" My Parent "

Jumat, 07 Juni 2013

Pernikahan

Pernikahan Dan Tahapannya
 
Sekalipun Allah SWT menciptakan manusia untuk berpasang- pasangan, namun setiap orang tidak bisa leluasa menikahi lawan jenisnya. Ada aturan-aturan yang harus ditegakkan. Juga terdapat norma-norma yang harus dipelihara
ALLAH S WT berfirman, "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang- pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)." (QS. 51/Adz-Dzariyat: 49)

Ayat tersebut menegaskan bahwa semua makhluk hidup, kecuali para malaikat, Allah SWT takdirkan untuk berpasang-pasangan. Oleh karena itu mudah dimengerti apabila setiap orang, baik pria maupun wanita, ingin "berdekatan" dengan lawan jenisnya. Tetapi bagi orang yang beriman, keinginan itu tidak boleh disalurkan dengan begitu saja. Biarpun didasari perasaan suka sama suka dan terdorong oleh keinginan saling membutuhkan.

Demi terpeliharanya martabat pria dan wanita dalam pergaulan sehari-hari, Islam menetapkan ketentuan yang universal. Juga dapat dipastikan saling menguntungkan kedua belah pihak. "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-NYA) bagi kaum yang berpikir." (QS. 30/Ar-Rum: 21)

Sekalipun Allah SWT menciptakan manusia untuk berpasang- pasangan, namun setiap orang tidak bisa leluasa menikahi lawan jenisnya. Ada aturan-aturan yang harus ditegakkan. Juga terdapat norma-norma yang harus dipelihara. Dan Islam hanya mengakui "pernikahan secara sah" sebagai satu-satunya bentuk berpasangan yang benar. Dengan demikian mudah dimengerti jika ajaran Islam mendorong pemeluknya yang sudah baligh dan mampu secara ekonomi, untuk segera melangsungkan pernikahan.

Dengan menikah secara sah; manusia dapat memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. Selain itu pernikahan merupakan cara terbaik untuk kelangsungan dan pengembangbiakan manusia itu sendiri. "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan pria dan wanita yang banyak." (QS. 4/An-Nisa’:1)

Dalam bab ini penulis coba uraikan secara tuntas seputar masalah pernikahan: a) larangan membujang; b) muhrim; c) kufu (sederajat d) meminang; e) akad nikah; f) walimah; g) kehidupan suami-istri;
 
Larangan Membujang
 
Tidak sedikit orang yang seharusnya sudah menikah, karena telah cukup umur dan mampu secara ekonomi, namun sengaja tidak ingin menikah. Alasan mereka, biar puas dulu menikmati masa bujang.
Tidak sedikit orang yang seharusnya sudah menikah, karena telah cukup umur dan mampu secara ekonomi, namun sengaja tidak ingin menikah. Alasan mereka, biar puas dulu menikmati masa bujang. Sungguh orang-orang tersebut dapat dikatakan mengingkari sunnah dan tidak diakui sebagai umat Nabi  Muhammad saw, Rosulullah saw. bersabda: "Barangsiapa mampu menikah, kemudian mereka tidak menikah, maka dia tidaklah termasuk umatku. ” (HR Thobroni & Baihaqi,)

Padahal dengan menikah, insyaa Allah, usia dan hasil jerih payahnya lebih bermanfaat, serta lebih banyak pahalanya. Sebab:

  • dapat memejamkan mata dari menatap wanita lain;
  • energinya tidak tersia-sia dengan kegiatan itu-itu saja yang sifatnya hanya untuk mengisi waktu;
  • mempunyai pendamping hidup yang setiap saat siap meringankan beban lahir batinnya;
  • irama hidupnya lebih teratur;
  • mencari nafkahnya terhitung jihad;
  • menafkahi istri dan anak-anaknya terhitung sedekah; dan
  • akan lebih hemat dalam membelanjakan keuangannya.
Ikaf bin Wada’ah menceritakan, ia bersilaturrahmi kepadaNabi Muhammad saw. Lalu beliau bertanya: "Apakah engkau telah beristri?" Ikaf menjawab, "Belum." Rosulullah saw. bertanya lagi "Apakah engkau normal dan mampu?" Ikaf mengangguk, "Ya*

Rosulullah saw. bersabda, "Kalau demikian engkau termasuk saudara setan. Jika engkau termasuk pendeta nasrani, memang itu hak mereka (untuk tidak menikah). Apabila engkau termasuk donganku, lakukanlah apa yang aku lakukan. Karena sesungguhnya di antara sunnahku adalah nikah. Sejelek-jelek orang di antarakamu sekalian ialah yang membujang. Kalau demikian, celaka engkau Ikaf. Maka nikahlah." Ikaf berkata, "Ya Rosulullah, aku tidak akan menikah kecuali jika engkau menikahkan aku dengan wanita yang engkau kehendaki." Lalu Rosulullah saw. bersabda: "Aku akan nikahkan engkau dengan wanita Bintu Kulsum Al-Khumairi." (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah & Ibnu Abdil Bar)
 
  Meminang ( Khitbah )
 
Pengertian Meminang adalah pernyataan seorang pria yang meminta kesediaan seorang wanita untuk menjadi istrinya melalui orang yang dipercaya. Hal itu diperbolehkan dalam Islam Meminang juga bisa dilakukan dengan jalan kiasan (sindiran) jika wanita yang dipinang dalam iddah ba`in (yakni masa menunggu bagi seorang wanita setelah dijatuhkan talaq ketiga / talaq ba`in oleh suaminya). Juga bisa dilakukan terhadap wanita dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya. Mengutarakan keinginan dengan bahasa kiasan adalah sebagai sopan santun Islam menjaga perasaan seseorang.
``Tidak ada dosa bagimu meminang umnita itu dengan sindiran atan kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati. Allah mengetahui bahwa hmu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu mebuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata (sindiran) yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya.`` (QS. 2/Al-Baqoroh: 235).
Wanita yang haram dipinang, ialah yang masih dalam iddah roj`iyah (yakni masa menunggu bagi seorang wanita setelah dijatuhkan talaq pertama atau kedua oleh suaminya), karena masih hak pria yang menceraikannya. Dalam pengertian bahwa mantan suaminya itu masih berhak kembali kepadanya. Juga haram meminang wanita yang sedang dipinang orang lain. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, ``Orang mukmin dengan orang mukmin adalah bersaudara, maka tidak halal bagi seorang mukmin meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya. Sampai nyata-nyata sudah ditinggalkannya.`` (HR. Ahmad dan Muslim)
Sebelum meminang seorang wanita, pihak pria boleh melihatnya lebih dulu. Ketika Mughiroh bin Syu`bah berkeinginan untuk menikahi seorang wanita, Muhammad Rosulullah saw. bersabda kepadanya: ``Pergilah nelihat wanita itu, karena dengan melihatnya akan memberikan jaminan hgi kelangsungan hubunganmu berdua``. Mughiroh melaksanakan ymntah itu, lalu menikahinya. Di kemudian hari, ia menceritakan tentang krukunan dirinya dengan wanita itu. (HR. Ibnu Majah, An-Nasa`i, dan Tirmidzi).
Apabila seorang pria berhalangan untuk melihat secara langsurig wanita yang akan dipinangnya, maka boleh mengirimkan utusan seorang wanita yang dapat dipercaya. Yakni yang jujur untuk menceritakan semua yang dilihatnya dengan apa adanya.
Jelaslah bahwa jika saudara ingin menikahi seorang wanita, memang harus betul-betul mengenal profilnya. Tidak terbatas pada rupa dan bentuk lahiriyahnya saja. Namun yang paling penting adalah watak/karakter dan perilakunya sehari-hari. Sebab dengan begitu saudara akan tahu, kelebihan dan kelemahan si wanita tersebut. Kemudian saudara pertimbangkan secara matang, lebih banyak mana sisi positifnya dibandingkan dengan sisi negatifnya. Lalu seandainya saudara memutuskan tetap menikahinya, sanggupkah saudara menerima segala kekurangannya, sekaligus mampukah saudara membimbingnya. Itulah yang dimaksud dalam anjuran Rosulullah saw. ``Pergilah melihat (mengenali) wanita itu``.
 
