" My Parent "

Jumat, 20 Mei 2011

Fanatisme Buta dan Dampaknya

Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selalu disakralkan.
Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
“Wa kadzaalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa qaala mutrafuuha innaa wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin wa innaa ‘ala aatsaarihim muqtaduun”;
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
“Wa idzaa qiila lahumuttabi’uu maa anzalallahu, qaaluu bal nattabi’u maa wajadnaa ‘alaihi aabaa’ana, awalaw kaanasy-syaythaanu yad’uuhum ilaa ‘adzaabis-sa’iir”;
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?(QS.Luqman:21).
“Ittabi’uu maa unzila ilaikum min rabbikum walaa tattabi’uu min duunihi awliyaa’a. Qaliilan maa tadzakkaruun”:
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya (pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).
Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyahmenjelaskan bahwa mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”, yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan, sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan (maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Wakadzalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa mutrafuuha inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”;
Kata “mutrafuuha” dalam ayat ini adalah “mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta pada umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat, sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima kebenaran.
Kaum yang mengagung-agungkan harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan oleh leluhur kami. Hal inilah yang di dalam literatur Islam disebut dengan istilah “at-taqlid al-a’maa” atau dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind obedience), yang tergolong dalam salah satu perangai kaum jahiliyah.
Adapun “at-taqlid fil khair”, yakni mengikuti dalam ruang lingkup kebaikan, dalam istilah Islam disebut Ittiba’ dan Iqtida’ yakni mengikuti dan meneladani. Sebagaimana yang termaktub dalam (QS.Yusuf:38), firman Allah SWT tentang kisah Nabi Yusuf a.s:
“Wattaba’tu millata aabaa-ii Ibraahiima wa Ishaaqa wa Ya’quuba. Maakaana lanaa an nusyrika billaahi min syai’in”;
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.”(QS.Yusuf:38).
Dan di dalam QS.At-Taubah:10
“Wassaabiquunal awwaluuna minal muhaajiriina wal anshaari walladziinat-taba’uuhum bi ihsanin, radhiyallahu ‘anhu wa radhuu ‘anhu. Wa a’adda lahum jannaatin tajrii min tahtihaal anhaaru khaalidiina fiiha abadan. Dzalikal fawzul adhziim”;
“Orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(QS.At-Taubah:100).
Maka dari itu Allah berfirman dalam hal perangai jahiliyah:
“Wa idzaa qiila lahumut-tabi’uu maa anzalallahu qaaluu bal nattabi’u maa alfayna ‘alaihi aabaa-ana awalaw kaana aabaa-uhum laa ya’qiluuna syai’an walaa yahtaduun.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tatapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?(QS.Al Baqarah: 170).
Sesungguhnya tidak akan mendatangkan maslahat (kebaikan), jika orang yang tidak berpikir dan tidak pula mendapat petunjuk (hidayah) dijadikan sebagai teladan dan panutan. Pada dasarnya teladan itu hanyalah tertuju pada orang yang mau berpikir dan mendapat hidayah. Maka dari itu, fanatisme yang berlebihan memantik untuk menolak kebenaran yang hakiki, karena pada dasarnya, kebenaran yang hakiki dan teladan yang terbaik hanya ada pada diri Rasulullah dan para pengikutnya.
2. Perangai Buruk Jahiliyah: Memutarbalikkan Fakta dan Enggan Berpikir
Allah SWT berfirman: “Qul Innamaa A’idzhukum biwaahidatin. An taquumuu lillaahi matsnaa wa furaadaa tsumma tatafakkaruu. Maa bishaahibikum min jinnatin”;
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad), tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu” (QS.Saba’: 46).
Orang-orang Jahiliyah yang mendengar ayat ini tidak mau berpikir sejenak seraya mempertimbangkan kandungan dan arti dari ayat yang menarik ini. Mereka lebih memilih untuk menjawab: “Kami telah berpegang teguh terhadap apa yang telah dilakukan oleh para leluhur kami. Kami tidak sudi mematuhi orang ini, Muhammad s.a.w.”
