" My Parent "

Sabtu, 14 Mei 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pendamai Kaum Quraisy



REPUBLIKA.CO.ID, Dari pernikahannya dengan Khadijah, ia memperoleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian  kedua anaknya, Al-Qasim  dan  Abdullah menimbulkan kedukaan yang begitu dalam. Anak-anaknya yang masih hidup semua perempuan.

Muhammad yang telah mendapat karunia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah, berada dalam kedudukan tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Makkah memandangnya dengan rasa kagum dan hormat. Bicaranya sedikit, ia lebih banyak mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu, ia tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau. Tapi yang  dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. 

Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya tampak sedikit berkeringat. Ia bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi ia juga berkemauan keras, tegas  dan tak pernah ragu-ragu dalam mencapai tujuannya.

Sifat-sifat yang demikian berpadu dalam dirinya dan meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang  melihatnya  tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Makkah tidak terputus,  juga partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah lapuk.

Sudut-sudut Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian. Tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak  melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, khawatir  akan  mendapat  bencana. Kemudian Walid bin Mughirah tampil ke depan  dengan  sedikit takut-takut. Setelah berdoa kepada  dewa-dewanya, ia mulai merombak bagian sudut selatan.

Orang-orang kemudian menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti  terhadap Al-Walid. Namun ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka pun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Tiba  saatnya meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya.

Abu Umayyah bin Mughirah dari Banu Makhzum, adalah orang  yang tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah melihat keadaan demikian, ia berkata, "Serahkanlah putusan ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."

Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru, "Ini Al-Amin, kami dapat menerima keputusannya."

Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya.  Muhammad mendengarkan  dan melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan. Ia berpikir sebentar, lalu berkata,  "Kemarikan sehelai  kain!" 

Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu  itu  lalu diletakkannya  dengan tangannya sendiri, kemudian berkata, "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk  Makkah  dalam  kehidupan masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; dan telah melahirkan anak-anak seperti: Al-Qasim dan Abdullah, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Tentang Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliyah dan tidak meninggalkan sesuatu  yang  patut  dicatat. Muhammad juga merasa sangat sedih ketika kemudian anaknya, Ibrahim, meninggal pula.

Ketika Zaid bin Haritsah didatangkan, dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya   kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang  menyebutnya  Zaid  bin Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. 

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pemilik Gelar Al-Amin


REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia  dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga,  kadang  pergi  bersama  mereka   ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz,  mendengarkan sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh penyair-penyair Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat. 

Ia mendambakan cahaya hidup yang  akan lahir dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan  kejujuran  hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan  kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia  menyebutkan  saat-saat yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing. Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala  kambing keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam  pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. 

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam  perbuatan  dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta  kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang  membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya.  Dan memang  tidak  pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari  segala  pengaruh materi. 

Bukankah  dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan  serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama  hidupnya.
Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.

Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang  berpunya.  Keadaan makin menekan  kita juga. Aku mendengar,  bahwa  Khadijah mengupah orang dengan dua ekor  anak  unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan  menceritakan peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara,  budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat   menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan  kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar  memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih  menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara   berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Makkah. Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman rumahnya,  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta  laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah  gembira dan  tertarik  sekali  mendengarkan. 

Sesudah  itu,  Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah  pengetahuan  Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik  juga hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa  binti  Munya—kata  sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan  kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."

Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak  lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.

Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya sudah meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sang Calon Nabi


REPUBLIKA.CO.ID, Dua tahun lagi anak itu tinggal  di  sahara,  menikmati  udara pedalaman  yang  jernih  dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai  tiga tahun, ketika itulah  terjadi  cerita  yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara  ia  dengan  saudaranya  yang  sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki  berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri.  Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah  itu, dibawanya  anak  itu  kembali  kepada  ibunya  di Makkah.

Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya  hati-hati  sekali  dan   mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika  ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia  memerhatikan Muhammad  dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. 

Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di  negeri  kami. Anak  ini  akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."

Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri  dari mereka  dengan  membawa  anak  itu.

Baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan menganggap sumber  itu lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu.

Akan tetapi sumber-sumber itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah Keluarga Sa'ad itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu, beberapa  penulis berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

Dalam hal ini, Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan  pada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf. Dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu  kesehatannya  ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.

Barangkali yang lain pun  akan mengatakan, baginya  tidak diperlukan  lagi  akan  ada  yang harus membelah perut atau dadanya. Sebab sejak dilahirkan, Tuhan sudah  mempersiapkannya supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat  yang berbunyi, "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (QS Al-Insyirah: 1-3).

Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan) dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.

Dengan  demikian,  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa  yang  diminta  oleh Al-Qur'an supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian,  "Aku  yang  paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Terpuji Bagi Tuhan


REPUBLIKA.CO.ID, Aminah pun hamil, dan kemudian, seperti  wanita  lain ia pun melahirkan. Selesai  bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib  di  Ka'bah,  bahwa  ia   melahirkan   seorang  anak laki-laki. 

Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu  dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad.

Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya  bayi  itu  kepada  ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya  dari  Keluarga Sa'ad (Banu  Sa'ad),  untuk  kemudian  menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Makkah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi).  Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu  limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari  atau  beberapa  bulan  atau  juga beberapa  tahun  sesudah  Tahun  Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada  juga  yang  menaksir  sampai  tujuhpuluh tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang  berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Perbedaan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua  Rabiul  Awal,  atau malam   kedelapan,   atau   kesembilan.  Tetapi  pada  umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas  Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Pada  hari  ketujuh  kelahirannya  itu  Abdul Muthalib   minta disembelihkan   unta.   Hal  ini  kemudian  dilakukan  dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa  anak  itu  diberi  nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek  moyang.  "Kuinginkan dia akan menjadi  orang  yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.

Aminah masih menunggu  akan  menyerahkan  anaknya  itu  kepada salah  seorang  Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan  bangsawan-bangsawan  Arab di    Makkah.  Adat   demikian   ini   masih   berlaku pada bangsawan-bangsawan Makkah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan  anak  itu pun  dikirimkan  ke  pedalaman  dan  baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun.  Di  kalangan  kabilah-kabilah  pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.

Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi  mereka  adalah  saudara susuan.

Akhirnya  datang  juga  wanita-wanita  Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan itu ke Makkah. Mereka memang mencari bayi yang  akan mereka  susukan.  Akan  tetapi  mereka menghindari  anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa  dari sang  ayah. 

Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu, di antara  mereka  itu tak  ada  yang  mau  mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

Akan tetapi Halimah binti Abi Dzua'ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi  lain  sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang  wanita  yang  kurang  mampu,  ibu-ibu  lain pun  tidak menghiraukannya.

Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah. Halimah berkata kepada Harits bin Abdul Uzza suaminya, "Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab  suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita."

Halimah  kemudian  mengambil  Muhammad  dan  dibawanya pergi bersama-sama   dengan  teman-temannya   ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa  mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan  susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara,  disusukan  oleh Halimah  dan  diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang  kasar  menyebabkannya  cepat  sekali menjadi  besar,  dan  menambah  indah  bentuk  dan pertumbuhan badannya.

Setelah cukup dua tahun dan  tiba  masanya  disapih, Halimah  membawa  anak  itu  kepada  ibunya  dan  sesudah  itu membawanya kembali ke pedalaman.  Hal  ini  dilakukan  karena kehendak  ibunya,  kata sebuah keterangan. Dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih  matang,  juga  memang  dikhawatirkan adanya serangan wabah Makkah.

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Ditinggal Orang-Orang Terkasih



REPUBLIKA.CO.ID, Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang  indah  dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya, tempat dia  menumpahkan  rasa  kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.

Sesudah  lima  tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu  diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap  akan  pulang. Ia  dan  rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai  di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Ummu  Aiman  dibawa  pulang  ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan  menjadi  anak  yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh  yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal, dalam  usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan  tahun. Sekali lagi  Muhammad  dirundung kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia, sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu  Thalib,  sekalipun  dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harits, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu, ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai  perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan  kalau Abdul Muthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepadanya.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul Muthalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah  yang lebih menarik hati pamannya.

Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan—ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun—mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad. Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan menemani pamannya  itu. Hal inilah yang menghilangkan  sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan terlampau  dalam  memasuki  daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan berbuat jahat terhadap dia.

Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak  sekalipun dengan harta yang tidak  seberapa.

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Para Muslim Pelopor



REPUBLIKA.CO.ID, Ali  adalah  anak  pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid bin Haritsah, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan  keluarga  Rasulullah:  beliau sendiri, isterinya, keponakannya  dan  bekas  budaknya. 

Pada waktu itu, Abu Bakar bin Abi Quhafah dari kabilah Taim adalah teman akrab Nabi SAW. Abu Bakar senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya Muhammad sebagai orang  yang  bersih,  jujur  dan dapat  dipercaya.  Oleh  karena  itu, Abu Bakar adalah orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah   Yang Esa dan meninggalkan penyembahan  berhala.

Abu Bakar kemudian mengajak Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin  Abi  Waqqash dan  Zubair bin Awwam untuk memeluk  Islam.  Kemudian menyusul pula Abu Ubaidah bin Jarrah, dan banyak lagi yang lain dari  penduduk Makkah. Mereka, Assabiqunal Awwalun, (para Muslim pelopor) selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama Islam dari Nabi sendiri.
 
Mengetahui  adanya  permusuhan  yang  begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisme, maka kaum Muslimin masih sembunyi-sembunyi. Apabila akan melakukan  shalat,  mereka  pergi  ke  celah-celah gunung  di  Makkah. Keadaan ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam kian meluas di kalangan penduduk Makkah. Wahyu  yang  datang  kepada Nabi  Muhammad selama itu makin memperkuat keimanan kaum Muslimin.

Sebenarnya, yang kian menambah pesatnya perkembangan dakwah Islam adalah teladan baik yang diberikan Rasulullah. Beliau adalah sosok yang penuh bakti dan kasih sayang, sangat  rendah  hati  dan  tegas. Tutur katanya  lemah-lembut  dan  selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. 

Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Makkah yang sudah mengenal arti kesucian, menyadari arti kebenaran, pengampunan dan rahmat; beriman kepada ajaran Muhammad SAW. Semua kaum yang  lemah, sengsara dan tidak berpunya, beriman kepadanya. Ajaran Islam tersebar di Makkah, orang berbondong-bondong memeluk agama ini, pria dan wanita.

Tiga  tahun  kemudian  sesudah  kerasulannya,  perintah  Allah datang  supaya beliau mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah  Allah  supaya  disampaikan. Ketika  itu  wahyu datang: "Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih sayang  kepada  orang-orang  beriman  yang mengikuti kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu." (QS Asy-Syuara'a: 214-216).

"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kau hiraukan orang-orang musyrik itu." (QS Al-Hijr: 94).

Rasulullah pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya untuk bicara dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, menghentikan pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya, Rasulullah mengundang mereka kembali.
Selesai  makan, Nabi SAW berkata kepada mereka, "Aku tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan  sesuatu ke  tengah-tengah  mereka  lebih baik dari yang kubawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan  kepada  kamu  dunia  dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?"

Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Namun tiba-tiba Ali—yang kala itu masik kanak-kanak—bangkit berdiri. "Wahai Rasulullah,  saya akan membantumu,"  katanya.  "Saya adalah lawan siapa saja yang kau tentang."

Bani Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak.  Mata  mereka  berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka  semua  pergi  meninggalkannya dengan ejekan.

Setelah itu, Rasulullah mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarga yang dekat kepada seluruh penduduk Makkah. Suatu hari beliau naik ke bukit Shafa dan berseru, "Hai masyarakat Quraisy."

Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"

"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan bahwa pada  permukaan  bukit  ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"

"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak  pernah  disangsikan.  Belum pernah kami melihat engkau berdusta."