Dalam meminang seorang wanita, pria hendaknya menjauhi empat hal.
1.     Janganlah menikahi orang-orang Musyrik, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Al-Baqoroh ayat 221 yang telah dikutip di atas.
2.   Janganlah menikahi wanita karena hartanya. Muhammad Rosulullah saw. bersabda ``Jangan engkau nikahi wanita karena kecantikannya, karena ia hanya akan sibuk mengurus kecantikannya. Jangan pula engkau nikahi karena hartanya, karena harta kekayaannya membuatnya beringas dan kejam kepadamu. Tapi nikahilah wanita karena agamanya, atau juga budak wanita yang memiliki agama.`` (HR Abid bin Hamid)
3. Janganlah menikahi wanita karena kebangsawanannya, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, ``Barangsiapa menikahi seorang wanita karena kebangsawanannya, niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan.`` (Al- Hadis)
4.   Janganlah menikahi seorang wanita karena kecantikannya. Sabda Muhammad Rosulullah saw. bersabda, ``Barangsiapa menikahi seorang wanita karena hartanya dan kecantikannya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan kecantikannya. Dan barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena agama, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya berupa harta dan kecantikan.`` (Al-Hadis)
 
Mahar ( Mas Kawin )
 
Mahar ialah Suatu pemberian dari seorang pria kepada seorang wanita yang dinikahinya disebut mahar (maskawin). Pemberian itu dapatberupa sejumlah uang dan barang seperti Al-Qur`an, seperangkat alat sholat dan lain sebagainya. ``Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian (maskawin) itu dengan senanghati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.`` (QS. 4/An- Nisa`: 4)
Jumlah maskawin tergantung dari kemampuan calon suami dan atas persetujuan istri, namun hendaklah tidak berlebihan. Jabir ra. menuturkan, Rosulullah saw. bersabda: ``Seandainya seorang pria member! makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita, sesungguhnya wanita itu halal baginya.`` (HR Ahmad & Abu Dawud) Abu Aifa` menceritakan, ia mendengar Umar mengatakan: ``Janganlah berlebih-lebihan memberi mahar kepada wanita. Sebab apabila hal itu menjadi kemuliaan di dunia atau akan menjadi kebaikan di akhirat, tentu Nabi lebih utama dalam hal itu. Tetapi beliau tidak pernah memberi maskawin kepada istri-istri beliau lebih dari 12 aucjiyah (sekitar 1.498 gram perak). Beliau juga tidak pernah membiarkan anak-anaknya menerima maskawin lebih dari itu.`` (HR Lima orang ahli hadits)
Penyerahan maskawin boleh secara tunai atau hutang. Apabila dibayar tunai lalu terjadi perceraian sebelum bersetubuh, maka suami boleh meminta kembali separuhnya. Sebaliknya jika maskawinnya hutang lantas terjadi perceraian sebelum bersetubuh, maka suami wajib membayar separohnya. ``Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri) padahal sudah kamu tentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua (0,5)nya dari yang telah kamu tentukan. Kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang memegang ikatan nikah (wali). Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.`` (QS. 2/Al- Baqoroh: 237)
Jika mahar belum dibayar oleh suami, si istri berhak mempertahankan atau tidak tergesa-gesa menyerahkan dirinya. Ibnu Abbas ra. menyatakan, sesungguhnya Ali ra. ketika sudah menikah dengan Fatimah bermaksud akan mulai bercampur. Namun Muhammad Rosulullah saw. melarangnya sebelum ia memberikan sesuatu. ``Saya tidak punya apa-apa,` jawab Ali ra. Muhammad Rosulullah saw. bertanya: ``Dimanakah baju besimu untuk berperang?`` Lalu Ali ra. menyerahkan baju besinya. Setelah itu ia mendekati Fatimah. (HR Abu Dawud)
 
Syarat Bentuk Kalimat Ijab dan Qabul
 
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya bentuk madhi
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang akan datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, "Zawwajaka Ibnatii " (Aku nikahkan kamu dengan puteriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, "Qabiltu" (Aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan: "Uzawwijuka Ibnatii " (Aku akan nikahkan kamu dengan puteriku), sebagai bentuk mustaqbal. Lalu si mempelai laki-laki menjawab: "Qabiltu "(Aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.
Mereka mensyarakatkan hal itu, karena adanya persetujuan dan kesepakatan dari kedua belah pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan ijab dan qabul hanya merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari at bagi sebuah akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak mengandung pengertian lain. •
Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secaia pasti persetu-juan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan berlangsung. Sehingga, jika salah seorang di antaranya mengatakan: "Uzawwijuka Ibnatii"(Aku akan nikahkan kamu dengan puteriku). Lalu pihak yang lain menjawab: "Aqbah nikahaha " (aku akan menerima nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena, kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.
Seandainya mempelai laki-laki mengatakan: "Zawwijni Ibnataka" (Ni-kahkan aku dengan puterimu), lalu si wali mengatakan: "ZawwajtuhaLaka’ (Aku telah menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah terlaksana. Karena, kata "Zawwijnii " (nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan dan akad nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh salah satu dari kedua belah pihak.
 