Demikianlah kaum jahiliyah, yang senantiasa memutarbalikkan fakta, menuding bahwa Rasulullah adalah orang gila, pendongeng sejati, dan orang yang tidak tahu diri, tanpa berpikir terlebih dahulu dan membuktikan bahwa perkataannya itu sesuai dengan realitas yang hakiki. Hal ini diakibatkan karena diri mereka yang tidak mau mendengar, tidak sudi berpikir dengan akal sehatnya, dan senantiasa menyelimuti diri mereka dengan hawa nafsu, yang mengantarkan mereka pada kesesatan yang nyata.
Maka dari itu, hendaknya ini menjadi titik sentral perhatian orang-orang yang beriman agar cermat memilah dan memilih, yang mana hidayah (petunjuk) dan yang manadhalalah (kesesatan), karena tidak sedikit kesesatan yang terbungkus oleh kamuflase hidayah. Tidak jarang orang-orang menyangka sesuatu itu hidayah (hal yang benar-benar sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh syariat), namun hakikatnya adalah kesesatan yang nyata.
Betapa banyak orang-orang Islam yang menganggap ritual 1 Muharram (penyambutan Tahun Baru Hijriyah) atau dalam istilah Jawa akrab dengan sebutan 1 Suro, yang diperingati dengan gemuruh dzikir berjamaah di mesjid, mushalla, bahkan di lapangan yang luas, sebagai hal yang syar’i, yang dituntunkan oleh Rasulullah s.a.w, padahal pada hakikatnya hal itu adalah perilaku jahiliyah (bid’ah) yang tidak ada dasar hukumnya yang bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan ada yang melakukan ritual-ritual yang dianggap sakral seperti berendam diri di sungai sedari malam hingga terbit fajar, puasa siang dan malam, dengan mengharap berkah Muharram dari Kyai Slamet, yang konon merupakan seekor sapi yang dianggap suci. Na’udzubillahi mindzaalik.
Begitu pula halnya dengan budaya yang memperlakukan kuburan atau makam dengan ritual-ritual yang tidak selazimnya. Seperti shalat di sekitar makam, memanjatkan doa dengan memohon bantuan melalui arwah si empunya makam, bahkan tidak jarang ada yang mabit (bermalam) di kuburan kyai-nya untuk menambah berkah dan kekuatan iman. Ini semua adalah warisan nenek moyang kaum jahiliyah yang telah mengakar kuat dan membudaya dalam praktek-praktek keseharian.
Hal inilah yang menjadi sebab mengapa dahulu Rasulullah s.a.w melarang para sahabat untuk berziarah kubur, sebelum akhirnya beliau me-mansukh-kan hadits itu dengan ucapan: “Inni kuntu nahaytukum ‘an ziyaaratil qubuur, fazuuruhaa fa innahaa tudzakkirukumul aakhirah”; “Sesungguhnya dahulu aku mencegahmu untuk berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah kamu, sesungguhnya hal itu akan mengingatkanmu akan kematian (kehidupan akhirat)” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad) (“Al-Ibdaa’u fi Madhaaril Ibtidaa’ ”, As-Syaikh Ali Mahfudz, Daarul Bayan Al-‘Arabi, Kairo).
Itulah beberapa praktek jahiliyah, yang hanya bersandar pada dugaan-dugaan dan hawa nafsu, yang turun temurun terwarisi dari para leluhur mereka, yang dianggap sebagai sebuah petunjuk dan tuntunan yang benar, padahal pada dasarnya adalah kesesatan yang teramat nyata.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian umat Islam, bahwa perangai Jahiliyah menganut satu kaidah (asas): “Al-Ightirar bil Aktsar”; “Tertipu oleh Kebanyakan” (deceived by the most). Mereka berhujjah bahwa yang banyak pelaku dan pengikutnya, itulah yang benar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa sesuatu itu salah (batil) karena asing (aneh) dan sedikit penganut atau pengikutnya. Itulah prinsip dasar yang mereka pegang, dan mereka suka memutarbalikkan fakta yang ada di dalam Al-Qur’an dengan menukar-nukar kandungan tafsir Al-Qur’an sekehendak hawa nafsunya.
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa kebaikan itu sedikit pengikutnya dan kesesatan itu banyak peminatnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Wa in tuthi’ aktsara man fil ardhi yudhilluuka ‘an sabiilillah. In yattabi’uuna illadzh-dzhonna wa in hum illa yakhrushuun”;
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS.Al-An’am:116).
“Wamaa wajadnaa li aktsarihim min ‘ahdin. Wa in wajadnaa aktsarahum lafaasiqiin”
“Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka berjanji. Sesungguhnya kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”(QS.Al-An’am: 102).
Nabi s.a.w bersabda: “Bada-al Islaamu ghariiban, wa saya’uudu ghariiban kamaa bada-a”; “Islam pada mulanya (hadir) dianggap sebagai hal yang aneh (asing), dan kelak ia akan kembali sebagai hal yang asing sebagaimana dahulu ia datang”. Allahu A’lam bishawaab.
Kejujuran Rasulullah

