Kupersembahkan kepada :
Ø Ayahanda Dan Ibunda Tercinta yang
senantiasa mendukung dan mendo’akanku
Ø Istri dan anak-anakku tercinta
Ø Saudara-saudaraku tercinta yang mengharapkan
keberhasilanku
Ø Sahabat-sahabatku yang selalu bersama
dalam suka dan duka ; dan
Ø Orang-orang yang mendo’akan keberhasilan
dan kelulusanku
Motto
“Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu
adalah lumpuh” (Albert
Enstein).
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana ( S I ) pada Program
Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sriwijaya.
Dengan selesainya penulisan
skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Syafruddin Yusuf,
M.Pd dan Drs. Supriyanto, M.Hum, sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Drs. Tatang Suhery M.A., Ph.D, Dekan FKIP UNSRI, Ibu
Dra. Hj. Yulia Djahir, MM., Ketua Jurusan Pendidikan IPS, dan Bapak Drs.
Syafruddin Yusuf, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikann Sejarah, yang telah
memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNSRI,
Bapak Drs. Anhar, MBA,MM., selaku Kepala Perpustakaan Daerah Kabupaten Lahat,
Istri tercinta serta teman-teman yang telah memberikan bantuannya sehingga
skripsi ini dapat penulis selesaikan.
Mudah-mudahan skripsi ini
dapat bermanfaat untuk pengajaran bidang Studi Sejarah di sekolah menengah dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Palembang, Desember 2005
Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO.................................................
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................
ABSTRAK..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................
1.1 Latar belakang..................................................................................................
1.2 Alasan pemilihan judul.....................................................................................
1.3 Rumusan masalah.............................................................................................
1.4 Tujuan penelitian..............................................................................................
1.5 Manfaat penelitian...........................................................................................
BAB II KONDISI POLITIK DI INDONESIA AWAL ABAD 20
.................
2.1 Munculnya Pergerakan Politik di Indonesia
Awal Abad 20...........................
2.2 Biografi Mohammad Hatta..............................................................................
2.3 Pemikiran politik Mohammad Hatta................................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN
PENDEKATAN .................
3.1
METODOLOGI PENELITIAN...................................................................
a. Heuristik......................................................................................................
b. Interpretasi..................................................................................................
c. Historiografi................................................................................................
3.2 PENDEKATAN..............................................................................................
3.2.1
Pendekatan
Sosiologi...................................................................................
3.2.2
Pendekatan
Antropologi .............................................................................
3.2.3
Pendekatan
Politik ......................................................................................
BAB IV PERJUANGAN POLITIK MOHAMMAD HATTA (TH 1927-1945)
4.1
Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa
penjajahan Belanda............
4.1.1
Perjuangan
dengan Perhimpunan Indonesia (PI) Tahun 1926-1930 ...........
4.1.2
Perjuangan
di Indonesia (PNI-BARU) Tahun 1931-1940..........................
4.2
Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa
penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.............................................................
4.2.1
Peranan
Mohammad Hatta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.....................................................................................................................
BAB V SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
5.1 Simpulan...........................................................................................................
5.2 Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
|
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
ix
1
1
6
7
7
7
9
9
11
15
23
23
23
24
26
26
26
27
27
28
28
28
40
47
53
57
57
58
60
|
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul
“Perjuangan Politik Mohammad Hatta (Tahun 1927-1945)”. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945,
yaitu pada masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang sampai Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, bagaimana
perjuangan politik Mohammad Hatta pada masa penjajahan Belanda dan masa
penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam penulisan skripsi
ini digunakan metode historis dengan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu
heuristik, interpretasi dan historiografi, yang dilakukan melalui penelusuran
studi pustaka. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi,
antropologi dan politik.
Dari hasil penelitian,
dapat disimpulkan bahwa perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945
dimulai dari organisasi Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, gerakan ini
dilakukan para mahasiswa indonesia, diantaranya adalah Mohammad Hatta mengenai
kekejaman penjajahan, namun pemerintah Belanda menanggapi secara negatif bahkan
menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia tersebut.
Perjuangan mereka dilakukan tidak terhenti dan dilanjutkan melalui PNI-BARU.