Mengumumkan Pernikahan
 
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan. Atau belum sah, kecuali para saksi yang hadir menyaksikan akad nikah yang dilangsungkan, mes-kipun penyiarannya dilakukan dengan sarana yang lain. Akan tetapi jika para saksi telah menyaksikan pelaksanaannya dan kedua mempelai berpesan kepada mereka untuk merahasiakan akad pernikahan itu atau tidak menyiarkannya, maka akad tersebut tetap dianggap sah. Sedangkan Imam Malik dan para saha-batnya berpendapat, bahwa mengumumkan sebuah pernikahan (secara meluas) bukanlah suatu hal yang wajib. Akan tetapi, cukup hanya dengan menyatakan-nya saja (kepada orang-orang yang terdekat).
Dalam hal ini mereka beralasan, bahwa jual-beli yang di dalamnya dise-butkan nama Allah, maka harus menyertakan adanya saksi dari pihak lain ke¬tib berlangsungnya transaksi (yang menguatkan bukti terjadinya transaksi terse-but). Namun, ada juga dalil yang menunjukkan, bahwa penampakan tersebut bukanlah sebagai kewajiban di dalam jual-beli. Begitu pula dengan pernikahan yang di dalamnya Allah Subhanahu wa Ta ’ala tidak menyebutkan keharusan adanya pengumuman secara meluas ketika akad sedang berlangsung, sebagai syarat atau kewajiban. Karena, maksud dari pengumuman dan penampakan itu sebenarnya adalah untuk menjaga keberlangsungan dari keturunan yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
Adapun tindakan pengumuman sebuah pernikahan tetap dibenarkan sete-lah terlaksana akad, yaitu untuk mengklarifikasi perbedaan yang terjadi antara kedua mempelai. Jika akad nikah dilaksanakan dan tidak dihadiri oieh banyak saksi, lalu mereka juga ikut bers aksi sebelum kedua mempelai melakukan hubung¬an badan, maka akad nikah tersebut tetap sah. Akan tetapi, jika telah melakukan hubungan badan, sedangkan para saksi belum menyaksikan akad nikah, maka keduanya harus dipisahkan (pernikahannya tidak dapat dianggap sah).
Sebuah pernikahan tidak sah, kecuali dengan dihadirkannya beberapa saksi, demikian menurut penclapat para ulama. Tidak ada perbedaan di antara para ulama terdahulu mengenai hal tersebut, kecuali sekelompok ulama dari kalangan mutaakhirin (yang hidup belakangan). Selain itu, hadirnya saksi ber-kaitan dengan hak dari kedua mempelai, utamanya mengenai keturunan atau anak, sehingga hal itu disyaratkan dalam akad nikah. Dengan maksud, agar
sang ayah tidak mengingkari anak yang nantinya dilahirkan dari hubungan perni¬kahan tersebut, sehingga terpelihara keutuhan dari keturunannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad nikah tetap sah tanpa adanya saksi. Di antaranya adalah ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi, Yazic binHarun, Ibnu Mundzir, Dawuddanhal ini pernah dikerjakan oleh IbnuUma: dan Ibnu Zubair. Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, bahwa ia pernah menikah tanpa adanya saksi. Akan tetapi, kemudian ia mengumumkan pernikahannya itu. Adapun mengenai adanya dua saksi dalam suatu pernikahan tidak ditetap¬kan dalam hadits, demikian menurut Ibnu Mundzir.
Sedangkan Yazid bin Harun mengatakan: "Allah memerintahkanadanya saksi dalam jual-beli saja dan tidak pada pernikahan. Sementara Ashabum’y. mensyaratkan adanya saksi dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya 4 dalam jual-beli. Jika suatu akad nikah dilaksanakan secara diam-diam dan penye¬lenggara berpesan agar tidak diumumkan, maka pernikahan itu tetap sah, tetapi dihukumi makruh. Yang demikian itu karena bertentangan denganperintahuntuk mengumumkannya. " Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ibnu Mundzir. Sementara yang memakruhkannya adalah Umar. ‘Urwah, Sya’abi dan Nafi’. Menurut Imam Malik, akad nikah seperti itu batal.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Lalu orang tersebut meminta kedua saksi itu untuk merahasiakannya. Mengenai permintaan itu, ia (Imam Malik) menjawab: "Kedua mempelai harus dipisah¬kan dengan bercerai dan tidak diperbolehkan untuk menikah lagi. Sedang bagi si wanita boleh mengambil maharnya jika telah menerima dan bagi kedua saksi tersebut tidak mendapatkan sanksi apa-apa."

Walimah ( Resepsi )
 
Bila disebut walimah, orang akan segera menafsirkan walimatul ursi (walimah pengantin). Maksudnya pesta pernikahan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah SWT berupa berlangsungnya akad nikah. Hukum walimah ini sunnah muakkad. Pelaksanaannya hendaklah sebatas kemampuan. Sebab Islam mencegah melakukan sedekah semacam itu dengan memaksakan diri, misalnya dengan mencari hutang, karena hal itu memberatkan. Selain itu harus disadari, daripada uang dihambur-hamburkan hanya untuk selamatan, lebih baik digunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk mengontrak rumah atau membeli perabotan rumah tangga. Sebab pengantin baru harus memulai kehidupan dari awal dan semua itu memerlukan banyak uang.
Ada beberapa hadits yang menerangkan masalah walimatul ursi
ini.
1.    Anas bin Malik ra. berkata: "Aku tidak melihat Rosulullah saw membuat walimah untuk istri-istri beliau seperti walimah yang diselenggarakan untuk istri yang bernama Zainab. Beliau waktu itu memotong seekor kambing." (HR. Muslim).
2.    Shofiyah binti Syaibah ra. berkata, "Rosulullah telah membuat walimah untuk sebagian istri-istri beliau dengan dua mud (1 mud = 6 ons) dari syair (tepung jagung)." (HR. Muslim).
3.    Muhammad Rosulullah saw. bersabda. "Kalau di antara kamu diundang (walimah), maka datanglah. Jika kamu berpuasa, maka doakanlah dan apabila kamu tidak sedang berpuasa, maka makanlah." (HR. Muslim).
4.    Muhammad Rosulullah saw. bersabda. "Sejelek-jelek jamuan adalah jamuan walimah di mana yang diundang hanya orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin dilupakan. Barangsiapa tidak mendatangi undangan yang tidak seperti itu, maka berarti ia mendurhakai Allah dan rosul-Nya." (HR. Muslim).

Muhrim
 
Wanita-wanita yang tidak halal (dilarang) dinikahi disebut muhrim. Apabila hal ini dilanggar, maka pernikahannya tidak sah, dan hubungan mereka (sebagai suami-istri) tergolong dalam perbuatan zina.
Wanita-wanita yang tidak halal (dilarang) dinikahi disebut muhrim. Apabila hal ini dilanggar, maka pernikahannya tidak sah, dan hubungan mereka (sebagai suami-istri) tergolong dalam perbuatan zina.

Wanita yang tidak halal dinikahi ini ada 14 macam, terbagi dalam 4 (empat) golongan. Semua itu diterangkan dalam Al-Qur`an (baca: QS. 4/An-Nisa: 22-24)

Tujuh orang dari sebab nasab (keturunan):


  1. ibu, ibunya ibu, dan ibu dari bapak sampai garis keturunan ke atas, seterusnya.
  2. anak, cucu, dan keturunan ke bawah seterusnya.
  3. saudara wanita seibu-sebapa, atau seibu/sebapa saja
  4. saudara wanita dari bapak.
  5. saudara wanita dari ibu.
  6. anak wanita dari saudara lelaki, dan seterusnya.
  7. anak wanita dari saudara wanita, dan seterusnya.

Dua orang dari sebab rodho`ah (susuan):

  1. ibu yang menyusui, sekalipun bukan ibu kandung.
  2. saudara wanita satu susuan.

Empat orang dari sebab mushoharoh (perkawinan):

  1. ibu dari istri (mertua)
  2. anak tiri, apabila sudah pernah menggauli ibunya
  3. istri dari anak (menantu)
  4. istri dari bapak. "Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau."(QS. 4/An-Nisa`:22)

Satu orang dari sebab jama` (berkumpul), yaitu:

  1. saudara wanita dari istri (ipar).
Kufu (Setingkat)
Persamaan derajat (kufu) bukan menjadi syarat dalam pernikahan, namun tanpa kerelaan pihak istri atau walinya pernikahan yang sudah dilangsungkan dapat dibatalkan. Kufu adalah hak wanita dan walinya.
Persamaan derajat (kufu) bukan menjadi syarat dalam pernikahan, namun tanpa kerelaan pihak istri atau walinya pernikahan yang sudah dilangsungkan dapat dibatalkan. Kufu adalah hak wanita dan walinya. Keduanya berhak menilai dan memutuskan: apabila pihak suami dipandang lebih rendah derajatnya (status sosialnya), maka mereka berhak menolaknya.

Persamaan derajat itu dapat ditinjau dari lima segi.


  1. Agama. Seorang wanita muslim tidak sederajat dengan pria kafir.
  2. Merdeka. Seorang yang merdeka tidak sederajat dengan budak.
  3. Keturunan. Seorang dari keluarga yang saleh tidak sederajat dengan keluarga yang fasik.
  4. Kehormatan dan kesucian diri. Wanita terhormat dan bersih dari noda dan dosa tidak sederajat dengan pria pemabuk atau penjudi, apalagi dengan pezina.
  5. Status sosial. Pria yang pekerjaannya rendah tidak setingkat dengan wanita anak dari orang yang terpandang kedudukannya.