Kejujuran Rasulullah Ketika bulan Rajab hadir, nyaris seluruh umat Islam teringat akan peristiwa isra' dan mi'rajnya Rasulullah Saw. Yaitu, peristiwa hilangnya kanjeng Rasul Saw. di separuh malam dan kembali dengan membawa 'pesan' dari Sidratul Muntaha untuk menunaikan sholat lima waktu. Kejadian 'wisata' malam itu merupakan ujian untuk umat Islam. Seberapa besarkah keyakinan meraka terhadap kejujuran Rasulullah Saw. dan risalah yang dibawanya? Ya, 'wisata' itu bukan hanya bagian dari mukjizat Rasulullah, tapi juga bagian dari 'penyeleksian' keimanan umat Islam, baik mereka yang mendengar cerita Rasulullah secara langsung maupun mereka yang tak bertemu, namun hidup di zaman yang serba ingin membuktikan segala hal yang tak mungkin menurut akal mereka, tapi pernah terjadi di masa-masa sebelumnya.
Ternyata, 'penyeleksian' keimanan itu pun menuai banyak hasil. Ada yang semakin taat dan percaya kepada Rasulullah, bahkan ada yang menyatakan bahwa lebih dari itu pun mereka sangat mempercayainya. Namun, tak sedikit juga 'vonis' keras datang dengan menegaskan bahwa 'wisata' Rasulullah malam itu hanya cerita 'fiktif' belaka, sehingga mereka pun menjadi kafir. Sungguh, 'penyeleksian' keimanan yang selektif terjadi saat membawa 'pesan' shalat lima waktu.
Kini, yang perlu menjadi pusat perhatiaan umat Islam hanya satu. Yaitu, pentingnya kejujuran. Kenapa Abu Bakar begitu meyakini cerita 'wisata' Rasulullah dari Mesjdil haram ke Mesjidil Aqsha kemudian dilanjutkan naik ke langit ketujuh dengan mengenderai Buraq dan 'bertemu' dengan Allah di Sidratul Muntaha? Jawabannya hanya satu, karena 'buah' sifat jujur Rasulullah Saw.
Bukan cerita asing lagi bagaimana kejujuran Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul. Seluruh orang Quraisy bahkan Abu Jahal, pembesar suku Quraisy sekalipun sangat mengakui kejujuran Rasulullah. "Inna la nukadzdzibuka wa lakin nukadzdzibu alladzi ji 'ta bihi" (Sesungguhnya kami tidak mendustaimu, hanya saja kami mendustai ajaran yang kamu bawa)", demikian komentar Abu Jahal akan kejujuran kanjeng Rasul Saw, Muhammad bin Abdullah di hadapan suku Quraisy.