Perjuangan oleh PNI-BARU pun mendapat tentangan yang keras bahkan
tokoh-tokohnya diinternir oleh pemerintah Belanda ke Boven Digul dan Banda
Neira. Dengan menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati maka
dengan resmi Indonesia di bawah pemerintahan Jepang dan perjuangan Mohammad
Hatta dilanjutkan melalui organisasi PUTERA, yaitu organisasi bentukan Jepang
dengan tujuan untuk membujuk kaum nasionalis Indonesia dan para pemimpinnya
sebagai alat untuk mengabdikan diri dalam usaha memenangkan perang. Pada
dasarnya Mohammad Hatta menentang setiap penjajahan, tetapi atas pertimbangan
oportunis perlu bekerjasama dengan Jepang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Detik-detik proklamasi terjadi pertentangan antara kelompok muda
(Sukarni-Chairul Saleh) yang menghendaki kemerdekaan Indoesia secara
revolusioner, sementara kelompok tua (Soekarno-Hatta) menginginkan kemerdekaan
melalui PPKI bentukan Jepang. Pemuda mengadakan pengambilan secara paksa
terhadap Soekarno- Hatta dan dibawa ke
Rengas Dengklok. Akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Timbulnya kesadaran nasional Bangsa
Indonesia
merupakan suatu gejala historis yang berkembang sebagai jawaban terhadap
kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kaum penjajah
Belanda. Banyak sekali sebab-sebab yang telah membangkitkan kesadaran nasional
Bangsa Indonesia
seperti kemenangan Jepang terhadap Rusia dalam tahun 1905. Selanjutnya gerakan
Turki Muda, Revolusi Cina dan gerakan nasional di negara-negara tetangga
seperti India dan Philipina,
yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme di Indonesia
(Sastradinata, 1986 : 1 ).
Pada permulaan abad ke 20 ini, telah timbul suatu
rasa kesadaran terhadap situasi yang terbelakang sebagai hasil dari sistem
Kolonialis Belanda. Bangsa Indonesia
perlu mengatur pergerakan secara modern untuk mewujudkan kesadarannya, baik di
bidang politik, pendidikan ekonomi, maupun sosial budaya. Organisasi yang pertama disusun dengan bentuk
modern dan yang besar artinya adalah Budi Utomo. Organisasi ini didirikan di
Jakarta tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo atas ide dari Dr. Wahidin Sudiro
Husodo. Pada awalnya Budi Utomo bersifat lokal dan sosio kultural, usaha
organisasi ini tidak berkembang di masyarakat. Setelah Budi Utomo muncul organisasi
lain yang berlatar belakang sosial ekonomi yaitu Sarekat Islam yang semula
bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan Ormas pertama di Indonesia,
organisasi ini mempunyai massa yang banyak karena berasaskan Islam. Dasar
organisasi ini adalah persatuan, sedangkan tujuannya memajukan perdagangan
Indonesia yang didasarkan pada agama Islam (Moedjanto 1988 :
27 – 29 ).
Selain organisasi Budi Utomo
dan Sarekat Islam, di negeri Belanda, didirikan suatu perkumpulan pelajar
bernama Indische Vereniging, tujuannya untuk mempererat kekeluargaan karena
merasa senasib sepenanggungan di perantauan sehingga masyarakat Belanda menaruh
simpati dan memberikan bantuan serta dukungan terhadap organisasi ini (Moedjanto
1988 : 45 ).
Pada tahun 1922 Indische Vereniging
mendapat pemimpin-pemimpin baru angkatan Mohammad Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo
Ali Sastroamijoyo dll. Mereka sepakat mengubah nama Indische Vereniging menjadi
Indonesische Vereniging (Yasni 2002:
105 ).
