" My Parent "

Jumat, 06 Mei 2011

Qiyas

Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam  
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur'an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(an-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:
Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ': 36)
b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:
Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
4. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
  1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
  2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
  3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
  4. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
  • Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
  • Fara', ialah menjual harta anak yatim.
  • Hukum ashal, ialah haram.
  • 'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
5. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
  1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas.
  2. 'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
  3. Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
    Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
    1. 'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
    2. Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka 'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
  1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
  2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
  3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
  4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
3. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma' yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
  1. Munasabah
  2. Assabru wa taqsîm
  3. Tanqîhul manath
  4. Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûlmerupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan 'illat untuk memerdekakan budak.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
"...dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
b. Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
c. Dengan penelitian
Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1. Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubunganya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkat dharuri (yang harus ada);
b. Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan
c. Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).
Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a. Tingkat dharuri
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu, ialah:
  • Memelihara agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
  • Memelihara jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash dan sebagainya.
  • Memelihara akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
  • Memelihara keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
  • Memelihara harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
b. Tingkat haji
Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
  • Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
  • Mu'amalat, seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
  • Adat, seperti boleh berburu.
c. Tingkat tahsini
Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Diantara contoh taksini ialah:
  • Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
  • Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
  • Mu'amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.
2. Assabru wa taqsim
As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa taqsim adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:
Artinya
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi Belanda dengan padi Belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan kontan." (HR. Muslim)
Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum. Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam yang lain. Pada emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi Belanda dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran, mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.
b. Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
3. Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ' diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh dari hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
4. Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah 'illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika 'illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.
6. Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.
a. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. "IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
b. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
c. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

Sejarah Perkembangan Fiqh

Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
  1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW. 
    Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
  2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing. 
    Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
  3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut. 
    Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). 
    Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirahahlulhadits
    Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
    Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri. 
  4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. 
    Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
    Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yisangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis). 
    Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yiberupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliranahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
    Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. 
    Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayahdan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kiasistihsan, dan al-maslahah al-mursalah
  5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. 
     
    Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
    • Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
    • Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikapkejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
    • Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
    Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab. 
  6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
    Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar(terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
     
    Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
    • Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
    • Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
    • Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
  • Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalamal-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imamal-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil. 

Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
Kiat Memiliki Anak Sehat

Kiat Memiliki Anak Sehat
SETIAP orang tua pasti menginginkan memiliki Anak yang sehat. Bila anak kita sehat, maka pikiran dan hati kita pun akan tenang dalam melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaan. Namun tubuh anak masih sangatlah lemah, dan masih rentan terkena virus dan bibit penyakit. Saya akan memberikan beberapa kiat-kiat agar kita semua memiliki anak yang sehat.
1. Makanan Lezat dan Bergizi
Saat kita berbicara tentang makanan, kita akan menghadapi dua dilema. Makanan lezat atau bergizi? Banyak sekali di luar sana berbagai macam makanan yang enak. Tidak jarang buah hati kita pun mengonsumsinya, bila kita tidak memberikan perhatian yang ekstra. Di sisi lain, banyak pula makanan yang bergizi, namun memiliki rasa yang tidak enak. Makanan sejenis ini, biasanya tidak disukai oleh buah hati kita.
Sebagai orang tua, kita harus belajar memasak makanan yang lezat dan bergizi pula. Hal ini sangat penting, agar buah hati kita terbiasa memakan makanan yang kita masak sendiri, dan tidak mudah tertarik untuk membeli makanan yang banyak dijual di sekolah-sekolah. Untuk menemukan resep makanan yang lezat dan bergizi anda bisa berkonsultasi dengan ahli gizi, menemukan resep makanan di majalah-majalah bayi, atau menemukan di situs-situs ibu dan anak.
2. Cek kesehatan Secara Rutin
Bila buah hati anda masih bayi, kita bisa mengikuti program imunisasi yang banyak di adakan di tingkat RT dan RW. Kita juga bisa memeriksakan kesehatan buah hati kita di rumah sakit terdekat. Jangan lupa untuk meminta vaksinasi untuk buah hati kita, supaya buah hati kita terhindar dari berbagai macam penyakit menular.
3. Kegiatan Berolahraga
Selain di sekolah, akan lebih baik lagi bila buah hati kita dilatih untuk berolahraga. Kita bisa melakukan kegiatan ini dengan cara berjalan-jalan keliling kota di setiap hari Minggu. Kita juga bisa melakukannya dengan cara bersepeda bersama keliling kampong. Bila memungkinkan, kita juga bisa membelikan berbagai macam peralatan olahraga. Hal ini dilakukan agar buah hati kita juga bisa berolahraga meski berada di dalam rumah.
4. Waktu Istirahat
Kita harus mengatur waktu istirahat buat buah hati kita. Hal ini sangat penting, agar buah hati kita bisa melakukan segala aktivitas dengan baik. Jangan sampai buah hati kita melakukan aktivitas-aktivitas penting dalam keadaan lelah. Misalnya, capek dalam belajar. Waktu istirahat ini juga sangat penting untuk menghindari kesulitan berkonsentrasi saat belajar di sekolah. Pastikan bahwa buah hati kita memiliki waktu untuk melakukan tidur siang yang cukup, dan tidak melakukan tidur terlalu malam.
5. Perhatian Dan Kasih Sayang
Perhatian dan kasih sayang sangat mempengaruhi kesehatan buah hati kita. Bila kita terlalu sibuk dengan pekerjaan kita, sehingga kurang memperhatikan buah hati kita, maka buah hati kita pun akan seenaknya sendiri dalam menentukan waktu istirahat dan makan. Hal ini bisa mengakibatkan buah hati kita mudah terserang penyakit. Secara psikologis, kurangnya perhatian juga bisa mengakibatkan anak menjadi mudah stress. Keadaan ini bisa membuat buah hati kita memiliki keadaan fisik yang lemah, dan mudah terserang penyakit.
6. Banyak Minum Air Putih
Air putih sangat bermanfaat bagi kebugaran tubuh buah hati kita. Minimal, buah hati kita minum air putih sebanyak 8 gelas dalam sehari. Hal ini juga bermanfaat agar buah hati kita terhindar dari serangan penyakit ginjal di masa depannya.
7. Mengajak Bermain dan Bertamasya
Bermain dan bertamasya sangat penting bagi anak, apalagi bila dilakukan oleh semua anggota keluarga secara bersama. Hal ini bisa membuat anak merasa bahagia berada di tengah keluarga dan di rumah, sehingga buah hati kita pun tidak akan mudah stress, dan bisa merilekskan diri dari kesibukan-kesibukan yang berhubungan dengan akademis/sekolah.
8. Rajin Menggosok Gigi
Memiliki gigi sehat, sangat penting bagi anak. Kalau gigi sakit dan gampang keropos, tentu saja sangat mengganggu dalam beraktivitas, terutama saat belajar. Sikat gigi yang baik minimal 2 kali sehari, setelah sarapan dan sebelum tidur.
Sumber: bayisehat.com