meludahi pemain lawan.

Tahun 1966

Tim Inggris berhasil menjadi juara dengan skor 4:2 setelah masa perpanjangan waktu dalam partai final melawan Jerman. Kemenangan tersebut berkat sebuah gol kontroversial. �Gol Wembley� tersebut hingga kini masih membuat panas hati fans Jerman. Pada Piala Dunia ke-8 tersebut disarangkan 89 gol. Akan tetapi setelah 40 tahun kemudian, gol yang terjadi pada saat skor 3:2 pada menit ke 101 tersebut masih tetap menjadi bahan perdebatan.

Pada saat perpanjangan waktu, Geoff Hurst menembak bola dengan keras mengenai bawah mistar gawang. Dari sana bola terpental. Ya, akan tetapi kemana terpentalnya bola tersebut, ke depan atau ke belakang garis gawang? Tim tuan rumah bersorak gembira, tim Jerman mengangkat tangan menandakan bola belum lewat garis. 

Hanya satu orang yang tahu pasti. �Bola itu sudah masuk,� ungkap mantan presiden Jerman Heinrich L�bke dengan yakin, seyakin hakim garis Tofik Bachramow dari negara bekas pecahan Yugoslavia. Wasit Dienst bertanya kepadanya dan kemudian menunjuk titik tengah. Skor 3:2 untuk kemenangan Inggris. Saat itu sejatinya hasil pertandingan sudah jelas, gol keempat yang dicetak Hurst sehingga kedudukan menjadi 4:2 hanyalah penuntasan saja. 

Belakangan kabarnya Bachramow mengakui, "Saya melihat pemain Inggris Hunt mengangkat tangannya setelah tembakan geledek Hurst. Dan saya juga melihat kesan sedih di wajah penjaga gawang Jerman, jadi saya pikir pasti sudah terjadi gol.�

Berkat Wolfgang Weber yang menyamakan kedudukan pada detik-detik akhir, tim Jerman berhasil memaksa dilakukan perpanjangan waktu, setelah Hurst menyamakan keunggulan Jerman sebelumnya berkat gol Helmut Haller, dan Martin Peters mencetak gol berikutnya untuk Inggris menjadi 2:1. Tapi akhirnya kekuatan dan keberuntungan tidak bernaung di tim Jerman asuhan Helmut Sch�n ini. Kelihatannya keberuntungan itu seolah-olah sudah dikapling para pemain besar Inggris, Bobby Charlton, Bobby Moore dan penjaga gawang Gordon Banks yang dijuluki �si Bank Inggris�. Itulah sebagian catatan sejarah World Cup.
Islam dan Metode Empiris

