" My Parent "

Rabu, 27 April 2011


Maklumat untuk Umat Islam: Kenapa Ahmadiyah Harus Dibubarkan?

foto: arrahmah.comfoto: arrahmah.com

Kaum muslimin rahimakumullah,
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ahmadiyah adalah ajaran nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad (MGA) pada tahun 1889 di Qadian India.  MGA mengaku dirinya nabi, imam mahdi, Nabi Isa, bahkan Allah.  Dengan pengakuan tersebut bisa dipastikan menurut ajaran Islam, MGA adalah nabi palsu dan pembohong (al Kaddzab) sebagaimana nabi palsu di zaman Rasulullah SAW. bernama Musailamah Al Kaddzab!  Kebohongan itu lebih jelas lagi pada “wahyu” palsu yang dikeluarkan MGA dalam kitab Tadzkiroh halaman 51,  berbunyi: “Ya Ahmad, yatimmu ismuka walaa yatimmu ismi” yang artinya, “Hai Ahmad, namamu sempurna sedangkan nama-Ku (Allah) tak  sempurna”.
Fatwa MUI tahun 2005 menyatakan Ahmadiyah itu di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Maka orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Fatwa MUI terhadap Ahmadiyah itu, selain didasarkan kepada Al Quran yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi (QS. Al Ahzab 40) dan hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa tak ada nabi setelah Beliau SAW (HR. Al Bukhari). Kesesatan Ahmadiyah juga didasari pertimbangan keputusan Organisasi Konferensi Islam (OKI) nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985 M, tentang aliran Qodiyaniyah.  Keputusan OKI  itu, antara lain, menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu, adalah murtad dan keluar dari Islam.  Mereka telah mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati seluruh ulama Islam, bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir.

Ahmadiyah di dalam AD/ART organisasinya mengatakan bahwa tujuan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah menyebarkan Islam menurut ajaran MGA.  Maka berdasarkan Fatwa MUI 2005 dan Muktamar OKI 1985, Ahmadiyah Indonesia telah menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang statusnya di luar Islam dengan klaim sebagai ajaran Islam, alias menyebarkan ajaran yang bersifat memalsukan ajaran Islam.

Pernyataan para pemimpin JAI di media massa pasca-kasus Cikeusik, Pandeglang, baru-baru ini, membuktikan bahwa mereka merasa benar dengan ajaran MGA. Dengan demikian nyatalah bahwa  kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini telah memalsukan ajaran Islam, yang berarti bahwa telah sekian lama mereka melanggar UU No 1/PNPS/1965, Pasal 1, yang berbunyi:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Bilamana dibiarkan seperti sekarang maka kelompok Ahmadiyah secara sistematis akan menyebarkan kebohongan di antara umat Islam, yakni tentang kenabian MGA.  Pembiaran ini selama ini telah menyebabkan terjadinya bentrokan antara kelompok  pengikut agama palsu Ahmadiyah dengan umat Islam yang marah akibat agamanya yang asli telah dipalsukan oleh kelompok agama palsu Ahmadiyah di Kuningan, Bogor, dan Pandeglang. Apalagi kelompok Ahmadiyah semakin agresif karena mereka merasa dibiarkan saja oleh pemerintah, bahkan dilindungi dari “gangguan” umat Islam, serta mendapat dukungan dari Setara Institute dan kelompok-kelompok LSM liberal antek asing yang hidup dari sumbangan dana luar negeri. Bentrokan-bentrokan yang lebih besar bukan tak  mungkin akan terjadi lagi.