Bahkan, jika dirunut lebih jauh dan mendalam. Khadijah, isteri Rasulullah Saw. yang selalu bersamanya, sungguh, sangat mengagumi kejujuran Rasulullah. Sehingga kata-kata kekagumannya itu pun muncul bak air mengalir ketika Rasulullah menerima wahyu pertama kali, "Absyir, pa waallahi la yukhjikaallahu abadan.fa waallahi innaka latashilurrahma wa tusyaddiqol haditsa" (Bergembiralah, Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Demi Allah, seseungguhnya kamu adalah orang yang senantiasa menjalin hubungan silaturrahmi dan selalu berkata benar)", ujar Khadijah sambil menenangkan Rasulullah yang begitu ketakutakan setelah bertemu Jibril di gua Hira.
Juga, Rasulullah Saw. sendiri pun mengakui akan kejujurannya. Pengakuan itu terjadi saat Abdullah bin Umar sedang menulis hadits yang baru didengarnya dari Rasulullah, dan ingin menghapalnya. Tiba-tiba datang beberapa orang dari suku Quraisy melarang dan menahannya untuk menulis. Kemudian mereka mengatakan, "Apa benar kamu sedang menulis hadits yang kamu dengar dari Rasulullah? Bukankah Rasulullah juga manusia yang berbicara saat marah dan senang?". Abdullah bin Umar pun berhenti menulis. Dengan rasa tak puas, ia datang menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan sigap Rasulullah Saw. berkata, "Uktub, fa waalladzi nafsi biyadihi ma kharaja minni illa haqqun (Tulislah, demi diriku dalam genggaman-Nya, apapun yang kuucapkan tidak lain adalah kebenaran)".
Subhanallah, sifat jujur Rasulullah Saw. bukan saja tampak dalam kondisi serius. Saat sedang bercanda, kanjeng Rasul Saw. pun tetap konsisten berperilaku jujur. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa datang seorang wanita yang sudah lansia menemui Rasulullah dan memohon agar didoakan masuk surga. Lantas Rasulullah Saw. menjawab, "Ya umma fulan, innal jannata la tadkhullah 'ajuzun (Wahai ibu, sungguh surga itu tidak akan dimasuki wanita tua)". Kontan, wanita tua itu menangis. Kemudian Rasulullah Saw berkata kembali, "Aku mendapat kabar bahwa tidak akan masuk surga wanita yang sudah tua, karena Allah mengatakan," Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan sebaya umurmya." (Qs. Al-Waaqi'ah [56]: 35-37). Seketika itu juga wanita yang menangis tadi pun tersenyum, dan mengetauhi bahwa di dalam surga tidak ada lagi yang tua, semuanya dijadikan muda.
Karena itu, Rasulullah senantiasa mengingatkan umatnya untuk selalu berkata jujur dan menjauhi sifat dusta. Rasulullah berpesan, "Berperilaku jujurlah kamu. Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan. Kebaikan menunjukkan jalan menuju surga. Setiap manusia yang selalu berkata jujur dan memilih kejujuran hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhi kamulah sifat sombong. Sesungguhnya kesombongan itu menuntun ke arah kedurhakaan. Kedurhakaan membawa ke neraka. Setiap manusia yang selalu berbohong dan memilih kebohongan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta."
Semoga dengan memperingati momentum 'wisata' isra' dan mi'rajnya Rasulullah Saw. kita dapat menempa diri menjadi manusia yang jujur. Karena mengikuti sifat Rasulullah adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran [3] : 31). Rabbana Yahdiina

