" My Parent "

Jumat, 20 Mei 2011

Kebijakan Moneter Rasulullah SAW

Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa mengunakan instrumen bunga sama sekali.

Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah perekonomian dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; Minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.

Lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab dikenal sebagai Jalur Dagang Selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia disebut Jalur Dagang Utara. Sedangkan antara Syam dan Yaman disebut Jalur Dagang Utara-Selatan.

Perekonomian Arab di zaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab.

Dinar dan Dirham juga dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar dan dirham.

Transaksi tidak tunai diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan promissory notes lazim digunakan. Misalnya Umar Ibnu-Khaththab ra. Beliau menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru diimpor dari Mesir ke Madinah.

Instrumen factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an, telah dikenal pula pada masa itu dengan nama al-hiwalah, tapi tentunya bebas dari unsur bunga.

Apabila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebalikanya, bila mereka mengimpor barang. Berarti dinar/dirham diekspor. Jadi dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.

Nilai emas dan perak yang terkandng di dalam dinar dan dirham, sama dengan nilai nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak ada larangan impor dirham dan dinar berarti penawaran uang elastis.

Kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas dan perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaan sehingga nilai uang stabil.

Beberapa hal di bawah ini dilarang dengan tujuan untuk menjaga kestabilan:

1. Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan untuk berjaga-jaga.

2. Penimbunan mata uang, sebagaimana dilarangnya penimbunan barang. Firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 34-35, �Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".

3. Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung diluar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.

4. Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Inilah indahnya Islam. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barang dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.

5. Segala bentuk riba dilarang, sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 278, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 

Sumber : buku ekonomi Islam

Hadits Pilihan
"Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya. "
HR. HR. Bukhari

Hadits Pilihan
"Dari Nabi saw. tentang dosa-dosa besar, beliau bersabda: Menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh manusia dan persaksian palsu"
HR. Anas ra

Hadits Pilihan
"Aku berbaiat kepada Rasulullah saw. untuk selalu mendirikan salat, memberikan zakat dan memberi nasehat baik kepada setiap muslim"
HR. Jarir bin Abdullah ra

Cinta pada Rasulullah

Mewujudkan cinta kepada Rasulullah Saw. agaknya memerlukan penyegaran kembali pada akhir-akhir ini. Cinta kepadanya merupakan tuntutan ajaran agama yang harus tertanam kokoh dalam diri setiap pribadi Muslim. Karena tidak akan dapat menggapai cinta Allah tanpa melalui “jalur” cinta Rasulullah Saw. Sebagaimana yang disitir al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 31, “ Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kamu benar-benar mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”

Rasulullah merupakan “lampu” yang ditakdirkan Allah sebagai pembimbing manusia dalam beribadah kepada-Nya. Sehingga, dengan mengikuti dan meneladani sunnah-sunnah Rasulullah serta memperbanyak shalawat kepadanya akan menghantarkan kita ke arah inti cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan ungkapan lain, hanya dengan mengaktualisasikan kecintaan kepada Rasulullah yang diiringi mengikuti segala bentuk sikap dan perbuatan yang disandarkan kepada perilakunya, barulah seorang muslim dapat dikatakan mencintai Rasulullah. Karena “terminal” akhir dari rasa cinta kepada Rasulullah adanya peningkatan kualitas diri dalam pengamalan ajaran agama yang dibawanya. Karena itu, memang, benar-benar Rasulullah seorang kekasih Allah sehingga ia berani dengan lantang berkata, “Tidak sempurna iman seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari ayahnya dan anaknya dan manusia sekalian.”(HR. Bukhari)

Pengakuan cinta kepada Rasulullah haruslah disertai perbuatan yang mencerminkan kecintaan kepadanya. Bila tidak, maka sama saja hal itu bohong adanya. Sehingga tak salah bila Hatim al-Asham mengatakan, “Siapa yang mengaku cinta kepada Rasulullah Saw. tanpa mau mengikuti perilakunya, maka ia adalah seorang pembohong.”

Ikutilah Tauladan Rasulullah


Rasulullah adalah ‘cermin’ perilaku yang mulia (khuluquhu al-Qur’an), dan bila diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan mampu menjadi penawar akan setiap persoalan yang ada. Misalnya saja, bagaimana cara Rasulullah bertoleransi, mengagas silaturrahmi antar umat, dan membina ukhuwah islamiyah di antara umat Islam. Sejatinya, inilah esensi utama yang kita ingat saat ingin menunjukkan bahwa Islam benar-benar agama penyebar kedamaian dan ketentraman (rahmatan lil ‘alamiin).