Untuk mencegah terjadinya bentrokan di tengah masyarakat dan demi tegaknya hukum, maka  kami menuntut pemerintahan Presiden SBY untuk segera mengeluarkan Keppres Pelarangan dan Pembubaran Ahmadiyah. Kami juga menuntut agar para pemimpinnya ditangkap dan diadili, sedang para anggota  jemaah Ahmadiyah dibina dan dikembalikan kepada ajaran Islam yang benar (ruju’ ilal haqq) sesuai Al Quran dan As Sunnah, dan berdasarkan UU No 1/PNPS/ 1965 pasal 2 dan 3. Bila presiden tetap ENGGAN MEMBUBARKAN AHMADIYAH, berarti dia akan berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan juga berarti dia tak melaksanakan UU No1/PNPS/1965. Artinya, Presiden SBY telah  melanggar sumpah jabatannya yang membuatnya layak dimakzulkan!

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan keselamatan untuk seluruh umat Islam, para ulama dan pejabatnya yang takut kepada Allah SWT. Dan semoga keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti hidayah Allah SWT.

Wabillahit taufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum wr. wb.
Feminisme dalam Ibadah (Studi Singkat Kasus Aminah Wadud)

Kasus ini sebetulnya sudah agak usang dibenak kita. Namun yang hendak dibedah dalam rubrik ini bukan dari apek berita yang gampang kadaluwarsa. Melainkan sebuah studi kasus hingga tetap menarik disimak dan menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Yang jelas hikmah dibalik peristiwa tersebut, kita merasa umat Islam sejak memasuki masa taqlid, hingga kini, yang diidentifikasikan sebagai masa kebangkitan Islam (al-Shahwah al-Islamiyah) masih belum mampu merumuskan skala prioritas (fiqh awlawiyat) sebagai peta pergerakan. Dalam banyak kasus, kita lebih suka bikin sensasi daripada membuat gerakan yang punya dampak sosial positif. Akibatnya, kadang hal-hal penting bagi kepentingan masa depan, seperti isu pendidikan, kemiskinan, atau lingkungan hidup merasa bukan bagian dari ajaran Islam.

Syahdan, Jum"at (18/3/2005), adalah hari "bersejarah" bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Setelah kurang lebih 14 abad yang lalu, semenjak Islam lahir, baru kali ini ada seorang wanita tampil menjadi khatib, sekaligus imam shalat jum"at. Dia adalah Dr Amina Wadud, profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University.

Kontan saja, momen langka dan kontroversial ini memancing polemik keras dan
beragam tanggapan. Satu sama lain saling bertentangan secara diametral, antara yang menolak dan yang meneguhkan. Beberapa media cetak di Timur Tengah menjadikannya sebagai headline berita selama berhari-hari. Bahkan, beberapa diantaranya menyediakan rubrik khusus. Di Dunia Arab, Mesir khususnya, kasus ini menjadi perdebatan hangat dari mulai masyarakat awam hingga ulama kelas dunia. Sebut saja, Prof. Dr. Sayyed Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar), Syeikh Yusuf Qardhawi, hingga para ulama-pemikir lainnya, ikut-ikutan memperbincangkan.

Dalam tulisan ini, sekurang-kurangnya ada dua demensi yang akan kita telaah sebagai studi kasus: Pertama, dimensi hukum (Fiqh): sahkah shalat jum"atnya Dr. Amina Wadud berikut jamaah-nya?. Kedua, dan ini yang terpenting dilihat dari dimensi sosial: sejauh mana daya efektivitas momen ini dalam pemberdayaan sumber daya wanita? 