Sepuluh Tip dalam Keselamatan Gempa Bumi 
  1. Hampir semua orang yang hanya �menunduk dan berlindung� pada saat bangunan runtuh meninggal karena tertimpa runtuhan. Orang-orang yang berlindung di bawah suatu benda akan remuk badannya.
  2. Kucing, anjing dan bayi biasanya mengambil posisi meringkuk secara alami. Itu juga yang harus anda lakukan pada saat gempa. Ini adalah insting alami untuk menyelamatkan diri. Anda dapat bertahan hidup dalam ruangan yang sempit. Ambil posisi di samping suatu benda, di samping sofa, di samping benda besar yang akan remuk sedikit tapi menyisakan ruangan kosong di sebelahnya.
  3. Bangunan dari kayu adalah tipe konstruksi yang paling aman selama gempa bumi. Kayu bersifat lentur dan bergerak seiring ayunan gempa. Jika bangunan kayu ternyata tetap runtuh, banyak ruangan kosong yang aman akan terbentuk. Disamping itu, bangunan kayu memiliki sedikit konsentrasi dari bagian yang berat. Bangunan dari batu bata akan hancur berkeping-keping. Kepingan batu bata akan mengakibatkan luka badan tapi hanya sedikit yang meremukkan badan dibandingkan beton bertulang.
  4. Jika anda berada di tempat tidur pada saat gempa terjadi, berguling lah ke samping tempat tidur. Ruangan kosong yang aman akan berada di samping tempat tidur. Hotel akan memiliki tingkat keselamatan yang tinggi dengan hanya menempelkan peringatan di belakang pintu agar tamu-tamu berbaring di lantai di sebelah tempat tidur jika terjadi gempa.
  5. Jika terjadi gempa dan anda tidak dapat keluar melalui jendela atau pintu, maka berbaring lah meringkuk di sebelah sofa atau kursi besar.
  6. Hampir semua orang yang berada di belakang pintu pada saat bangunan runtuh akan meninggal. Mengapa? Jika anda berdiri di belakang pintu dan pintu tersebut rubuh ke depan atau ke belakang anda akan tertimpa langit-langit di atasnya. Jika pintu tersebut rubuh ke samping, anda akan tertimpa dan terbelah dua olehnya. Dalam kedua kasus tersebut, anda tidak akan selamat!
  7. Jangan pernah lari melalui tangga. Tangga memiliki �momen frekuensi� yang berbeda (tangga akan berayun terpisah dari bangunan utama). Tangga dan bagian lain dari bangunan akan terus-menerus berbenturan satu sama lain sampai terjadi kerusakan struktur dari tangga tersebut. Orang-orang yang lari ke tangga sebelum tangga itu rubuh akan terpotong-potong olehnya. Bahkan jika bangunan tidak runtuh, jauhi lah tangga. Tangga akan menjadi bagian bangunan yang paling mungkin untuk rusak. Bahkan jika gempa tidak meruntuhkan tangga, tangga tersebut akan runtuh juga pada saat orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Tangga tetap harus diperiksa walaupun bagian lain dari bangunan tidak rusak.
  8. Berdiri lah di dekat dinding paling luar dari bangunan atau di sebelah luarnya jika memungkinkan. Akan lebih aman untuk berada di sebelah luar bangunan daripada di dalamnya. Semakin jauh anda dari bagian luar bangunan akan semakin besar kemungkinan jalur menyelamatkan diri anda tertutup.
  9. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan akan tertimpa jika jalanan di atasnya runtuh dan meremukkan kendaraan; ini yang ternyata terjadi pada lantai-lantai jalan tol Nimitz. Korban dari gempa bumi San Fransisco semuanya bertahan di dalam kendaraan mereka dan meninggal. Mereka mungkin dapat selamat dengan keluar dari kendaraan dan berbaring di sebelah kendaraan mereka. Semua kendaraan yang hancur memiliki ruangan kosong yang aman setinggi 1 meter di sampingnya, kecuali kendaraan yang tertimpa langsung oleh kolom jalan tol.
  10. Saya menemukan, pada saat saya merangkak di bawah kantor perusahaan koran dan kantor lain yang menyimpan banyak kertas bahwa kertas tidak memadat. Ruangan kosong yang besar ditemukan di sekitar tumpukan kertas-kertas. Sumber : helpjogja.net