Pada tahun 1925 Indonesische Vereniging
berganti menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I) diantara pemimpinnya adalah
Mohammad Hatta, selain aktif di organisasi ini Mohammad Hatta memimpin organisasi
PNI Baru ( Pendidikan Nasional Indonesia ) didirikan tahun 1931. Kedua
organisasi ini bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia Karena upaya-upaya
yang dilakukan Hatta dianggap berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka
setiap kegiatan Hatta diawasi, dan pada tahun 1934 Hatta dan Syahril ditangkap
dan dibuang ke Digul kemudian tahun 1936 dipindahkan ke Banda Neira. Dengan
demikian perjuangan Hatta dan Syahrir dalam organisasi pergerakan mengalami
hambatan karena mereka ditangkap. Namun Hatta dan Syahrir tetap berjuang untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia (Ricklefs, 1991: 287).
Kemudian bertepatan dengan
tanggal 8 Desember 1941 angkatan perang Jepang secara mendadak menyerang Pearl
Harbour di kepulauan Hawai, yang merupakan pusat Angkatan Laut Amerika Serikat
untuk kawasan Samudera Pasifik. Atas kemenangan di sana Jepang juga menuju
Indonesia tanpa perlawanan yang berarti dari pemerintah Hindia Belanda,
sehingga tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara
Jepang di Kalijati (Jawa Barat) di bawah pimpinan Jenderal Hitosyi Imamura
(Indra dan Marthabaya, 1987: 25).
Kemenangan Jepang terhadap
Hindia Belanda ditunjang oleh fisik, keunggulan militer dan tekhnologi, serta
didorong oleh bangsa Indonesia yang anti terhadap penjajahan Belanda. Bangsa
Jepang menggunakan pendekatan secara propaganda yang mampu menimbulkan
kebencian terhadap kolonialisme dan bertanggung jawab untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Jepang berjanji, Indonesia akan
dimasukan dalam “Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya” di bawah pimpinan
Jepang. Kedatangan Jepang disambut dengan gembira dan diterima rakyat Indonesia
yang sangat mendambakan kemerdekaan. Untuk merealisasikan kerjasama dengan
bangsa Indonesia, Jepang mendirikan Badan Pembantu Peperangan yang dikenal
dengan “Gerakan Tiga A” (Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon
Cahaya Asia), didirikan tanggal 29 April 1942 sebagai ketua Mr. Syamsuddin.
Pergerakan Tiga A tidak berhasil menggerakan rakyat Indonesia untuk membantu
usaha Jepang, maka diganti dengan “PUTERA” (Pusat Tenaga rakyat) pada tanggal 9
Maret 1943 di bawah pimpinan “Empat Serangkai” (Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar
Dewantara dan Kiyai Haji Mas Mansur) (Materu, 1985: 123).
Empat serangkai
menjaga hubungan baiknya oleh karena itu Jepang tidak dapat mengadu domba
mereka. Di dalam PUTERA Hatta menjadi Direktur Jenderal, sedangkan pada
pemerintahan Jepang bekerja sebagai penasehat. Oleh karena itu Hatta terpaksa
membagi waktunya di kantor penasehat dan kantor PUTERA. Pada dua tempat
pekerjaan ini Hatta berusaha mengutamakan kepentingan Indonesia atau berusaha
menentang pemerintah Jepang. Oleh sebab itu semua gerak-gerik Hatta dicurigai,
bahkan secara sembunyi-sembunyi Hatta, ingin Jepang dilenyapkan (Imran, 1984:
56).
Tentara Jepang menyadari
kegiatan PUTERA lebih menguntungkan pihak Indonesia dalam mencapai kemerdekaan
bahkan membahayakan kedudukan Jepang. Maka didirikan organisasi baru bernama
“Jawa Hokokai” (Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa) tanggal 1 Maret 1944
langsung dipimpin oleh pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai merupakan organisasi pemerintah
pendudukan Jepang bertujuan membantu kelancaran perang. Dalam organisasi ini
Hatta diangkat sebagai anggota pengurus. Kerja sama dengan Jepang dilanjutkan
dengan pembentukan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)” tanggal 1 Maret 1945 bertujuan memberikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia sebagai ketua Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (Materu, 1985:
123).
Pada jaman Jepang pemimpin
rakyat Indonesia ada yang dipaksa bekerja sama dengan Jepang tetapi ada yang
anti Jepang yang mengadakan gerakan di bawah tanah. Pada tanggal 6 dan 9
Agustus 1945, kota Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh sekutu yang mengakibatkan
Jepang menyerah tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945.