Tentang masalah kufu, Al-Qur`an mengungkapkan, "Pezina pria tidak boleh menikah kecuali dengan pezina wanita atau dengan wanita musyrik. Dan pezina wanita tidak boleh menikah kecuali dengan pezina pria atau dengan pria musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin. (QS. 24/An-Nur: 3). Maksudnya ayat ini adalah tidak pantas orang yang beriman menikah dengan pezina, demikian juga sebaliknya. Semua itu guna memelihara keturunan dan kehormatan diri orang beriman.

Bagaimana jika antara pria dan wanita yang tidak sederajat, misalnya wanita muslimah dengan pria non muslim atau sebaliknya, tetap menjalin cinta dan menikah? Dalam banyak kasus pernikahan semacam itu merugikan pihak muslim. Memang secara kasat mata mereka bisa hidup sejahtera dan seolah bahagia, namun akidahnya lambat laun tergadaikan. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya murtad. Na`udzubillah.

Al-Qur`an melarang orang muslim menikah dengan non muslim,

"janganlah kaniu nikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik : mkipun din menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (pria) msyrik(dengan wanita yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh kmbasahaya pria yang beriman lebih baik daripada pria musyrik meskipun in menarik hatimu." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221)

Oleh karena itu jika saudara mulai jatuh cinta, sebelum melangkah lebih jauh selidikilah dulu latar belakang orang yang saudara cintai. Setidaknya tentang agamanya, apakah si dia seiman dengan kita atau tidak. Jika sudah jelas-jelas beda agama, jauhilah.

Perlu saudara ketahui bahwa rata-rata tujuan orang non muslim menikahi orang Islam adalah untuk mengajak memasuki agama mereka. Ingat misi mereka memang memperbanyak pemeluk melalui pernikahan. Karena itu tidak sedikit non-muslim yang ketika mau menikah dengan orang Islam, rela masuk Islam lebih dulu. Setelah menikah mereka kembali ke agamanya semula. Lalu istrinya yang muslimah pun diajak untuk memeluk agamanya dengan berbagai macam cara. Jadi waspadalah. Benarlah firman Allah SWT pada kelanjutan ayat di atas, "Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. 2/Al-Baqoroh: 221

Barangkali yang juga harus dipertimbangkan tentang kufu ini adalah selisih usia. Buroidah ra. mengemukakan, Abu Bakar ra. dan Umar ra. datang melamar Siti Fatimah ra., maka Muhammad Rosulullah saw. menjawab, "Sesungguhnya ia masih terlalu kecil". Kemudian datanglah Ali kw. melamarnya, Maka Rosulullah saw. menikahkan Siti Fatimah dengannya. (HR. Nasai)

Rosulullah saw. menikahkan putrinya, Siti Fatimah ra. Dengan Ali kw. karena usia keduanya hampir sepadan. Sedangkan umur Siti Fatimah dibandingkan dengan Abu Bakar ra. dan Umar ra. terpaut sangat jauh, sebab kedua sahabat Nabi saw. itu telah berusia lanjut.

Hadits ini menyiratkan anjuran, sebaiknya pernikahan itu dilakukan dengan orang yang tidak banyak selisih usianya. Mengapa? Sebab permikiran orang yang telah lanjut usia berbeda dengan pemikiran gadis belia. Jadi kalau seorang gadis yang masih belia menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua akan terjadi hal-hal semacam berikut ini:

si istri punya keinginan selalu bermanja-manja, tidak peduli di keramaian saat jalan-jalan. Namun suaminya merasa malu untuk mengimbangi tingkah-laku istrinya;

si istri menghadapi masalah dengan canda-tawa, sebaliknya suaminya selalu serius;

si istri masih senang bermain-main, sedangkan suaminya inginnya senantiasa beribadah;

apabila punya uang si istri cenderung bersenang-senang, tetapi suaminya mengutamakan menabung.

Nah keinginan-keinginan suami istri yang selalu bertolak belakang itu merupakan masalah yang sangat serius. Jika hal itu terus-menerus terjadi, pastilah pertengkaran demi pertengkaran tak terhindarkan. Dan setiap pertengkaran yang tidak dapat diakhiri dengan baik senantiasa menorehkan luka berkepanjangan. Akibatnya keduanya pun memendam ketersiksaan. Lalu terjadilah saling menghindari, yang akhirnya membuat masing-masing merasa asing. Selanjutnya, biasanya terjadilah perceraian.

Mahram
 
Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda,
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
  1. Kebolehan berkhalwat (berduaan)
  2. Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
  3. Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Ayat-ayat Tentang Kemahraman Di Dalam Al-Quran A. Daftar mahram menurut Surat An-Nisa
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
  1. Ibu kandung
    Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya.
  2. Anak-anakmu yang perempuan
    Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya.
  3. Saudara-saudaramu yang perempuan,
    Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya.
  4. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan.
  5. Saudara-saudara ibumu yang perempuan
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan.
  6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah.
  7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu.
  8. Ibu-ibumu yang menyusui kamu
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan.
  9. Saudara perempuan sepersusuan
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan.
  10. Ibu-ibu isterimu
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki.
  11. Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya.
  12. Isteri-isteri anak kandungmu
    Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.

 

Warisan

 
Warisan
 
Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
Pengertian warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orangyang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. “Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa’: 33)

Yang disebut harta warisan, adalah sisa dari kekayaan si mati setelah dipotong untuk:

  1. menzakati harta yang ditinggalkan si mayat
  2. membiayai pengurusan mayat. Yakni mulai dari biaya pengobatan dan ambulans (jika meninggal dunia di rumah sakit), pembelian kain kafan, nisan, penggalian kubur, dan lain-lain sampai pemakamannya; Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Kafanilah olehmu mayat itu dengan dua kain ihromnya." (HR. Jama’ah ahli hadis)
  3. melunasi hutang-hutang si mayat, apabila ia memiliki hutang;
  4. memenuhi wasiat si mayat, jika ia berwasiat yang besarnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya. (pembagian harta pusaka itu) sesudah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya." (QS. 4/An-Nisa1: 11)
Yang berhak mendapat wasiat adalah selain ahli waris, karena ia sudah mendapat hak warisan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi kepada setiap orang yang berhak atas haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris". (HR. Lima ahli hadits, kecuali Abu Dawud. Hadits ini juga disahkan oleh Tirmidzi dari Amr bin Khorijah ra.)
Rukun Dan Dasar Kewarisan   
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya. Dan bagi wanita juga ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak sesuai ketentuan yang
Kamis, 19 April 2012
Rukun kewarisan ada tiga

A.    Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia.

B.     Ahli Waris, ialah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati.

C.     Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah dipotong biaya pengurusan mayit, melunasi hutangnya, dan melaksanakan wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.