Beberapa Pertanyaan Sekitar Pengumpulan Al-Qur'an








Permasalahan yang mungkin sekali dihadapi dan diapungkan oleh kita
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab secara terperinci. Secara ringkas kami simpulkan sebagai berikut:
Pertama: Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan Al-Qur'an padahal masalahnya sangat baik lagi pula diwajibkan oleh Islam?
Jawabnya adalah: Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafal Al-Qur'an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushhaf yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur'an. Minat untuk menghafal dan menghayati Al-Qur'an akan berkurang karena telah ada tulisan dan terdapat dalam mushhaf-mushhaf yang dicetak untuk standar membacanya, sedangkan sebelum ada mushhaf-mushhaf mereka begitu mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur'an.
Dari segi yang lain bahwasanya Abu Bakar Siddiq adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari batasan-batasan syari'at, selalu berpegang menurut jejak-jejak Rasulullah SW, dimana ia khawatir kalau-kalau idenya itu termasuk bid'ah yang tidak dikehendaki oleh Rasul Karena itulah maka Abu Bakar mengatakan kepada Umar: "Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rasulullah SAW serta membawa kepada bid'ah.
Tetapi tatkala ia menganggap bahwa hal tersebut adalah sangat penting dan pendapat tersebut pada hakikatnya adalah merupakan suatu sarana yang amat penting demi kelestarian kitab Al-Qur'an dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan, lagi pula ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang menyalahi ketentuan dan bid'ah yang sengaja dibikin-bikin, maka ia bertekad baik untuk mengumpulkan Al-Qur'an. Akhirnya ia bisa memuaskan Zaid mengenai masalah ini sehingga Allah melapangkan dadanya dan Zaid tampil untuk melaksanakan usaha yang amat penting ini. wallahu alam.
Kedua: Kenapa Abu Bakar dalam hal ini memilih Zaid bin Tsabit dari shahabat lainnya?.
Jawabnya adalah: Zaid adalah orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur'an, ia adalah orang yang hafal Al-Qur'an, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan sajian yang terakhir dari Al-Qur'an yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah SAW.
Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang wara' (bersih dari noda), sangat besar tanggungjawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan: "Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul".
Dengan beberapa sifat dan keistimewaan di atas, Abu Bakar Shiddiq memilih dan menunjuknya sebagai pengumpul Al-Qur'an. Adapun alasan yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari kata-katanya: "Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk memindahkan sebuah bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan kepadaku ini". (Al-Hadits).
Ketiga: "Apakah yang dimaksud dengan kata-kata dalam riwayat Al-Bukhari "Sampai aku menemukan akhir surat Taubah pada Abu Khuzaemah, sedangkan pada orang lain tidak ada?.
Jawabnya adalah: Zaid r.a. tidak menemukan ayat tersebut tertulis pada mushhaf sahabat-sahabat selain dari Abi Khuzaemah al-Anshary. Bukanlah yang dimaksudkan dalam kata-kata di atas tidak ada dalam hafalan, karena Zaid sendiri hafal ayat tersebut.
Dan kebanyakan shahabatpun hafal. Hanya saja ia bermaksud hendak mengompromikan antara hafalan dan tulisan sebagaimana akan kami jelaskan (insya Allah) sekedar untuk menambah argumentasi dan data disamping sebagai rasa kehati-hatian. Dan karena langkah yang lurus tersebut maka sempurnalah pengumpulan Al-Qur'an.
Hadits Pilihan
"Bilal selalu mengumandangkan azan ketika tergelincir matahari (Zuhur). Dia tidak mengumandangkan iqamat sebelum Rasulullah saw. datang. Ketika Rasulullah saw. datang, Bilal mengumandangkan iqamat"
HR. Jabir Samurah