Dimensi Hukum

Terlepas dari adanya perbedaan sikap para ulama mengenai status boleh tidaknya seorang wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki (yang akan dibahas), kita berpikir, pada akhirnya shalat jum"at Dr. Amina Wadud, cs, dalam perspektif fiqh, tetap dihukumi tidak sah (wallahu ‘alam). Kenapa? Karena perbuatannya tetap tidak menemukan celah justifikasi hukum, legal-formal. Dalam hal ibadah, kaidah yang berlaku adalah: al-ashlu fi al-ibadah al-hurmah illa ma dalla al-dalil "ala ibahatihi (bahwa hukum asal dalam lingkup ibadah adalah ikut pada apa yang telah digariskan). Atau dalam bahasa lain: al-ittiba" fi al-din, wal ibtid"a fi al-dunya (dalam urusan ibadah, kita hanya ikut pada apa yang diperintah Allah, sedang untuk masalah duniawi, menyangkut hubungan sosial/mu"amalah, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi). Kaidah ini amat bijak dan sangat sarat dengan nuansa perikemanusiaan. Allah tidak menghendaki hambanya menambah beban berat dalam hal ibadah, apalagi sampai menyusahkan diri sendiri, cukup melaksanakan apa-apa yang telah digariskan. 

Membaca praktek ritual jum"at yang dilaksanakan Amina Dawud, minimal ada tiga problem hukum (fiqh) yang perlu dipersoalkan. Pertama, apakah boleh seorang wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki? Kedua, bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Ketiga, adakah dalil, atau pendapat fuqaha yang memperbolehkan shalat jum"at ala Dr. Amina Wadud, dimana wanita bercampur satu baris (shaf) dengan laki-laki, apalagi beberapa diantaranya tak berkerudung.

Di bawah ini, kita akan coba mengurai secara ringkas jawaban ketiga pertanyaan tersebut: Untuk soal pertama: Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas
ulama, termasuk mazhab empat (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi"iyyah, Hanbaliyah) mengatakan tidak boleh seorang wanita menjadi imam untuk makmum laki-laki. Bahkan dalam mazhab mazhab Maliki ada pendapat yang mengatakan, seorang wanita mutlak tidak boleh menjadi imam shalat, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. 

Sementara minoritas kalangan ulama yang diwakili Imam al-Thabari, Abu Tsaur, dan al-Muzani menyatakan bahwa seorang wanita boleh dan sah menjadi imam shalat secara mutlak, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. Mereka bersandar pada hadits Ummi Waraqah -riwayat Abi Dawud dan al-Daraqutni- di mana Nabi mengizinkan Ummi Waraqah menjadi imam shalat bagi keluarganya. Padahal, dalam keluarganya ada yang berjenis kelamin laki-laki.
 
Namun dalil dari kalangan minoritas ini ‘dimentahkan’ oleh mayoritas ulama, bahwa kasus Ummi Waraqah terjadi dalam konteks shalat sunnah, bukan shalat fardhu, atau khusus untuk mengimami keluarganya yang berjenis kelamin wanita saja. Kemungkinan lain, benar bahwa Ummi Waraqah diizinkan menjadi imam untuk laki-laki, akan tetapi kasus ini lebih sebagai khususiyah dari Nabi yang berlaku hanya untuk Ummi Waraqah. Jadi tidak bisa diqiyaskan, bahwa wanita lain pun boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Secara ringkas, boleh tidaknya wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki adalah khilaf. Pada titik nadir ini, apa yang dilakukan Amina Wadud, yakni pada tataran konteks wacana wanita jadi imam, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Justru yang baru di sini adalah ranah aplikasinya hukum setelah sekian abad lamanya belum pernah terjadi dalam sejarah panjang Islam. (Ibn Rusyd dengan sangat baik mendokumentasikan perdebatan ini di Bidâyah al-Mujtahid wa Nihayâh al-Maqashid, cet. Dar al-Manar, jilid 1, hal. 125) - (lihat juga pendapat Imam Syafi"i dalam al-Umm, cet. Dar al-Fikr, Beirut,1990, jilid 1, hal 191). Soal kedua, tentang bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Sejauh bacaan saya, tidak satu ulama pun yang memperbolehkan. Hal ini sempat diperkuat juga oleh Mufti Mesir: Syeikh "Ali Jum"ah (Sawt al-Azhar, 25/3/2005). Dan karena problem inilah saya kemudian berkesimpulan shalat Jum"atnya Dr. Amina Wadud, cs, ‘bermasalah’.