Dasar-dasar kewarisan menurut Hukum Islam (ashabul mirots), ada tiga:

Kekeluargaan (qorobah), adalah pertalian hubungan darah yang menjadi dasar utama pewarisan. "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya. Dan bagi wanita juga ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan." (QS. 4/An-Nisa`: 7) "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah." (QS. 8/Al-Anfal: 75)

Pertalian darah ini dikelompokkan dalam tiga bagian:

=> ke atas (disebut ushul), ialah ibu-bapak, kakek-nenek, dan seterusnya;
=> ke bawah (disebutfuru`), ialah anak-cucu keturunan si mati; => ke samping (disebut hawasyi), ialah saudara, paman, bibi, keponakan dari si mati.
Ditinjau dari segi pembagiannya, ahli waris akibat pertalian darah ini dibagi menjadi tiga (3):
  • Ashhabul Furudinnasabiyyah, ialah golongan ahli-ahli waris yang mendapat bagian tertentu. Misal: 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga), dan lain-lainnya.
  • `Ashabah Nasabiyyah, ialah golongan ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu. Mereka mendapat sisa dari golongan pertama. Jika tidak ada golongan pertama, golongan kedua ini berhak atas seluruh harta warisan.
  • Dzawil Arham, ialah kerabat yang agak jauh dengan si mati.
Semenda (mushoharoh), karena perkawinan yang syah. Sehingga suami istri berhak untuk saling mewarisi, apabila salah satu di antara mereka meninggal dunia sewaktu perkawinannya masih utuh. Ketentuannya, sebagai berikut:

Apabila istri yang meninggal dan tidak memiliki anak, suami mewarisi separoh dari harta peninggalan istrinya. Jika punya anak memperoleh seperempatnya. "Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya." (QS. 4/An-Nisa`: 12).

Apabila suami yang meninggal dan tidak memiliki anak> istri mewarisi seperempat dari peninggalan suaminya. Jika punya anak memperoleh seperdelapannya. "Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Apabila kamu mempumyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (sesudah dipenuhi) wasiat yang kamu buat, atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu." (QS. 4/An-Nisa`: 12).

Wala` adalah persaudaraan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak. Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Hubungan orang yang memerdekakan budak dengan budak yang bersangkutan seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim). "Hak Wala` itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak. Wala` itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual atau dihibahkan." (HR. Hakim).

Dengan demikian orang yang memiliki hak wala`, berhak mewarisi harta peninggalan budaknya. Ditegaskan oleh Muhammad Rosulullah saw. "Sesungguhnya hak itu (mewarisi) untuk orang yang memerdekakan." (Sepakat ahli hadis). Mereka itu disebut ahli waris golongan `Ushubah sababiyyah.

Hubungan agama. Apabila orang Islam yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke Baitul Mal untuk kepentingan umat Islam. Sabda Muhammad Rosulullah saw. ``Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai waris." (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Tentu saja, Nabi Muhammad Rosulullah saw. menerima harta pusaka tersebut bukan untuk kepentingan pribadi/keluarganya, melainkan untuk kepentingan umat Islam.

Atau sebagiannya diwasiatkan kepada orang sesama muslim.

"Orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikian itu adalah tertulis di dalam Kitab Allah." (QS. 33/Al-Ahzab: 6) Yang dimaksud berbuat baik di sini adalah memberi wasjat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

Jumlah Ahli Waris
Jumlah ahli waris secara keseluruhan ada 24 (dua puluh empat) orang yang terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang wanita
Jumlah ahli waris secara keseluruhan ada 24 (dua puluh empat) orang yang terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang wanita. Mereka ialah:

Pertama, 14 (lima belas) orang laki-laki:

  1. suami;
  2. anak laki-laki;
  3. cucu laki-laki dari anak laki-laki;
  4. bapak;
  5. kakek dari bapak
  6. saudara laki-laki seibu bapak
  7. saudara laki-laki sebapak
  8. saudara laki-laki seibu
  9. anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu bapak
  10. anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
  11. paman seibu bapak
  12. paman yang sebapak saja
  13. anak laki-laki dari paman yang seibu bapak
  14. anak laki-laki dari paman yang sebapak
Jika semua ahli waris itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya tiga saja, ialah: bapak, anak laki-laki, dan suami.

Kedua, 10 (sepuluh) orang wanita, yaitu:
  1. anak wanita
  2. anak wanita dari anak laki-laki
  3. ibu
  4. ibu dari bapak (nenek)
  5. ibu dari ibu (nenek)
  6. saudara wanita seibu bapak
  7. saudara wanita yang sebapak saja
  8. saudara wanita yang seibu saja
  9. istri
  10. wanita yang memerdekakan si mayat.
Jika kesepuluh wanita ahli waris itu ada semuanya, maka yang dapat mewarisi harta si mayat hanya lima orang saja, ialah: a) istri; b) anak wanita; c) cucu wanita dari anak laki-laki; d) ibu; dan e) saudara wanita yang seibu sebapak
Apabila semua ahli waris yang berjumlah 25 orang itu masih ada, maka yang tetap mendapat harta warisan yaitu istri atau suami, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Perlu diketahui bahwa anak yang dalam kandungan ibunya, juga berhak mendapatkan warisan. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw. "Apabila menangis (hidup) anak yang baru lahir, ia berhak mendapat pusaka." (HR. Abu Dawud).
 
Pembagian Warisan
 
Berapakah besar harta pusaka yang harus diterima oleh masing- masing ahli waris? "Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara- saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama...
Berapakah besar harta pusaka yang harus diterima oleh masing- masing ahli waris? "Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara- saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara wanita. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’’ (QS. i/An-Nisa’: 176).

Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut di atas, adalah bagian yang diperoleh anak perempuan sebanyak separoh dari bagian yang diperoleh anak laki-laki. Suatu misal, dalam sebuah keluarga terdapat seorang anak laki-laki dan dua orang anak wanita, maka pembagian warisannya dibagi empat. Dengan perincian, anak laki- laki tersebut menerima dua bagian (2/4) sedang dua anak perempuan itu masing-masing menerima 1 (satu) bagian (1/4).

Selanjutnya ketentuan pembagian harta warisan secara terperinci sebagai berikut:

Yang mendapat 1/2 (setengah) harta, ialah:

  1. Seorang anak wanita satu-satunya mendapatkan separoh harta. "... Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta (yang ditinggalkan)." (QS. 4/An-Nisa’: 11).
  2. Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, bila tidak ada anak perempuan. Hal ini menurut keterangan lima Ijma (kesepakatan para ulama).
  3. Saudara wanita seibu bapak, apabila satu-satunya. ".... jika seorang meninggal dunia dan dia tidak mempunyai anak tetapi. mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya." (QS. 4/An-Nisa’: 176).
  4. Suami, apabila istri yang meninggal dunia tidak memiliki anak. "Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak." (QS. 4/An-Nisa’: 12.).
Yang mendapat 1/4 (seperempat) harta, ialah:
  1. Suami, apabila istri yang meninggal dunia meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan atau cucu dari anak laki-laki. "Jika mereka (istri-istrimu yang meninggal) mempunyai anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan sesudah dibayar) hutangnya." (QS. 4/An-Nisa’: 12).
  2. Istri, apabila suami tidak meninggalkan anak. "Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak." (QS. 4/An-Nisa’: 12). Dengan demikian firman Allah tersebut juga menegaskan, bahwa jika istri si mati lebih dari satu, maka yang seperempat harus dibagi rata.
Yang mendapat 1/8 (seperdelapan) harta, ialah istri.

Dengan ketentuan apabila suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. . .Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan, setelah (dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan sesudah dibayar) hutang- hutangmu."." (QS. 4/An-Nisa’: 12).