Bila ditilik sejarah, apa yang pernah terjadi pada diri kita juga pernah terjadi pada Rasulullah. Bila negara kita mengalami krisis multidimensi, di saat Rasulullah menjadi pemimpin juga pernah mengalami hal yang sama. Sejatinya, kita dapat bercermin bagaimana langkah Rasulullah mengatasi hal itu. Sayang, saat ini, umat Islam kurang bijaksana dalam menilai segala yang terjadi, baik berkaitan dengan pribadinya maupun negaranya.

Sejarah mencatat, situasi tanah Arab ketika Muhammad bin Abdullah dinobatkan menjadi rasul dalam kemerosotan yang sangat tajam. Antara satu suku dengan suku yang lain saling bermusuhan. Agama Yahudi dan Nasrani yang sebelumnya telah berkembang di benua Arab tak lagi memiliki daya untuk menahan laju kemerosotan moral. Di bidang politik, etika perpolitikan pada waktu telah diinjak-injak, sehingga kekuasaan dan kepemimpinan berdasarkan otot dan fisik. Hukum yang berlaku sama dengan hukum rimba, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Akal dan kecerdasan tidak lagi mempunyai nilai dalam menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Di bidang ekonomi, alam “penghisap” kian merebak. Yang kaya semakin menjadi-jadi menindas yang miskin, tidak ada lagi rasa kemanusian antara yang kuat dengan yang lemah.

Kemerosotan dan kerusakan yang begitu parah itu dimaktubkan Allah di dalam al-Qur’an dengan visualisasi kata-kata yang tepat, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Ar-Ruum [30]: 41)

Kata “fasad” yang digunakan dalam ayat di atas mengandung cakupan makna dan pengertian yang cukup luas. Di samping memiliki makna kerusakan juga memiliki makna kemerosotan, kebinasaan, kekejaman, kebatilan, kekejian, kehancuran dan sebagainya. Dari sekian banyaknya makna yang tersimpan dalam kata “fasad”, pada intinya menunjukkan hal yang negatip.

Kehadiran Rasulullah yang “ditugaskan” di dunia ini untuk menolong manusia dari kehancuran dan kezaliman. Karena itu, lazim buat umatnya untuk selalu meneladani dan mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah, dan sebagaimana tugas Rasulullah sebagai qudwah hasanah.

Langkah Rasulullah menyelamatkan umat

Ketika kondisi tanah Arab bagaikan hutan rimba, prioritas utama yang menjadi garapan Rasulullah dan berhasil ia “jebol” adalah bidang akidah. Karena akidah adalah sumber utama dan akar “tunggal” dari kehidupan umat. Bila kita “bolak-balik” sejarah pada waktu, pada umumnya, sebagaian besar manusia tidak lagi mempercayai bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa. Sekalipun mereka percaya kepada Allah, namun mereka serikatkan Allah dengan hal-hal yang bersifat “binasa” dalam setiap peribadatannya. Pelbagai perbuatan syirik dilakonkan masyarakat Arab pada waktu. Maka tak ayal, bila Rasulullah selama 13 tahun di Makkah memperioritaskan keimanan dan ketauhidan kepada Allah. Hanya Allah tempat meminta dan memohon pertolongan. Inilah inti “gerak” Rasulullah di awal kerasulannya.

Dengan penggusuran paham syirik dan membangun akidah salimah dengan dasar ‘permanen’, akhirnya menyampaikan Rasulullah untuk merubah pola pikir manusia sebagai langkah selanjutnya. Tauhid yang digagas laksana air yang memancarkan air jernih dan bening ditengah kehausan bangsa Arab. Gagas tauhid merupakan energi utama untuk memotivasi dan mengalirkan perubahan-perubahan dalam aspek kehidupan manusia.

Setelah akidah masyarakat Arab kembali ke “rel” yang benar. Rasulullah dengan bijaksana merubah sistem sosial yang ada pada waktu itu. Sistem pemerintahan yang diktator dan semena-mena direnovasi dengan nilai-nilai demokrasi, musyawarah dan keadilan sosial. Tidak ada lagi penindasan yang kuat terhadap yang kecil. Di mata hukum semuanya dipandang sama. Segala tindakan dan pembaharuan dalam kehidupan politik hanya merujuk kepada keputusan yang “Abadi”, al-Qur’an.

Seiring dengan perenovasian sistem politik dan kekuasaan, Rasulullah juga berhasil ‘mendobrak’ lini ekonomi pada waktu itu. Pemberantasan kemiskinan dilakukan dengan gerakan zakat “produktif”. Setiap orang diberi kebebasan dan kesempatan untuk “mengais” kekayaan dan keuntungan, namun dengan ketetapan harus mengeluarkan zakat dan infak untuk menyantuni kaum yang lemah. Sehingga hal ini juga berimbas kepada penanaman rasa persaudaraan antar sesama. Tidak ada lagi diskriminasi antar masyarakat. Yang kaya dan yang miskin berkedudukan sama di mata Allah, hanya takwa yang membedakannya.