Berita kekalahan Jepang oleh
pemuda merupakan kesempatan yang besar dan memberikan semangat mengambil
langkah-langkah untuk mencapai Indonesia merdeka. Kelompok pemuda yang
revolusioner dan radikal mendesak agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
secepatnya dilaksanakan sedangkan kelompok nasionalis yang lebih tua
(Soekarno-Hatta) bersikap lebih tenang dan banyak pertimbangan. Pemuda tidak
menginginkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berbau hadiah dari tentara
Jepang. Maka hari Kamis, tanggal 16 Agustus 1945, jam 04.00 pagi, Soekarno dan
Hatta dibawa sekelompok pemuda ke Rengasdengklok bertujuan memaksa Soekarno dan
Hatta melaksanakan proklamasi kemerdekaan terlepas dari pengaruh Jepang, namun
tidak berhasil. Timbul kata sepakat untuk mengembalikan Soekarno dan Hatta ke
Jakarta dan langsung mengadakan pertemuan dengan golongan pergerakan nasional
untuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rumusan naskah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan didampingi
Mohammad Hatta, pada hari Jum’at Legi tanggal 17 Agustus 1945 (Bulan Ramadhan)
pukul 10.30 waktu jaman Jepang (10.00 WIB) di rumah kediaman Soekarno, jalan
Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (Sagimun, 1989: 305).
Berdasarkan
pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sampailah cita-cita perjuangan
bangsa Indonesia yang harus dibela berdasarkan kekuasaan serta melakukan tindakan
yang nyata untuk mengisi kemerdekaan.
1.2
Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulis memilih judul
“Perjuangan Politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945”, adalah :
1. Penulis merasa terkesan dengan seorang tokoh
Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam masa perjuangan di zaman Belanda yang sangat
anti terhadap kolonialisme Belanda dan terjadi polemik pertentangan dengan Ir.
Soekarno, tetapi zaman pendudukan Jepang Beliau bekerja sama dengan Ir.
Soekarno bahkan terjadi suatu ikatan yang terkenal dengan “Dwitunggal”, sampai
bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
2. Penulis merasa terkesan dengan ketajaman analisis
Mohammad Hatta dalam melihat permasalahan politik sehingga berhasil memperkenalkan
nama “Indonesia”
dan bukan Hindia Belanda di forum internasional.
3. Penulis sebagai mahasiswa dalam menerima materi
perkuliahan kurang membahas perjuangan-perjuangan tokoh Mohammad Hatta, jadi
dalam skripsi ini, penulis mencoba mengungkapkan perjuangan politik Mohammad
Hatta tahun 1927-1945, selain untuk mempermudah pembahasan juga merupakan
puncak perjuangan politiknya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
4. Mohammad Hatta merupakan seorang tokoh,
pejuang, pemimpin, proklamator, manusia biasa serta berkepribadian tegas,
teguh, berprinsip, penyabar, jujur, pemaaf dan taat menjalankan perintah Allah.
Menurut penulis, tokoh Mohammad Hatta perlu dijadikan suri tauladan bagi
generasi penerus bangsa khususnya.
1.3
Rumusan Masalah
Dari judul yang penulis pilih,
maka permasalahan yang penulis kemukakan adalah :
1.
Bagaimana
perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda.
2.
Bagaimana
perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Agar tidak terjadi kerancuan
dalam pembahasan dan mempermudah memahami isi skripsi ini, penulis memberikan
batasan periode tahun 1927 sampai tahun 1945 yaitu :
Perjuangan politik Muhammad
Hatta dalam bidang pergerakan PI (Perhimpunan
Indonesia), PNI - BARU sampai terwujudnya kemerdekaan Indonesia pada masa
pendudukan Jepang tanggal 17 Agustus tahun1945
1.4
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah :
1. Mengetahui perjuangan politik Mohammad
Hatta masa penjajahan Belanda.
2. Mengetahui perjuangan politik Mohammad
Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
1.5
Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, manfaat yang
diharapkan yaitu :
1. Menambah pengetahuan secara teoritis
perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda.
