" My Parent "

Sabtu, 23 April 2011

Hafalan Alquran Dapat Mencegah Berbagai Penyakit

 

Sebuah kajian baru membuktikan bahwa semakin banyak hafalan seseorang terhadap Al-Qur’an Al-Karim, maka semakin baik pula kesehatan. Dr. Shalih bin Ibrahim Ash-Shani’, guru besar psikologi di Universitas Al-Imam bin Saud Al-Islamiyyah, Riyadh, meneliti dua kelompok responden, yaitu mahasiswa/i Universitas King Abdul Abdul Aziz yang jumlahnya 170 responden, dan kelompok mahasis Al-Imam Asy-Syathibi yang juga berjumlah 170 responden.

Peneliti mendefinisikan kesehatan psikologis sebagai kondisi dimana terjadi keselarasan psikis individu dari tiga faktor utama: agama, spiritual, sosiologis, dan jasmani. Untuk mengukurnya, peneliti menggunakan parameter kesehatan psikis –nya Sulaiman Duwairiat, yang terdiri dari 60 unit.
Penelitian ini menemukan adanya korelasi positif antara peningkatan kadar hafalan dengan tingkat kesehatan psikis, dan mahasiswa yang unggul di bidang hafalan Al-Qur’an itu memiliki tingkat kesehatan psikis dengan perbedaan yang sangat jelas.
Ada lebih dari tujuh puluh kajian, baik Islam atau asing, yang seluruhnya menegaskan urgensi agama dalam meningkatkan kesehatan psikis seseorang, kematangan dan ketenangannya. Sebagaimana berbagai penelitian di Arab Saudi sampai pada hasil yang menegaskan peran Al-Qur’an Al-Karim dalam meningkatkan ketrampilan dasar siswa-siswa sekolah dasar, dan pengaruh yang positif dari hafalan Al-Qur’an untuk mencapai IP yang tinggi bagi mahasiswa.
Kajian tersebut memberi gambaran yang jelas tentang hubungan antara keberagamaan dengan berbagai bentuknya, terutama menghafal Al-Qur’an Al-Karim, dan pengaruh-pengaruhnya terhadap kesehatan psikisi individu dan kepribadiannya, dibanding dengan individu-individu yang tidak disiplin dengan ajaran-ajaran agama, atau tidak menghafal Al-Qur’an, sedikit atau seluruhnya.
Komentar terhadap Kajian:
Setiap orang yang menghafal sebagian dari Al-Qur’an dan mendengar bacaan Al-Qur’an secara kontinu itu pasti merasakan perubahan yang besar dalam hidupnya. Hafalan Al-Qur’an juga berpengaruh pada kesehatan fisiknya. Melalui pengalaman dan pengamatan, dipastikan bahwa hafalan Al-Qur’an itu dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada seseorang, dan membantunya terjaga dari berbagai penyakit.
Berikut ini adalah manfaat-manfaat hafalan Al-Qur’an, seperti yang penulis dan orang lain rasakan:
1. Pikiran yang jernih. 
2. Kekuatan memori. 
3. Ketenangan dan stabilitas psikologis. 
4. Senang dan bahagia. 
5. Terbebas dari takut, sedih dan cemas. 
6. Mampu berbicara di depan publik. 
7. Mampu membangun hubungan sosial yang lebih baik dan memperoleh kepercayaan dari orang lain. 
8. Terbebas dari penyakit akut. 
9. Dapat meningkatkan IQ. 
10. Memiliki kekuatan dan ketenangan psikilogis.
Karena itu Allah berfirman, “Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 49)
Ini adalah sebagian dari manfaat keduniaan. Ada manfaat-manfaat yang jauh lebih besar di akhirat, yaitu kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah, memperoleh ridha dan nikmat yang abadi, mendapatkan tempat di dekat kekasih mulia Muhammad Saw.

Peran Rahasia Assassins Dalam Perang Salib( Tamat )


Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.
Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur.
Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah. Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar wilayah tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya terdapat kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki kemiripan di dalam memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun Assassins dituduh telah melakukan heresy atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun mirip. Wallahu’alam bishawab. (Tamat)

Sang Pembebas Al-Aqsha

 

Inilah Alasan Mengapa Ahmadiyah Sesat dan Menyesatkan




Shalahuddin Al - Ayyubi macan perang salib





Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya hanya nama julukan dari Yusuf bin Najmuddin. Shalahuddin merupakan nama gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Beliau sendiri dilahirkan pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah Kurdi di utara Iraq.
Sejak kecil Shalahuddin sudah mengenal kerasnya kehidupan. Pada usia 14 tahun, Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Karenan memang pemberani, pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran.
Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.
Shalahuddin terkenal sebagai penguasayang menunaikan kebenaran—bahkan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Tepat pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Belom cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).
Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damaskus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut.
Perang Salib
Namun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses.”
Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Berita jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Prancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’.
Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.
Setahun kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang berarti. Padahal beliau adalah seorang pemimpin. Tapi hal baik yang ditinggalkan oleh orang baik selalu akan menjadi bagian kehidupan selamanya. Kontribusinya buat Islam sungguh tidak pernah bisa diukur dengan apapun di dunia ini.
Parcel untuk Musuh
Banyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.
Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan salat fardu dan gemar salat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya.
Shalahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidka nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan.
Pernah juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya tamu-tamunya.
Ia juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.” (sa/ind/berbagaisumber)