Adapun lini terakhir yang diajarkan Rasulullah adalah penanaman akhlak. Bidang ini mampu meningkatkan perubahan yang pesat pada diri masyarakat pada waktu itu, karena Rasulullah sendiri memvisualisasikan inti-inti akhlak yang mulia itu. Dengan kekokohan bangunan akhlak yang digagas Rasulullah, lambat laun sifat-sifat tercela yang semula mendarah daging itu terlepas dan tergusur dari realitas kehidupan. Tak ada lagi ayah membunuh anak perempuannya, tidak ada perempasan harta anak yatim dan penindasan terhadap wanita.

Sungguh akhlak Rasulullah sangat tinggi dan mulia, bahkan Allah Swt. memaktubkan ketinggian akhlaknya di dalam kalam-Nya, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]: 4)

Demikianlah langkah Rasulullah merubah umat manusia. Hanya tinggal manusia yang hidup saat ini berkewajiban untuk meneladani dan mengikuti langkahnya tersebut. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita sehingga kita dapat mengikuti jejak Rasulullah dan sebagai bukti bahwa kita cinta Rasulullah Saw. “Siapa yang mencintai sunnahku, maka sungguh ia telah mencintai aku dan ia pun kelak bersamaku di surga ” (al-hadits).
Hadits Pilihan
"Rasulullah saw. pernah ditanya: Apakah amal yang paling utama? Beliau menjawab Iman kepada Allah. Orang bertanya lagi: Kemudian apa? Rasulullah saw. menjawab:Berjuang di jalan Allah. Kembali ia bertanya: Kemudian apa? Rasulullah saw. menjawab: Haji mabrur (haji yang diterima)"
HR. Abu Hurairah ra
Muhammad dalam Perspektif Al-Qur'an (Bag 3)