Yang mendapat 2/3 (dua pertiga), ialah:
  1. Dua anak wanita atau lebih dengan syarat jika tidak ada anak lelaki. "Jika anak semuanya anak perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (bapak mereka).’’(QS. 4/An-Nisa’:11).
  2. Dua anak wanita atau lebih dari anak laki-laki (cucu wanita), bila tidak mempunyai anak perempuan. Hal ini diqiyaskan dengan anak perempuan, sebab hukum cucu (anak dari anak laki-laki) dalam beberapa perkara seperti hukum anak sejati.
  3. Saudara-saudara perempuan seibu bapak. . .Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya duapertiga dari harta yang ditinggalkan."(QS. 4/An-Nisa’:176).
Yang mendapat 1/3 (sepertiga), ialah:
  1. Ibu, apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan tidak mempunyai saudara. "Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga." (QS. 4/An-Nisa’:11).
  2. Dua orang saudara atau lebih yang seibu, baik lelaki maupun wanita. "Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu setelah (dipenuhi) wasiat yang kamu buatnya atau (dan sesudah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli warisnya]." (QS. 4/An-Nisa’:12) Yang dimaksud "menyusahkan ahli waris" di sini adalah tindakan-tindakan seperti: (1) berwasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan; (2) berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Tetapi sekalipun wasiatnya kurang dari sepertiga harta jika ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Yang mendapat 1/6 (seperenam), ialah:

  1. Ibu dan bapak, apabila si mayat mempunyai anak. "Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak."(QS. 4/An-Nisa’:11).
  2. Ibu, jika si mayit mempunyai beberapa saudara. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (QS. 4/An-Nisa’:11).
  3. Nenek (dari ibu atau dari bapak, jika ibu tidak ada). Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Sesungguhnya Nabi saw. telah menetapkan bagian nenek seperenam (1/6) harta."(HR. Zaid).
  4. Cucu wanita dari anak laki-laki baik seorang atau lebih. Tapi jika si mayit mempunyai beberapa anak wanita, maka cucu wanita tidak memperoleh warisan. "Nabi saw telah memberikan seperenam untuk seorang anak wanita dari anak laki-laki yang beserta seorang anak wanita."(HR. Bukhori).
  5. Kakek dari bapak juga mendapat seperenam (1/6), apabila beserta dengan anak cucu, sedang bapaknya tidak ada. Hal ini berdasarkan Ijma’ ulama.
  6. Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun wanita. "Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka masing-masing darkedua jenis saudara itu seperenam harta."(QS. 4/An-Nisa’:12).
  7. Saudara wanita sebapak saja, baik seorang atau lebih. Namun jika saudara seibu bapak dua atau lebih maka saudara bapak tidak mendapat warisan. Hal itu berdasarkan Ijma’ ulama.
 
Ahli Waris Yang Terhalang Haknya
Dalam pembagian warisan terdapat istilah hijab (penghalang), kjib (ahli waris terdekat dengan si mati atau yang menghalangi) dan mahjub (orang yang terhalang). Suatu misal, kakek tidak mendapatkan bagian warisan
Dalam pembagian warisan terdapat istilah hijab (penghalang), kjib (ahli waris terdekat dengan si mati atau yang menghalangi) dan mahjub (orang yang terhalang). Suatu misal, kakek tidak mendapatkan bagian warisan dari cucunya yang meninggal karena terhalang oleh anaknya selaku bapak si mati. Dalam hal ini kakek disebut mahjub dan bapak disebut hajib.

Ahli waris yang menjadi mahjub karena adanya hajib, yaitu:


  • nenek, tidak mendapat warisan karena terhalang oleh ibu. Sebab ibu lebih dekat dengan si mati. Demikian juga kakek tidak mendapat warisan selama masih ada bapak si mati.
  • saudara seibu, tidak mendapat warisan karena terhalang, oleh:
  1. anak, baik lelaki maupun wanita.
  2. cucu dari anak lelaki, baik lelaki maupun wanita.
  3. bapak
  4. kakek.

  • saudara sebapak, tidak mendapat warisan sebab terhalang:
  1. bapak.
  2. anak lelaki.
  3. cucu lelaki dari anak lelaki.
  4. saudara lelaki seibu bapak.

  • saudara seibu bapak, tidak mendapat warisan sebab terhalang oleh salah satu hajib:
  1. anak laki-laki.
  2. cucu laki-laki dari anak laki-laki.
  3. bapak.

Para ahli waris dapat kehilangan hak untuk mendapatkan warisan, apabila:

  1. hamba atau budak. Selama seorang berstatus budak, maka tidak mendapat warisan dari keluarganya yang meninggal. "Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu, dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik, lalu dia menginfakkan sebagian rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan. Samakah mereka itu?" (QS. 16/An-Nahl: 75).
  2. pembunuh. Dalam hal ini ahli waris yang membunuh Al-Muwaris’(si mati). Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya." (HR. Nasai).
  3. murtad. Seseorang yang keluar dari agama Islam kehilangan hak untuk mewarisi harta keluarganya yang meninggal. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim." (HR. Bukhori Muslim).

Kewajiban Makmum

KEWAJIBAN MAKMUM
 
Bagi orang yang menjadi makmum dalam sholat berjam a’ah, haruslah mengerti kewajibannya sebagai makmum berikut ini.
Bagi orang yang menjadi makmum dalam sholat berjam a’ah, haruslah mengerti kewajibannya sebagai makmum berikut ini.
1. Makmum harus mengikuti imam
Jabir ra. menceritakan, Rosulullah saw. sakit. Karena itu beliau sholat sambil duduk, dan para sahabat sholat di belakang beliau sambil berdiri. Ketika itu Abu Bakar mengeraskan suaranya takbir
menyambung suara Nabi, agar kedengaran orang banyak. Tiba-tiba Rosulullah saw. menoleh kepada para sahabat yang menjadi makmum dengan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat agar para sahabat yang menjadi makmum itu duduk, maka duduklah semuanya.
Setelah sholat, Nabi bersabda: "Hampir saja kamu sekalian berbuat seperti orang Persi atau Rum. Mereka berdiri apabila menghadap raja- raja mereka, sedangkan raja-raja itu duduk. Maka janganlah sekali- kali kamu berbuat seperti itu. ikutilah imammu. Jika imam sholat berdiri, maka sholat pulalah sambil berdiri. Apabila imam sholat sambil duduk, duduk pulalah kamu." (HR Muslim)
2. Larangan mendahului imam
Anas ra. mengabarkan, suatu hari Rosulullah saw. sholat mengimami para sahabat. Usai sholat beliau menghadap kepada para makmumnya dan bersabda, "Wahai manusia, aku ini imam kamu semua. Karena itu janganlah mendahului aku ketika ruku’, saat sujud, sewaktu berdiri, dan pada waktu menyudahi sholat. Sesungguhnya aku melihat kamu, baik ketika di hadapanku maupun di belakangku. Demi Allah yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, kalaulah kamu melihat apa yang aku lihat, kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis."
"Apakah yang engkau lihat, ya Rosulullah?" tanya mereka.
"Aku melihat surga dan neraka," jawab Rosulullah saw. (HR Muslim)
3. Ancaman bagi yang mendahului imam
Abu Huroiroh ra. menginformasikan, Rosulullah saio. bersabda, "Tidak takutkah orang-orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam, bahwa kepala mereka akan ditukar oleh Allah SWT dengan kepala keledai ?"
Dalam riwayat lain, Rosulullah saw. bersabda, "Tidak percayakah orang-orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam, bahwa Allah akan menukar rupanya dengan rupa keledai?" (HR Muslim)
4. Mendengarkan bacaan imam
Apabila imam membaca Al-Qur’an, hendaklah makmum menyimak bacaan Sctng imam. Dan apabila dalam bacaannya, sang imam ada kekeliruan, maka makmum dianjurkan mengingatkannya. Inilah salah satu hikmah mengapa orang yang ’alim harus menempati shof pertama, tepat di belakang imam. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu membaca takbir pula. Dan kalau ia membaca ayatAl- Qur’an hendaklah kamu diam (menyimaknya).’’ (HR. Muslim)
Bacalah Tasbih singkat untuk Ingatkan Imam
Apabila imam melakukan kesalahan dalam memimpin sholat, maka makmum harus mengingatkannya dengan membaca tasbih singkat. Misalnya, sudah sampai rokaat empat kok setelah sujud kedua imam langsung berdiri (karena merasa masih rokaat ketiga), maka makmum harus membaca Subchaanallaah (Mahasuci Allah). Dan imam yang mendengar teguran makmumnya ini harus duduk tasyahud akhir.
Sahi bin Sa’ad, mengutarakan, Rosulullah saw. bersabda: "Barangsiapa mengetahui ada sesuatu yang perlu diingatkan dalam sholat, maka bacalah ’Subchanallaah’, karena bertepuk tangan itu hanya untuk perempuan." (HR. Muslim)