 
Metode empiris atau eksperimental yang sejak abad 17 M. hingga kini begitu diagungkan dalam tradisi keilmuan di Barat, bukanlah barang asing dan seolah tak dikenal sama sekali dalam tradisi ulama klasik kita. Benih dan unsur-unsur metode ini pernah dipraktekan secara serius oleh ilmuwan muslim pada berbagai disiplin ilmu alam: seperti kimia, astronomi, optik, dll. Namun, jujur kita akui, sistematisir metode ini baru dilakukan pada abad ke-17 M. ditangan Francis Bacon (w.1620 M.) melalui karya monumentalnya:Novum Organum.
Ahli kimia, Jabir bin Hayan (w. 160 H.), misalnya, dengan metode empirisnya mampu merumuskan unsur dan ciri-ciri zat serta reaksi-reaksi yang bisa menyebabkan timbulnya zat-zat baru. Metode yang sama, juga diterapkan ar-Razi (w. 311 H.), Ibnu Sina (w. 3479 H.) dan Ibnu al-Haitsyam (w. 1038) dalam bidang kedokteran. Buku kedokteran Ibnu Sina dan ar-Razi bahkan bertahan sebagai buku diktat pada sejumlah universitas top di Eropa hingga abad pencerahan Eropa. kita juga punya al-Biruni (w. 440 H.) dalam ilmu astronomi. Nama-nama  tadi adalah sedikit dari sekian banyak ilmuwan muslim yang menggunakan metode empiris dalam penelitiannya. Penuturan tadi, ditengah keterpurukan umat Islam dewasa ini, tentu saja tidak karena terjebak pada romantisisme-negatif sejarah keemasan Islam. Kita sadar sepenuhnya keagungan sejarah tak mewariskan apapun pada generasi selanjutnya kecuali suri teladan. Kalimat terakhir inilah ingin kita garisbawahi. Dan yuk  kita bangkit kembali yuuk! Kita bisa!
Hanya saja perlu diingat bahwa metode empiris bukanlah satu-satunya metode yang biasa dipraktekan dan dijadikan tolak ukur kajian keilmuan ulama klasik. Masih banyak metode lain, selain metode empiris, yang juga sama-sama bisa mengantarkan kita pada kebenaran dan keyakinan objektif.
Pertanyaannya, kenapa kita tidak membatasi diri pada metode empiris saja? Bukankah lebih bisa diterima para penganut Positivisme, misalnya?
Beragamnya corak metode bukanlah tanpa alasan. Keragaman ini berangkat dari sebuah keyakinan dan pandangan hidup (worldview) bahwa: pertama, realitas alam raya ini terbagi dua: alam fisik dan supranatural atau dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan âlam syahâdah dan âlam ghâibKedua, sebagai implikasi world view tadi, maka metode-metode yang digunakan tidak mungkin tunggal lagi, tapi harus disesuaikan dengan objek-objek penelitiannya. Nah, pada titik inilah metode empiris menemukan keterbatasannya. Karena ia hanya mungkin diterapkan pada kajian yang bisa diamati dengan indra saja. Artinya ia hanya bisa diaplikasikan pada objek alâm syahâdah atau realitas alam fisik saja. Kenyataan inilah yang menjelaskan kenapa begitu beragamnya metode yang kita miliki. 
Bagaimana cara ulama klasik memperoleh dan Kemudian mengkonstruk ilmu pengetahuannya? Apa saja yang dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuannya?
Sebelum merumuskan teori dan sumber keilmuan ulama klasik, terlebih dulu kita harus membuat batas tegas antara tiga istilah kunci yang dipakai sebagai klasifikasi permanen dalam epistemologi (teori ilmu pengetahuan), supaya tidak terjadi tumpang tindih dan salah posisi. Tiga term itu adalah: ada yang disebut dengan (1) sumber ilmu pengetahuan (masdar al-ilm). (2) Ada juga yang disebut sebagai sarana atau medium untuk memperoleh dan merumuskan ilmu pengetahuan (al-wasilah) dan (3) metodologi penelitian sebagai alat untuk objektifikasi dan akurasi data.
Perlu dicatat, kuantitas dan cakupan masing-masing term ini bersifat relatif –seperti nanti akan kita dedahkan, tergantung mazhab dan aliran pemikiran yang dianut. Misalnya, dalam poin kedua tentang al-wasilah, aliran filsafat materialisme radikal membatasi wasilah keilmuan pada panca indra saja. Hal-hal yang tak bisa di indra walaupun dibangun dengan kriteria dan tingkat konsistensi logika yang tinggi, tak dianggap sebagai ilmu (science). Sementara dalam tradisi keilmuan Islam, misalnya, selain panca indra juga ada rasio, tergantung pada objek apa yang sedang dikaji, sebagai ukuran kebenaran. Artinya sebuah pernyataan yang dibangun melalui rasio murni, dalam tradisi Islam dinamakan ilmiah (argumentatif) asal ada landasan konsistensi logika. Misalnya seperti kajian konsep ketuhanan. Bahkan al-Qur’an menyuruh kita untuk mengkombinasikan antara panca indra dengan rasio. 