 Nabi yang Rahmatan Lil Alamin
Inilah yang menjadi titik perbedaan antara Nabi Muhammad s.a.w dengan nabi dan rasul pendahulunya. Bahwa nabi-nabi yang diutus sebelum turunnya risalah terakhir (Al-Qur’an), mereka diutus hanya untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad Khatamul Anbiya’ s.a.w diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Rahmatan lil ‘Aalamin, penebar rahmat dan panutan (uswatun hasanah) bagi seluruh umat manusia.“Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘aalamiin”; ”Dan tidaklah Aku mengutusmu (wahai Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”(QS.Al-Anbiya’:107).
Karakter khas dari Nabi Muhammad s.a.w ini dapat dijumpai pada QS.Al-Fath: 29.
Muhammadur-rasuulullahi walladzina ma’ahu asyiddaa-u ‘alal kuffari ruhamaa’u baynahum”
Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang sesama mereka”.
Adapun rahmat terkhusus yang telah Allah berikan kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah sifatnya yang lembut terhadap orang-orang mukmin. “Bilmukminiina rauufur rahiim”; “(Dan dia Muhammad) terhadap orang-orang yang beriman bersikap lembut lagi penuh kasih sayang”. (QS.At-Taubah:128).
Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum. Walaw kunta fadzh-dzhan ghaliidzhal qalbi lanfandh-dhuu min hawlik. Fa’fu ‘anhum”
Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka” (QS.Ali Imran:159).
Seperti dalam hal ibadah, beliau tidak ingin memberatkan umatnya dalam hal mengerjakan amal ibadah. Sebagaimana kisah dalam sebuah hadits: Suatu ketika datang tiga orang sahabat mengunjungi rumah-rumah istri-istri nabi s.a.w, menanyakan perihal ibadah nabi. Ketika istri-istri itu bercerita tentang realita dan cara ibadah Nabi, mereka (tiga sahabat ini) terheran-heran, karena ibadah nabi ternyata tidak sebanyak yang mereka bayangkan”. Lalu mereka berkata: “Kita ini apa dibandingkan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dosa-dosa yang telah berlalu maupun yang akan datang”. Kemudian mereka membuat opsi masing-masing untuk mengerjakan amal ibadah. Salah satu dari mereka berkata: “Aku akan melakukan shalat semalam suntuk selamanya”. Lalu yang lain berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa, dan tidak akan berhenti (berbuka). Sedangkan yang lain lagi berkata: “Aku akan menjauhkan diri dari perempuan dan aku tidak akan menikah sepanjang hidupku”. Kemudian datanglah Rasul kepada mereka seraya menegur mereka: “Antumulladziina qultum kadza wa kadza? Amma wallahi inni la akhsyaakum lillahi wa atqaakum lahu, lakinnii ashuumu wa ufthiru, wa ushalli wa arqudu, wa atazawwajun-nisaa’a. Faman raghiba ‘an sunnatii falaisa minni”
Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Ketahuilah, bahwa aku (Muhammad) adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kamu dan yang paling bertakwa, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku menegakkan shalat dan tidur, dan aku menikahi perempuan. Maka barang siapa yang benci akan sunnah-ku, maka tidaklah ia termasuk golonganku”(Hadits Muttafaq ‘Alaihi).
Itulah salah satu bukti dari dakwah Muhammad s.a.w yang bersendikan rahmatan lil ‘aalamin, mengedepankan rasionalitas dan kemanusiaan, mementingkan kualitas ibadah, daripada kuantitasnya, yang semua itu berjalan di atas “rel” sunnatullah, yang senantiasa mempertimbangkan kodrat dan potensi manusia.
Sedangkan dalam hal menerapkan hukuman (sangsi), beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bukanlah pribadi yang gegabah dan eksekutor yang kejam. Beliau senantiasa melakukan investigasi yang runtut dan menilik sebab dengan cermat. Sekali lagi, proporsi rahmat dalam hal ini menempati peringkat utama dalam beliau merealisir sangsi kepada siapapun juga yang melanggar tatanan agama.
Seperti kebijakan beliau dalam menerapkan hukuman zina bagi pelaku yang mengakui perbuatannya, yang dapat kita jumpai dalam berbagai hadits shahih. Hadits yang paling populer adalah kisah seorang wanita Ghamidy yang sedang hamil akibat berzina. Suatu ketika ia datang kepada Nabi s.a.w mengakui apa yang telah diperbuatnya dan berharap dengan penuh harapan agar Nabi sudi merajamnya dengan bebatuan hingga maut menjemputnya. Lalu Nabi menangguhkannya sampai ia melahirkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Setelah tuntas dirinya melahirkan jabang bayi dari rahimnya, perempuan itu kembali mendatangi Nabi dengan permintaan yang sama seperti saat pertama kali ia datang. Kemudian Nabi kembali menangguhkannya seraya mengatakan: “Sapihlah bayimu itu hingga dua tahun”. Hingga ketika tiba waktunya Khalid bin Walid hendak merajamnya, Rasulullah mencegahnya sembari berkata: “Tenanglah wahai Khalid, sesungguhnya wanita itu telah bertaubat dari kesalahannya, jika engkau takut akan reaksi penduduk Madinah (akan hal ini), aku akan luluhkan hati mereka”.
Inilah sebuah kesaksian, bahwa Nabi Muhammad tidaklah menerapkan hukum dengan tergesa-gesa, beliau selalu mempertimbangkan sisi lain dari sekedar kesalahan dan dosa yang telah diperbuat umatnya. Beliau selalu menempatkan logika akal sehat dan memperhitungkan sisi psikologis dari si pelaku dosa tersebut, sekalipun umatnya mengerjakan dosa besar. Dalam kasus tersebut di atas, tampak jelas bahwa wanita yang berzina tadi pada dasarnya hatinya begitu kaya keimanan, akan tetapi jiwanya tergoncang lemah pada saat itu, dan kakinya terperosok pada lembah dosa. Maka layaklah ia mendapatkan rahmat Nabi. Karena sudah menjadi tabiat Nabi Muhammad s.a.w, berlemah lembut dan berkasih sayang terhadap orang-orang yang beriman.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bilmukminiina ra’uufur rahiim” ; “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat rasanya olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselematan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman”(QS.At-Taubah:128).
Itulah diantara samudera akhlak yang dimiliki oleh seorang Muhammad s.a.w, sosok yang jujur, terpercaya, tegas dan cerdas, yang telah mendapat kedudukan yang istimewa di sisi Allah. Namanya bersanding dengan nama Tuhan semesta alam dalam dua kalimat syahadat, sebagai gerbang persaksian dan identitas keislaman setiap hamba.
Keikhlasannya dalam mengentaskan segala bentuk kezaliman, memancing gairah para penyair untuk menghadirkan sosoknya dalam untaian sajak-sajak yang indah. Sebagaimana sepotong sajak Amir Muhammad Buhairi, dalam karyanya “Raj’atul Hadi”(Kembalinya Sang Pembawa Hidayah):
Law raja’al haadi ila qawmihi Lakaana hadzal ‘ashru azhal ‘ushuur,
Yuthlaqu fiihil haqqu min sijnihi Fayamla’ul kauna jamaalun wa nuur”
Andaikan saja Al-Hadi (Muhammad s.a.w) pulang kembali di tengah kaumnya, niscaya zaman ini akan menjadi zaman yang paling mengagumkan. Ketika kebenaran dibebaskan dari penjaranya, maka dunia ini akan terisi oleh keindahan dan cahaya”.
Allahu A’lam bis-shawab.