2. Menambah pengetahuan perjuangan politik
Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
3. Dapat memberi masukan bagi peneliti –
peneliti selanjutnya.
BAB II
KONDISI POLITIK DI INDONESIA AWAL ABAD 20
Pada
bagian ini berisi munculnya pergerakan-pergerakan politik di Indonesia awal
abad 20, latar belakang kehidupan Mohammad Hatta dan pemikiran politik Mohammad Hatta. Uraian ini akan membantu dalam
memahami situasi dan kondisi sebelum munculnya perjuangan politik Mohammad
Hatta.
2.1
Munculnya Pergerakan-Pergerakan Politik di
Indonesia Awal Abad 20
Lahirnya pergerakan politik di
Indonesia merupakan salah satu gejala perwujudan gerak tumbuhnya awal kebangkitan
nasional, tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam negeri melainkan
juga dari luar negeri. Faktor luar negeri terutama kemenangan Jepang terhadap
Rusia yang merupakan bukti bahwa bangsa barat pun bisa dikalahkan oleh bangsa
timur. Di samping itu juga karena masuknya gagasan nasionalisme modern seperti
pengaruh pergerakan nasional dan modernisasi di beberapa negara Asia seperti
India, Philipina, Cina dan Turki (Sastradinata, 1986: 47).
Sehubungan dengan pengaruh
gagasan modern tersebut, maka muncul golongan terpelajar yang menjadi elite
nasional. Elite ini menyadari bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia
harus dilakukan dengan organisasi modern. Organisasi yang bersifat modern itu
antara lain Budi Utomo, yang pada awalnya hanya menitikberatkan pada kebudayaan
dan sosial saja, namun tidak memperoleh daya penarik dan dukungan kuat dari
masyarakat banyak, yang pada akhirnya berubah ke arah politik. Gerakan politik
Budi Utomo yang lebih tegas adalah turut sertanya dalam suatu fraksi pada
Volkstraad yang dinamakan radical concentratie. Pada bulan Nopember 1918
bersama-sama dengan perkumpulan-perkumpulan lainnya misalnya Sarekat Islam,
I.S.D.V dan N.I.P. Radical concentratie terdiri dari perkumpulan-perkumpulan
bangsa Indonesia dan campuran yang pada dasarnya hendak memajukan dan
mempertahankan adanya sebuah majelis nasional sebagai parlemen. Dengan
beralihnya gerakan Budi Utomo ke bidang politik, maka Budi Utomo dianggap
sebagai pelopor dari pergerakan politik, yang kemudian dilanjutkan oleh Sarekat
Islam dan Indische Partij (Sastradinata, 1986:49). Sejak lahirnya organisasi-organisasi
pergerakan modern, bangsa Indonesia memasuki era baru dalam perjuangannya.
Dalam era baru itu corak perjuangan bangsa Indonesia tidak lagi dijalankan
dengan menggunakan kekerasan senjata sebagaimana pada masa sebelum lahirnya
berbagai organisasi pergerakan tersebut, melainkan lebih menekankan perjuangan
lewat organisasi politik yang teratur. Lebih-lebih lagi, dalam era baru ini
pula mulai dirasakan timbulnya kesadaran baru dalam memahami arti pentingnya
persatuan dan kesatuan serta perjuangan serentak di berbagai daerah di seluruh
Indonesia (Wangsa Wijaya, 2002: 28).
Mohammad Hatta adalah salah
seorang dari sekian banyak pemimpin bangsa Indonesia yang dilahirkan dan
dibesarkan dalam era perubahan penting dalam sejarah perjuangan bangsa, dimana
sebagian besar dari masa mudanya telah dihabiskan dalam kancah perjuangan
organisasi pergerakan bahkan telah memberi andil yang besar dalam usaha memajukan
kegiatan pergerakan politik, hal ini bisa dilihat terutama dalam pelbagai usaha
merancang dasar-dasar negara Indonesia bila kelak mencapai kemerdekaan.