Sumber ilmu, ialah tempat dimana ilmu bisa diperoleh. Ia juga menjadi titik ukur kebenaran sejati. Pernyataan terakhir ini sesuai dengan kaidah: al-ilm yatba’ al-ma’lum (al-maklum atau objek pengetahuanlah yang menjadi tolak ukur kebenaran. Akal tak bisa mereka-reka seenaknya. Artinya secanggih apapun sebuah teori tetap tak dianggap akurat ketika, misalnya, menyatakan bahwa sesungguhnya matahari –sebagai al-maklum- itu terbit di Barat dan tenggelam di Timur). Kecuali mazhab anti-realisme, kaidah ini diikuti mayoritas aliran pemikiran.
Apa Saja Yang Bisa Dijadikan Sumber Keilmuan dalam Islam?
Dalam Islam yang bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan, sebagaimana kita temukan dengan mudah dalam mukadimah karya ulama-ulama ilmu kalam klasik adalah: wahyu dan kaun (alam semesta).
Realitas dijadikannya wahyu, selain kaun, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tertinggi tentu memberikan implikasi luar biasa pada cara pandang umat Islam tentang berbagai hal yang terjadi di jagat raya ini.
Kenyataan ini berbenturan dengan mainstream pemikiran yang berkembang di Barat dewasa ini, yaitu aliran positivisme atau matrialisme. Aliran ini menolak wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Baginya hanya hal-hal yang bisa diverifikasi dan dibuktikan lah yang bisa menjadi sumber keilmuan (alam semesta).
Apa Implikasinya?
Implikasinya, bagi mereka –aliran matrialisme dan sejenisnya- persoalan metafisika: konsep Tuhan, konsep wahyu, akhirat, roh, alam barzah, malaikat, surga, konsep neraka dan sebagainya bukanlah sesuatu yang ilmiah. Kepercayaan terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi dan khurafat belaka. Misalnya saja, seorang tokoh psikoanalisis Barat-Modern, Sigmund Freud (w. 1939), mengatakan bahwa kepercayaan kita terhadap alam gaib atau metafisika dianggap sebagai ilusi atau khurafat belaka
Dalam Islam yang menerima konsep wahyu –selain kaun- sebagai sumber ilmu pengetahuan danmembangun visi metafisisnya melalui wahyu, menilai pembahasan metafisika sebagai kerja ilmu dan hasilnya pun, kalau dilakukan dengan metode yang benar, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah.
Kenapa pengetahuan tentang Alam Gaib yang berdasarkan informasi wahyu dianggap pengetahuan ilmiah atau argumentatif?
Yah, karena proses seorang muslim menuju pada keyakinan untuk menerima sepenuh hati, apapun hal gaib yang datang dari Allah Saw. sangat ilmiah, argumentatif dan dibangun diatas landasan dalil rasional-aksiomatik. Misalnya. setelah melakukan pengembaraan intelektual serius atas fenomena alam semesta dengan pendekatan dalil-dalil rasional-aksiomatik lewat teori-teori yang sering kita temukan dalam diktat kuliah ilmu kalam atau tauhid kita, misalnya, istihalah at-tasalsul wa ad-dawr, istihalh at-tarjih bila al-murajih, talazum al-bayin bi al-ma’na al-khas dan qanun ‘iliyah), hingga akhirnya terbersitlah sebuah keyakinan dan keimanan dalam hatinya akan wujud Allah Swt sebagai Dzat pencipta dan pengatur alam semesta, juga berstatus wajibul wujud dan MahaKuasa.
Sebagai konsekuensi logisnya, dia harus menerima apapun yang difirmankan atau diberitakan Allah Swt, termasuk soal gaib. Walaupun akal dan kemampuan intelektual manusia tak mampu mencernanya -karena urusannya berkaitan dengan dunia gaib. Penerimaan atas konsep metafisikaNya yang diambil dari al-Qur’an dan “Sunah”, dianggap sebagai pengetahuan ilmiah karena datang dari Dzat MahaKuasa dan diinfokan melalui metodologi periwayatan atau penuturan yang sangat canggih, terpercaya dan berujung pada satu kesimpulan bahwa berita-berita seputar alam metafisik –dan yang lainnya- ini benar adanya karena betul-betul datang dari Dzat yang Maha Agung dan Berkuasa. Wallahu ‘alam.