Isra' Mi'raj : Fase Baru Perjuangan Rasulullah SAW (II)*

Propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter makin gencar disebarluaskan oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Dia dituduh sebagai orang gila, tukang syair atau tukang utak-atik bahasa. Bahkan tuduhan tukang klenik, dukun dan tukang sihir (yang merupakan bagian dari keseharian mereka) kini dilemparkan juga ke muka Rasulullah SAW.
Gong �demokrasi terpimpin� makin berkumandang. Seleksi alam makin terbentuk. Rasulullah SAW semakin berani menorehkan garis pemisah antara kawan dengan lawan. Dengan cerdas dia merumuskan dan memetakan mana yang sosialis mana yang anti-sosial; mana yang berani membela keadilan dan mana yang menjadikan ketidakadilan sebagai motor perjuangannya. Bagi Nabi Muhammad, mereka yang hatinya sakit, masih mungkin diperbaiki dan direhabilitasi, tetapi bagi yang hatinya mati dan membeku (munafik) menjadi sulit untuk ditoleransi, karena yang menjadi roh perjuangannya cukup jelas: mengajak kepada kejahatan dan menghalang-halangi kebaikan dan perbaikan.
Barangkali diantara mereka ada yang kejangkitan penyakit narsis, lantas berpretensi seakan-akan dirinyalah yang sedang mengadakan perbaikan dan pelestarian, sedangkan Rasulullah SAW dan kawan-kawan, kerjaannya cuma bikin onar dan koar-koar di depan massa rakyat. Selain itu tuduhan sebagai tukang agitator pun bermunculan, seakan-akan Nabi Muhammad itu kerjaannya cuma mengganggu dan mengusik ketentraman warga, hingga mencerai-beraikan hubungan keluarga dan rumah-tangga, antara orang tua dengan anak-anakanya ; antara majikan dengan para buruh dan budak-budak mereka. Semua tuduhan itu disadari Nabi Muhammad dengan sepenuh hati, bahwa inilah konsekuensi dari perjuangan revolusi (rohani), yang boleh jadi seseorang terpaksa harus mengorbankan saudaranya dan keluarganya sendiri. Bahkan pada titik tertentu, kebencian dan permusuhan pun bisa dibenarkan selagi ia berfungsi demi tegaknya kebenaran dan keadilan (agama Allah).
Huru-hara dan kekacauan makin terjadi di mana-mana. Rasulullah SAW dan para sahabat mengadakan inspeksi dan pemantauan di setiap penjuru. Tentu saja banyak orang beranggapan bahwa gara-gara ulahnya Muhammad-lah yang menimbulkan terjadinya kekacauan ini. Tapi Nabi Muhammad bukanlah tipe seorang revolusioner pengecut yang mudah melepaskan tanggungjawab. Dia bukanlah tipe pemuda progresif yang mudah terjebak untuk memihak thesis, untuk kemudian berkhianat memihak anti-thesis. Dia cukup terampil mencari solusi dan penyelesaian. Intervensi kebaikan dan jiwa sosialis tak pernah luntur dalam dirinya. Sinthesis terus digali dan ditelusuri. Pada penyandang dana dan sukarelawan dikerahkan. Para sahabat menafkahkan hak-miliknya untuk mendukung dan menyemarakkan cita-cita perjuangannya. Seorang sahabat terdekat malah mengorbankan segala kekayaannya demi untuk membebaskan dan memerdekakan para budak yang teraniaya.
Masalah ekonomi akhirnya menjadi perkara serius bagi musuh-musuh Rasulullah SAW. Hak ber-usaha dan mencari nafkah semakin diganggu dan direcoki. Perdagangan dirusak, bahkan properti dan kekayaan dirampasi. Para sauadara dan kerabat terdekat dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot di mana-mana, sampai kemudian mereka dilarang keras mengadakan transaksi dan perdagangan. Komando permusuhan terus digelar, hingga mereka betul-betul terisolasi dan terkucilkan di setiap penjuru. Pemboikotan itu menjadi sah secara �konstitusional� karena telah dilegitimasi oleh para pembesar dan penguasa mereka.
Pada suatu hari ketika persediaan makanan sudah habis, dan bahan makanan sulit diperoleh, mereka pun menderita kelaparan, hingga tulang-tulang onta terpaksa direbus untuk dijadikan bubur dan sup sebagai makanan pokok sehari-hari. Tak berapa lama setelah masa pemboikotan itu, Abu Thalib sang paman yang pernah mengasuh dan menghidupinya, meninggal dunia. Tiga bulan kemudian Siti Khadijah, istri tercinta yang selama ini menjadi penunjang semangat dan penggalang dana, juga meninggal dunia.
Kesedihan dan kedukaan semakin menjadi-jadi. Dalam situasi penuh penderitaan itu tentu saja menjadi roh semangat dan sorak-sorai bagi musuh-musuhnya. Keangkuhan dan kesombongan semakin merajalela.