Soal yang terakhir, dari berbagai penelusuran beberapa sumber, tampaknya praktek shalat yang dilakukan oleh Amina Wadud, di mana shaf shalat antara laki-laki dan wanita dicampur, selain menyisakan kesan provokatif, juga nampak problematis dalam kacamata hukum; haruskah wacana kesetaraam gender diseret ke ruang ibadah? Apa manfa"atnya?

Dimensi Sosial

Selain menuai reaksi keras, apa kira-kira ‘sesuatu’ yang didapatkan oleh Dr. Aminah Wadud jika melihat kemaslahatan atau skala prioritas di level sosial? Melihat reaksi keras orang-orang yang menentang Dr. Aminah Wadud, saya melihat, bahwa reaksi orang-orang yang kontra, tidak murni karena merasa Dr. Amina telah mendobrak otorianisme dan hegemoni Fiqh yang telah mapan semenjak 14 abad lalu. Ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan, sisi implementasi di lapangan. Pada sisi ini, saya menilai Dr. Amina telah bertindak tidak bijak. Coba pembaca perhatikan. Dari tayangan beberapa media, tampak ada beberapa hal kontroversial yang tidak pernah dilakukan dalam ritual shalat jum"at selama 14 abad lalu, siang itu, secara sekaligus dipraktekan dengan vulgar dan provokatif. Misalnya:

1. Imam dan Khatibnya seorang wanita
2. Yang adzannya juga seorang wanita, tanpa berjilbab lagi
3. Shof (barisan) shalat antara laki-laki dan wanita campur
4. Dilakukan di sebuah Gereja

Akhirnya, bagi yang kontra, mari kasus di atas kita jadikan media intropeksi diri, jangan-jangan kegiatan mereka hanyalah reaksi dan protes sosial atas adanya semacam diskriminasi terhadap ruang gerak wanita dipanggung publik. Yang pasti Islam sangat menghargai kaum wanita dan mendukung untuk maju terus dalam berbagai aspek.

Senin, 25 April 2011

                           Arti Shalawat


SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.
Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).
Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.
Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini.
Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:
Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.
Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban.
Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.
Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.
Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.
Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir.
Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya.
Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah.
Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.
Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.

Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."
Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.
Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek.
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.

Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."
 

Artinya: "Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).
Kemudian hadis Nabi yang lain
 

Artinya: "Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).

                  Dasar Hukum dan Dalil-dalil Shalawat


Dibawah ini adalah dalil-dalil tentang shalawat baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi Saw., serta para ulama
AL-QUR'AN
Surat Al-Ahzâb ayat 43:
 

Artinya: "Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang".
Surah Al-Ahzâb ayat 56:
 

Artinya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".
Maksud Allah bershalawat kepada Nabi Saw. adalah dengan memberi rahmat-Nya; bershalawat malaikat kepada Nabi Saw. dengan memintakan ampunan; sedangkan bershalawatnya orang-orang mu'min kepada Nabi Saw. dengan berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan per-kataan "Allâhumma Shalli 'alâ Muhammad"
Adapun salam kepada Nabi Saw. adalah dengan mengucapkan "Assalâmu Alayka Ayyuh al-Nabiyy."
Al-Hadits
 

Artinya: "Bershalawatlah kamu kepadaku, karena sha-lawatmu itu menjadi zakat (penghening jiwa pembersih dosa) untukmu." (HR. IbnMurdaweh)
 
Artinya: "Saya mendengar Nabi Saw. Bersabda janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai per-sidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada." (HR. Al-Nasâ'i, Abû Dâud dan dishahihkan oleh Al-Nawâwî).
Diterangkan oleh Abû Dzar Al-Harawî, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra' dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya'ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya'ban dinamai dengan "Syahrush Shalâti" karena dalam bulan itulah turunnya ayat 56, Surah ke-33 Al-Ahzâb.

Sabtu, 23 April 2011