Pengumpulan Al-Qur'an Pada Masa Nabi

Masa pengumpulan Al-Qur'an dengan menggunakan dua kategori, yaitu: (1) pengumpulan dalam dada, dan (2) dalam dokumen/catatan  
Pengumpulan Al-Qur'anul Karim terbagi dalam dua periode:
(1) Periode Nabi SAW.
(2) Periode Khulafaur Rasyidin.
Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan.
Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksudkan dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Nabi ada dua kategori:
(1) Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/pengekspresian, dan
(2) Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.
Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur'an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawy lainnya sebagaimana halnya perhatian terhadap Al-Qur'an, sebagai kitab yang maha agung dan mu'jizat Muhammad yang abadi.
Pengumpulan Al-Qur'an dalam dada.
Al-Qur'anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur'an persis sebagaimana halnya Al-Qur'an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. (Al-Jumu'ah: 2)
Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur'an, mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepada, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur'an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur'an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur'an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur'an.
Pegumpulan dalam bentuk tulisan.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur'anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur'an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah 'Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab; Muadz bin Jabal, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: "Siapa ayah Zaid?" Ia menjawab: "Salah seorang pamanku".

Kasus Aminah Wadud

Feminisme dalam Ibadah (Studi Singkat Kasus Aminah Wadud)

Kasus ini sebetulnya sudah agak usang dibenak kita. Namun yang hendak dibedah dalam rubrik ini bukan dari apek berita yang gampang kadaluwarsa. Melainkan sebuah studi kasus hingga tetap menarik disimak dan menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Yang jelas hikmah dibalik peristiwa tersebut, kita merasa umat Islam sejak memasuki masa taqlid, hingga kini, yang diidentifikasikan sebagai masa kebangkitan Islam (al-Shahwah al-Islamiyah) masih belum mampu merumuskan skala prioritas (fiqh awlawiyat) sebagai peta pergerakan. Dalam banyak kasus, kita lebih suka bikin sensasi daripada membuat gerakan yang punya dampak sosial positif. Akibatnya, kadang hal-hal penting bagi kepentingan masa depan, seperti isu pendidikan, kemiskinan, atau lingkungan hidup merasa bukan bagian dari ajaran Islam.

Syahdan, Jum"at (18/3/2005), adalah hari "bersejarah" bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Setelah kurang lebih 14 abad yang lalu, semenjak Islam lahir, baru kali ini ada seorang wanita tampil menjadi khatib, sekaligus imam shalat jum"at. Dia adalah Dr Amina Wadud, profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University.

Kontan saja, momen langka dan kontroversial ini memancing polemik keras dan
beragam tanggapan. Satu sama lain saling bertentangan secara diametral, antara yang menolak dan yang meneguhkan. Beberapa media cetak di Timur Tengah menjadikannya sebagai headline berita selama berhari-hari. Bahkan, beberapa diantaranya menyediakan rubrik khusus. Di Dunia Arab, Mesir khususnya, kasus ini menjadi perdebatan hangat dari mulai masyarakat awam hingga ulama kelas dunia. Sebut saja, Prof. Dr. Sayyed Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar), Syeikh Yusuf Qardhawi, hingga para ulama-pemikir lainnya, ikut-ikutan memperbincangkan.

Dalam tulisan ini, sekurang-kurangnya ada dua demensi yang akan kita telaah sebagai studi kasus: Pertama, dimensi hukum (Fiqh): sahkah shalat jum"atnya Dr. Amina Wadud berikut jamaah-nya?. Kedua, dan ini yang terpenting dilihat dari dimensi sosial: sejauh mana daya efektivitas momen ini dalam pemberdayaan sumber daya wanita?

Dimensi Hukum
Terlepas dari adanya perbedaan sikap para ulama mengenai status boleh tidaknya seorang wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki (yang akan dibahas), kita berpikir, pada akhirnya shalat jum"at Dr. Amina Wadud, cs, dalam perspektif fiqh, tetap dihukumi tidak sah (wallahu ‘alam). Kenapa? Karena perbuatannya tetap tidak menemukan celah justifikasi hukum, legal-formal. Dalam hal ibadah, kaidah yang berlaku adalah: al-ashlu fi al-ibadah al-hurmah illa ma dalla al-dalil "ala ibahatihi (bahwa hukum asal dalam lingkup ibadah adalah ikut pada apa yang telah digariskan). Atau dalam bahasa lain: al-ittiba" fi al-din, wal ibtid"a fi al-dunya (dalam urusan ibadah, kita hanya ikut pada apa yang diperintah Allah, sedang untuk masalah duniawi, menyangkut hubungan sosial/mu"amalah, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi). Kaidah ini amat bijak dan sangat sarat dengan nuansa perikemanusiaan. Allah tidak menghendaki hambanya menambah beban berat dalam hal ibadah, apalagi sampai menyusahkan diri sendiri, cukup melaksanakan apa-apa yang telah digariskan.