Kiat Bergaul antara Laki-laki dan Perempuan

Allah SWT tidak melarang suatu perbuatan apapun melainkan untuk kebaikan dan kemuliaan kita, untuk menjauhkan kita dari kerugian, bahkan untuk melindungi kita dari kehinaan dan kenistaan. Termasuk larangan untuk mendekati zina misalnya, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk." (QS Al Isra [17] : 32) 
Bukan jangan berzina, tapi jangan mendekati zina. Dengan kata lain, mendekati zina saja dilarang, apalagi berzina. Bagaimana cara untuk tidak mendekati zina ? Hal ini tentu akan sangat berkaitan dengan bagaimana cara bergaul antara laki-laki dan perempuan. Berikut ini kiat bergaul antara laki-laki dan perempuan yang bisa kita amalkan baik di sekolah, kampus, kantor, atau dimanapun kita berada. 

1.Menutup aurat
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita mukminah, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,....." (QS Al Ahzab [33] : 59)
Telah berkata Aisyah r.a, "Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar menemui Nabi saw dengan dengan memakai busana yang tipis, maka Nabi berpaling darinya dan bersabda, "Hai Asma, sesungguhnya apabila wanita itu telah baligh (sudah haidh) tidak boleh dilihat daripadanya kecuali ini dan ini", sambil mengisyaratkan pada muka dan telapak tangannya." (HR Abu Dawud).
Termasuk bagian dari penyempurnaan menutup aurat adalah menggunakan pakaian yang longgar (tidak ketat), tidak menggunakan kain yang transparan atau tipis, model dan warna pakaian pun sebaiknya tak terlalu menarik perhatian laki-laki, juga tak berlebihan dalam menggunakan wewangian.

2. Menundukkan Pandangan
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya ; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS An Nuur [24] : 30) "Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya..." (QS An Nuur [24] : 31) 

3. Tegas dalam berbicara
"Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.." (QS. Al Ahzab [33] : 32) 

4. Menjaga jarak; tidak bersentuhan
Telah berkata Aisyah r.a, "Demi Allah, sekali-kali dia (Rasul) tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) melainkan dia hanya membai�atnya (mengambil janji) dengan perkataaan." (HR Bukhari dan Ibnu Majah).

5. Tidak berikhtilath (berdua-duaan)
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan." (HR Ahmad).
Dalam hal menutup aurat dan menjaga pandangan, walau laki-laki dan perempuan keduanya harus menutup aurat dan menjaga pandangan, tapi menjaga aurat lebih diutamakan bagi wanita sedangkan menjaga pandangan lebih diutamakan bagi laki-laki. Bila para wanita menutup aurat dengan baik, mudah-mudahan upaya tersebut bisa membantu kaum lelaki yang belum mampu mengendalikan diri agar lebih terjaga pandangannya. Sebaliknya, bila kaum lelaki senantiasa menjaga pandangannya, walau ada wanita yang kurang sempurna menutup auratnya, maka tetap akan lebih sukar terlihat. 

Selain itu, sering timbul pertanyaan, apakah dalam islam boleh pacaran? Seperti kita ketahui, orang-orang yang berpacaran itu biasanya tak menjaga batas-batas pergaulan antara laki-laki dan wanita seperti diatas, tak jarang yang aktifitasnya mendekati zina atau bahkan sampai berzina. Jadi, tidak ada pacaran dalam islam. Bila niat telah lurus dan telah siap dengan resiko suka duka berumah