"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," kata Rasulullah. "Wahai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdi Manaf, Bani  Zuhrah,  Bani  Taim,  Bani Makhzum dan Bani Asad, Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan  yang  dapat kuberikan  kepada  kamu,  selain  mengatakan, "Tidak ada tuhan selain Allah."

Abu Lahab, pamannya sendiri, kemudian berdiri sambil berteriak, "Celaka kau hari ini!  Untuk  inikah  kau  kumpulkan kami?"

Nabi SAW  tak  mampu berkata-kata.  Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu Allah: "Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia.  Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya..." (QS Al-Masad: 1-4).

Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak  dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Makkah. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang berislam—menyerahkan diri kepada Allah.

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pembelaan Sang Paman



REPUBLIKA.CO.ID, Abu  Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, mulai merasakan bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Mereka menyerang Rasulullah dengan cara mendiskreditkan dan mendustakan risalah kenabian beliau.

Langkah  pertama  yang  mereka  lakukan  dalam  hal  ini ialah membujuk penyair-penyair mereka; Abu Sufyan bin Al-Harits, Amr bin Ash dan Abdullah  bin Ziba'rah,  supaya mengejek dan menyerangnya. Penyair-penyair Muslim pun tampil membalas  serangan mereka tanpa harus dilayani oleh Nabi SAW.

Selain penyair-penyair itu, beberapa orang tampil pula meminta Muhammad menunjukkan beberapa mukjizat dapat membuktikan kerasulannya; mukjizat seperti pada Musa dan Isa. Kenapa bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan  kitab  yang  dibicarakannya  itu dalam  bentuk  tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak  muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

Debat mereka itu berkepanjangan. Turunlah wahyu yang menjawab debat mereka: “Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-A’raaf: 188).

Ya, Muhammad SAW hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan  hal-hal  yang  tak masuk  akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal? Bagaimana pula mereka  masih  menuntutnya  dengan  beberapa mukjizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang  menunjukkan jalan yang  benar itu adalah mukjizat dari segala mukjizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti mereka pun akan ragu-ragu lagi?

Dan yang mereka katakan tuhan-tuhan itu, tidak lebih dari batu atau kayu yang disangga, atau berhala-berhala yang tidak dapat membawa  kebaikan ataupun  menolak bahaya. Sungguhpun  begitu  mereka  menyembahnya  juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya.

Abu Talib, paman Rasul, belum lagi menganut Islam. Namun ia tetap sebagai pelindung  dan  penjaga  keponakannya  itu.  Ia  sudah menyatakan kesediaan akan  membelanya. Atas dasar itulah pemuka-pemuka Quraisy—dengan diketahui  oleh Abu Sufyan bin Harb—pergi menemui Abu Talib.

"Abu  Talib,"  kata  mereka,  "Kemenakanmu  itu  sudah  memaki berhala-berhala kita, mencela  agama  kita, dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Sekarang kau harus hentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami, maka cukuplah engkau dari pihak kami yang menghadapinya."

Akan  tetapi  Abu  Talib  menjawab  mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad  juga  tetap  gigih  menjalankan  tugas dakwahnya dan mendapat pengikut bertambah banyak. Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Namun ia tetap menolak. Muhammad  SAW terus berdakwah, dan Quraisy juga terus berkomplot.

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi Abu Talib. "Abu  Talib," kata mereka,  "Engkau  sebagai  orang  yang terhormat, terpandang  di  kalangan  kami.  Kami  telah  minta supaya  menghentikan  kemenakanmu itu, tapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang  kita, dan mencela berhala-berhala kita. Sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita  lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa."

Berat sekali bagi Abu  Talib untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat keponakannya itu kecewa.   Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. "Jagalah  aku,  begitu  juga  dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul," ujarnya.

"Paman, kata Rasulullah tegas, “Demi  Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan rembulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya."

Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad. Ternyata ia berdiri di hadapan kekuatan kudus dan kemauan yang begitu tinggi—di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.

Sekian lamanya Abu Talib dalam keadaan  terpesona. Ia dilanda kebingungan akibat tekanan masyarakatnya dan sikap keponakannya itu. Tetapi kemudian ia berkata, "Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau walau bagaimanapun juga!"