Membaca praktek ritual jum"at yang dilaksanakan Amina Dawud, minimal ada tiga problem hukum (fiqh) yang perlu dipersoalkan. Pertama, apakah boleh seorang wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki? Kedua, bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Ketiga, adakah dalil, atau pendapat fuqaha yang memperbolehkan shalat jum"at ala Dr. Amina Wadud, dimana wanita bercampur satu baris (shaf) dengan laki-laki, apalagi beberapa diantaranya tak berkerudung.

Di bawah ini, kita akan coba mengurai secara ringkas jawaban ketiga pertanyaan tersebut: Untuk soal pertama: Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas
ulama, termasuk mazhab empat (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi"iyyah, Hanbaliyah) mengatakan tidak boleh seorang wanita menjadi imam untuk makmum laki-laki. Bahkan dalam mazhab mazhab Maliki ada pendapat yang mengatakan, seorang wanita mutlak tidak boleh menjadi imam shalat, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita.

Sementara minoritas kalangan ulama yang diwakili Imam al-Thabari, Abu Tsaur, dan al-Muzani menyatakan bahwa seorang wanita boleh dan sah menjadi imam shalat secara mutlak, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. Mereka bersandar pada hadits Ummi Waraqah -riwayat Abi Dawud dan al-Daraqutni- di mana Nabi mengizinkan Ummi Waraqah menjadi imam shalat bagi keluarganya. Padahal, dalam keluarganya ada yang berjenis kelamin laki-laki.

Namun dalil dari kalangan minoritas ini ‘dimentahkan’ oleh mayoritas ulama, bahwa kasus Ummi Waraqah terjadi dalam konteks shalat sunnah, bukan shalat fardhu, atau khusus untuk mengimami keluarganya yang berjenis kelamin wanita saja. Kemungkinan lain, benar bahwa Ummi Waraqah diizinkan menjadi imam untuk laki-laki, akan tetapi kasus ini lebih sebagai khususiyah dari Nabi yang berlaku hanya untuk Ummi Waraqah. Jadi tidak bisa diqiyaskan, bahwa wanita lain pun boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Secara ringkas, boleh tidaknya wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki adalah khilaf. Pada titik nadir ini, apa yang dilakukan Amina Wadud, yakni pada tataran konteks wacana wanita jadi imam, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Justru yang baru di sini adalah ranah aplikasinya hukum setelah sekian abad lamanya belum pernah terjadi dalam sejarah panjang Islam. (Ibn Rusyd dengan sangat baik mendokumentasikan perdebatan ini di Bidâyah al-Mujtahid wa Nihayâh al-Maqashid, cet. Dar al-Manar, jilid 1, hal. 125) - (lihat juga pendapat Imam Syafi"i dalam al-Umm, cet. Dar al-Fikr, Beirut,1990, jilid 1, hal 191). Soal kedua, tentang bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Sejauh bacaan saya, tidak satu ulama pun yang memperbolehkan. Hal ini sempat diperkuat juga oleh Mufti Mesir: Syeikh "Ali Jum"ah (Sawt al-Azhar, 25/3/2005). Dan karena problem inilah saya kemudian berkesimpulan shalat Jum"atnya Dr. Amina Wadud, cs, ‘bermasalah’.

Soal yang terakhir, dari berbagai penelusuran beberapa sumber, tampaknya praktek shalat yang dilakukan oleh Amina Wadud, di mana shaf shalat antara laki-laki dan wanita dicampur, selain menyisakan kesan provokatif, juga nampak problematis dalam kacamata hukum; haruskah wacana kesetaraam gender diseret ke ruang ibadah? Apa manfa"atnya?