Klasifikasi Najis

Tingkatan Najis
Siti Aisyah ra. menceritakan bahwa seorang bayi lelaki yang masih menetek diserahkan kepada Rosulullah saw., lalu bayi itu kencing di pangkuan beliau. Maka Rosulullah saw. meminta air dan menuangkannya ke bekas air kencing...

Najis menurut tingkatannya dibagi tiga.

Najis ringan (mukhoffafah), yaitu air kencing bayi lelaki yang belum berumur dua tahun, dan belum makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya, menurut hadits, cukup diperciki air pada tempat yang terkena najis tersebut. Siti Aisyah ra. menceritakan bahwa seorang bayi lelaki yang masih menetek diserahkan kepada Rosulullah saw., lalu bayi itu kencing di pangkuan beliau. Maka Rosulullah saw. meminta air dan menuangkannya ke bekas air kencing bayi itu (HR. Muslim)

Apabila pakaian kita terkena air kencing bayi perempuan, maka kita harus mencucinya. Meskipun bayi perempuan itu belum memakan makanan selain asi, maka haruslah dicuci. Rosulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya pakaian dicuci jika terkena air kencing anak perempuan, dan cukup diperciki air jika terkena kencing anak lelaki." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim).

Najis sedang (mutawashitho), yaitu segala sesuatu yang keluar

dari dubur dan qubul manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang) serta susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan.

Dalam hal ini, tikus juga tergolong najis. Siti Maimumah ra. mengutarakan, bahwa Muhammad Rosulullah saw. pernah ditanya perihal tikus yang terjatuh ke dalam minyak samin. Lalu beliau bersabda, "Apabila tikus itu jatuh ke dalam samin yang membeku, buanglah tikusnya dan samin di sekitarnya. Jika samin tersebut masih mencair, maka buanglah samin itu(seluruhnya)``. (HR. Lima ahli hadits, kecuali Imam Muslim)

Lalu bagaimana dengan kucing, yang sama-sama berbulunya dengan tikus? Kucing, menurut Muhammad Rosulullah saw. tidak najis. Abu Qotadah menerangkan, bahwa Muhammad Rosulullah saw. telah bersabda, "Sungguh kucing itu tidak najis, ia termasuk binatang yang jinak kepad kalian". (HR Ash-habus Sunan)

Najis mutawashitho dibagi dua:


  • najis `ainiyah/yaitu yang berwujud (tampak dan dapat dilihat). Misalnya, kotoran manusia atau binatang;
  • najis hukmiyah, najis yang tidak berwujud (tidak tampak dan tidak terlihat), seperti bekas air kencing, dan arak yang sudah mengering.

Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukuplah dibasuh tiga kali agar sifat-sifat najisnya (yakni warna, rasa, dan baunya) hilang.

Najis berat (mugholadho), yaitu najis terkena anjing. Cara mensucikan benda-benda (bejana atau kain) yang terkena najis jilatan anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali. Salah satu di antaranya dengan tanah. Setelah itu kita harus membasuhnya hingga bersih. Diterangakan dalam riwayat lain, Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Jika bejana salah seorang di antara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah". (HR. Muslim)

Najis ma`fu (najis yang dimaafkan). Antara lain nanah dan darah yang hanya sedikit, debu dan air dari jalanan yang memercik sedikit dan sulit dihindarkan. Hal ini merupakan salah satu kemudahan dari Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya. "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama, suatu kesempitan (kesulitan)." (QS. 22/Al-Hajj: 78)

Kadang memang ada di antara kita yang jika pergi ke masjid harus melewati tempat tumpukan sampah. Namanya juga sampah, pastilah menebarkan bau busuk dan najis. Jika hari hujan, air yang menimpa sampah itu tentulah menggenang di jalan sekitarnya. Dengan demikian sewaktu kita melewatinya pakaian kita sedikit banyak terpeciki (kecipratan) air najis itu. Nah air atau Lumpur jalanan yang mengenai busana kita ini, akan dibersihkan oleh udara dan debu bersih pada jalanan berikutnya yang lebih baik. Najis jenis ini termasuk ma`fu (yang dimaafkan) karena barang najisnya tidak kelihatan.

Seorang wanita dari Bani `Abdul Asyhal bertanya kepada Nabi saw. "Ya Rosulullah, sungguh jalan yang kami lewati ke masjid berbau busuk. Karena itu apa yang harus kami lakukan jika hari sedang hujan?"Rosulullah saw. bersabda, "Bukankah setelah jalan itu masih ada jalan lain yang lebih baik darinya?" Wanita itu menjawab, "Ya Benar." Lalu Nabi menegaskan, "Yang tadi itu disucikan oleh yang ini." (HR. Abu Dawud)

Hukum Masbuq

Hukum Masbuq ( Makmum yang Tertinggal )

Karena satu dan lain hal, seringkali kita sampai di masjid ketika sholat jama’ah sedang berlangsung. Jika kita mendapati parajama’ah,,
Karena satu dan lain hal, seringkali kita sampai di masjid ketika sholat jama’ah sedang berlangsung. Jika kita mendapati parajama’ah sedang melaksanakan rokaat pertama, imam masih berdiri membaca ayat Qur’an dan kita setelah takbirotul Ihrom sempat membaca fatihah, berarti kita sudah mengikuti sholat jama’ah dari rokaat pertama.
Apabila kita mendapati para jama’ah sedang sujud rokaat pertama, imam sedang sujud, maka kita dianjurkan takbiratul ihrom dan langsung ikut sujud. Namun ini tidak terhitung satu rokaat. Jadi setelah imam mengucapkan salam, kita harus menambah satu roka’at lagi sendirian. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Apabila seseorang di antara kamu datang untuk sholat sewaktu kami sujud, hendaklah ikut sujud dan janganlah kamu hitung itu satu rokaat. Barangsiapa yang mendapati ruku’ bersama imam, maka ia telah mendapat satu rokaat." (HR Abu Dawud)
Makmum yang tertinggal haruslah melengkapi sholatnya.
Muhammad Rosulullah saW. Bersabda, "Bagaimanapun keadaan imam ketika kamu dapati, hendaklah kamu ikut. Dan apa yang ketinggalan olehmu, hendaklah kamu sempurnakan (lengkapi). " (HR Muslim)
Lalu bagaimana jika terjadi antara imam dan makmum terhalang dinding? ’Aisyah ra. mengabarkan, bahwa Rosulullah saw. pernah mengerjakan sholat di dalam kamar beliau, sedangkan orang-orang bermakmum kepada beliau dari balik kamar.’’ (HR Abu Dawud)

Syarat dan Kewajiban Imam

Syarat dan Kewajiban Imam
 
1. Wanita dilarang mengimami pria. | 2. Yang pantas menjadi imam adalah yang pintar membaca Al- Qur�an dan lebih memahami sunnah. | 3. Imam haruslah orang yang baik.
 
 
1. Wanita dilarang mengimami pria.
Dengan kata lain seorang lelaki tidak boleh bermakmum kepada wanita. Jabir ra. mengabarkan, Muhammad Rosulullah saiv. bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang perempuan mengimami laki- laki. Janganlah seorang badui mengimami muhajir. Dan janganlah seorang pendurhaka mengimami orang mukmin, kecuali karena paksaan dari penguasa yang ditakuti cambukannya atau pedangnya." (HR Ibnu Majah)

2. Yang pantas menjadi imam adalah yang pintar membaca Al- Qur’an dan lebih memahami sunnah.
Mengapa? Sebab Imam dalam sholat sangat menentukan sah tidaknya sholat tersebut. Misalnya saja, jika bacaan Qur’an sang imam tidak tepat makhroj atau tajwidnya, maka akan mempengaruhi kekhusyu’an para makmumnya Abu Mas’ud Al- Anshori menuturkan, Rosulullah saw. bersabda, "Orang yang pantas jadi imam {sholat berjamaah) ialah yang paling pandai membaca kitabullah. Jika ternyata mereka sama pandai, maka yang paling alim (mengerti) tentang sunnah. Jika ternyata mereka sama alim, maka yang paling dahulu hijrah. Jika ternyata mereka bersamaan pula hijrahnya, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah kamu menjadi imam dalam wilayah kekuasaan orang lain, dan janganlah pula duduk di tempat yang disediakan khusus untuk kemuliaan seseorang kecuali dengan izinnya." (HR Muslim)

3. Imam haruslah orang yang baik.
Maksud kata "baik" di sini adalah merujuk pada akhlaknya, baik tutur katanya maupun tindakannya. Jika orang yang jadi imam kurang baik akhlaknya, sekalipun ’alim akan menimbul¬kan pikiran bukan-bukan pada sebagian makmum. Misalnya saja dalam diri makmum akan terlintas pikiran, "orang suka bohong atau mengingkari janji begitu dijadikan imam". Pikiran semacam itu dapat mengganggu kekhusyukan kita dalam sholat berjama’ah. Ibnu Abbas ra. menjelaskan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Pilihlah imam-imam kalian dari orang-orang baik di antara kalian, karena sesungguhnya mereka itu duta kalian, tentang apa-apa antara kalian dengan Tuhan kalian’’. (HR. Daruquthni)

4. Tamu tidak berhak menjadi imam.
Abu Athiyyah menceritakan, bahwa Malik Ibnu Huwairits selalu mendatangi mushollanya untuk mengajarkan hadits. Suatu hari saat waktu sholat tiba, Abu Athiyyah berkata kepadanya, "Majulah engkau (sebagai imam)". Malik menjawab, "Hendaklah salah seorang di antara kalian yang maju ke depan. Tahukah kalian mengapa aku tidak mau maju ke depan? Aku pernah mendengar Rosulullah sazo. bersabda: ’Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka janganlah ia mengimami mereka. Hendaklah salah seorang lelaki di antara mereka (kaum itu) yang menjadi imamnya’’. (HR. Ash-habus Sunan)
Apabila sang tamu lebih fasih bacaannya dan lebih ’alim, kemudian dipersilakan oleh tuan rumah menjadi iman, maka janganlah menolaknya. Dengan kata lain tamu itu harus mau menjadi imam karena atas permintaan tuan rumah.

5. Imam dianjurkan memeriksa barisan jama’ahnya.
Abas bin Malik ra. memberitahukan, Muhammad Rosulullah saw. apabila akan mengimami sholat melihat barisan para jama’ah di belakangnya dan bersabda, "Luruskan shof-shofkalian, karena lurusnya shof bagian dari kesempurnaan sholat". (HR. Muttafaq Alaih)

6. Imam dilarang panjangkan bacaan.
Abu Huroiroh ra. mengabarkan, Rosulullah saio. bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu mengimami sholat orang banyak, hendaklah ia memendekkan (bacaan) sholatnya, karena di antara makmum terdapat orang-orang tua dan orang yang lemah. Jika dia sholat sendiri, panjangkanlah (bacaan) sholatnya seberapa dia suka." (HR Muslim)

7. Ketika Nabi saw. berniat memanjangkan sholat.
Abu Qotadah ra. menginformasikan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Ketika aku berdiri hendak sholat, aku berniat hendak memanjangkan sholatku. Tetapi tiba-tiba terdengar olehku tangis bayi, maka kuringkaskan sholat itu. Sebab aku tidak ingin menyusahkan ibunya (yang turut bermakmum pada Nabi saw.)’’. (HR. Bukhori)
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi seandainya bayi itu menangis, kemudian sang imam memanjangkan sholatnya. Pasti tangis si bayi semakin menjadi-jadi. Tentu para jama’ah tak lagi mampu berkonsentrasi. Apalagi ibu si bayi pasti bimbang, apakah tetap melanjutkan sholatnya atau membatalkannya lalu kembali sholat sendiri.

8. Usai mengimami Nabi saw. menghadap para Jama’ah
Usai mengimami Muhammad Rosulullah saw. kadang duduk menghadap kepada para jama’ah, yang berarti membelakangi kiblat. Samurah bin Jundab ra, mengutarakan, "Apabila Nabi saw. usai mengimami, beliau menghadap kepada kami (para makmum)". (HR. Bukhori)

9. Adakalanya usai mengimami Nabi saw. menghadap kanan.
Terkadang usai mengimami Nabi Muhammad Rosulullah saw menghadap ke sebelah kanan. Itulah sebabnya sebagian sahabat jika berjama’ah senang duduk di sebelah kanan, karena bisa terlihat beliau. Al-Baro’ bin Azib ra. menyatakan, "Apabila kami bermakmum di belakang Rosulullah saw., kami senang berada di sebelah kanan beliau, sebab usai sholat beliau menghadapkan wajahnya ke arah kami". (HR. Muslim)

Kesalahan2 Makmum Dalam Sholat

Kesalahan-Kesalahan Makmum Dalam Shalat
Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari sholat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antar jamaah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tatacara sholat maka
Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari sholat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antar jamaah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tatacara sholat maka jamaah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rohmat yang Alloh turunkan kepada umat ini lewat syariat sholat berjamaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktek sholat berjamaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.

Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shof
Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya, "Sebaik-baik shof bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shof yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shof yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan." (HR. Muslim). Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shof yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan: "Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang".

Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shof. Rosululloh bersabda yang artinya, "Luruskan shof-shof kalian, karena lurusnya shof termasuk kesempurnaan sholat." (HR. Bukhori Muslim)
Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Alloh merubah kepalanya menjadi kepala keledai." (HR. Bukhori, Muslim)
"Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan." (HR. Thobroni dengan status hasan)
Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku’ maka ruku’-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian." (HR. Al Bukhori). Dari hadits ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.

Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbirotul Ihrom
Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum sholat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Sami’na wa ‘Atho’na ketika mendengar perintah untuk meluruskan shof dari imam: Sawwuu shufuufakum! Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tatacara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.

Sibuk Dengan Sholat Sunah Padahal Telah Iqomah
Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan sholat nafilah/sunnah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai sholat sunnah baru dan tidak bergabung dengan sholat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya: "Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib." (HR. Muslim)

Menarik Orang Lain di Shof Depannya Untuk Membuat Shof Baru
Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadits yang yang shohih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shof yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia sholat sendiri di shof yang baru, dan sholatnya dianggap sah karena Alloh tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Maudu’at). Wallohu A’lam.