Dimensi Sosial
Selain menuai reaksi keras, apa kira-kira ‘sesuatu’ yang didapatkan oleh Dr. Aminah Wadud jika melihat kemaslahatan atau skala prioritas di level sosial? Melihat reaksi keras orang-orang yang menentang Dr. Aminah Wadud, saya melihat, bahwa reaksi orang-orang yang kontra, tidak murni karena merasa Dr. Amina telah mendobrak otorianisme dan hegemoni Fiqh yang telah mapan semenjak 14 abad lalu. Ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan, sisi implementasi di lapangan. Pada sisi ini, saya menilai Dr. Amina telah bertindak tidak bijak. Coba pembaca perhatikan. Dari tayangan beberapa media, tampak ada beberapa hal kontroversial yang tidak pernah dilakukan dalam ritual shalat jum"at selama 14 abad lalu, siang itu, secara sekaligus dipraktekan dengan vulgar dan provokatif. Misalnya:

1. Imam dan Khatibnya seorang wanita
2. Yang adzannya juga seorang wanita, tanpa berjilbab lagi
3. Shof (barisan) shalat antara laki-laki dan wanita campur
4. Dilakukan di sebuah Gereja

Akhirnya, bagi yang kontra, mari kasus di atas kita jadikan media intropeksi diri, jangan-jangan kegiatan mereka hanyalah reaksi dan protes sosial atas adanya semacam diskriminasi terhadap ruang gerak wanita dipanggung publik. Yang pasti Islam sangat menghargai kaum wanita dan mendukung untuk maju terus dalam berbagai aspek.

 Pak Ustadz Menjawab

Pak Ustad ada yang mau saya tanyakan, apakah benar apabilamenikah pada saat pertengahan antara bulan Syawal dan Dzulhijjah kurang bagus?
Karena rencananya saya akan menikah di antara kedua bulan itu.Mohon jawabannya segera ya Pak Ustadz.
Sekian dan terima kasih atas jawabannya.
Hermand

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Hermand yang dimuliakan Allah SWT.
Sesungguhnya keyakinan sebagian orang bahwa pernikahan yang dilakukan diantara bulan syawal dan dzulhijjah kurang bagus atau membawa kesialan adalah keyakinan jahiliyah yang tidak memiliki dasar sama sekali di dalam Islam.
Bahkan hal tersebut dibantah langsung oleh perbuatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menikahi ‘Aisyah dan menggaulinya pada bulan Syawal, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari 'Aisyah dia berkata;"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku pada bulan Syawal, dan menggauliku pada bulan Syawal, maka tidak ada di antara istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku."
Imam Muslim menamakan salah satu bab didalam kitab shahihnya dengan “Anjuran Menikah dan Menikahkan di Bulan Syawal”. Imam Nawawi didalam “Syarh” nya mengatakan bahwa didalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah dan menggauli pada bulan syawal. Sebagian sahabat kami —ulama Syafi’i— menyatakan anjuran tersebut.
Mereka berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah r.a dengan perkataan ini bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang dikhayalkan sebagian orang awam hari ini bahwa makruh melangsungkan pernikahan, menikahkan atau menggauli di bulan syawal, sungguh ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ia adalah peninggalan jahiliyah. (Shahih Muslim bi Syarh an Nawawi juz V hal 131)
Dan keyakinan bahwa pernikahan di bulan tersebut adalah kurang baik, membawa kesialan, keburukan atau sejenisnya maka termasuk kedalam perbuatan syirik yang dilarang Allah SWT karena menghilangkan ketawakalan kepada Allah SWT.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Thiyarah (menggantungkan nasib) adalah syirik dan tidaklah dari kami kecuali Allah menghilangkannya dengan tawakkal."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa tidak melanjutkan aktifitas kebutuhannya karena thiyarah (tahayul, beranggapan sial karena melihat burung atau yang lainnya) maka sungguh ia telah berbuat syirik." Para sahabat bertanya; "Lalu apakah yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "hendaklah ia berdo'a; ALLAHUMMA LAA KHAIRO ILLA KHAIRUKA WALAA THOIRO ILLA THOIRUKA WALAA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, dan tidak ada nasib baik kecuali nasib baik yang datang dari-Mu, dan tidak ada Ilah selain-Mu."
Wallahu A’lam.