Selesai menamatkan studi di
P.H.S, dalam bulan September 1921, Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran ke
negeri Belanda, dan bertemu dengan banyak tokoh pergerakan Indonesia antara
lain Nazir Datuk Pamoentjak salah seorang penganjur berdirinya Jong Sumatranen
Bond cabang Padang yang telah dikenalnya sejak tahun 1918, kemudian Ahmad
Soebardjo, A.A. Maramis, Darmawan Mangoen Koesoemo, dan lain-lain. Di negeri
Belanda Mohammad Hatta diajak oleh Nazir Datuk Pamoentjak untuk menjadi anggota
Indische Vereniging (Wangsa Wijaya, 2002: 30).
2.2
Biografi
Mohammad Hatta
Sumatera Barat (Minangkabau)
tempat kelahiran Drs. Mohammad Hatta termasuk daerah yang cepat mengubah diri
sesuai dengan perkembangan zaman. Daerahnya ditandai dengan kekerasan alam
tetapi mencerminkan keindahan dan kesyahduan. Danau-danau seperti Maninjau,
Singkarak, Danau Di atas dan Di baruh (di bawah) menambah keindahan. Menurut
legenda nama daerah Minangkabau dapat diungkapkan bahwa:
Minangkabau berasal dari kata “Menang
Kerbau” berkaitan tentang orang Minangkabau yang mengalahkan orang Jawa secara
cerdik, menggunakan seekor kerbau dengan pisau baja yang tersembunyi di dalam
tanduknya untuk bertanding melawan banteng besar yang diajukan orang Jawa
(Rose, 1991: 1).
Dari ungkapan di atas, dapat
dibuktikan bahwa orang Minangkabau secara tradisonal sangat menghormati kerbau
yang tercermin dalam gaya arsitektur rumah serta penutup kepala tradisional.
Mohammad Hatta,
satu dari dua orang proklamator kemerdekaan Indonesia (seorang lagi Ir.
Soekarno) dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, dilahirkan tanggal 12
Agustus 1902 di Kampung Aur Tajungkang Bukittinggi dari keluarga pedagang dan
guru ngaji dari Batu Hampar Sumatera Barat. Kota Bukittinggi terletak di
dataran tinggi Agam terkenal dengan Kota Gedang (Kota Gadang) yang berarti
besar sebab terdapat sebuah jam besar (Jam
Gadang) yang menjadi ciri khusus kota Bukittinggi. Nama Hatta sebenarnya adalah
“Mohammad Athar” berasal dari kata Arab artinya harum. Untuk panggilan
sehari-hari “kata Athar” diucapkan Atta kemudian berubah Hatta. Pemberian kata
Athar senama dengan seorang penyair dan sufi yang terkenal dari Persia (Iran)
yaitu “Fariduddin Al Aththar” (Rose,
1991: 6).
Ayah Hatta
bernama Haji Muhammad Djamil meninggal dunia tahun 1903 (berusia 30 tahun)
ketika Hatta berumur delapan bulan. Ia berasal dari Batu Hampar 16 km dari
Bukittinggi arah ke Payakumbuh sedangkan Ibu Hatta, Siti Saleha berdarah
campuran asal Jawa. Kakek Hatta (ayah ibunya) bernama Ilyas gelar Bagindo Marah
seorang pedagang berasal dari daerah Minangkabau (Sumatera Barat). Ibu Hatta
adalah isteri keempat Haji Muhammad Djamil dan menikah lagi dengan Haji Ning,
seorang pedagang yang berasal dari Palembang. Setelah berumur 10 tahun, Hatta menyadari
bahwa Haji Ning adalah ayah tirinya tidak menyebabkan hubungan mereka renggang.
Hatta adalah anak kedua tetapi anak pertama laki-laki. Kakaknya bernama Rafi’ah
dilahirkan tahun 1900 adalah saudara Hatta yang sekandung dan lebih tua dari
Hatta dua tahun. Saudara Hatta lainnya yaitu Halimah, Rabiah, Basariah, Bariah,
dan Zakiah (Imran, 1984: 39).
Di bidang pendidikan Hatta
diharapkan oleh keluarga ayahnya di Batu Hampar agar melanjutkan pelajaran
agama setelah menyelesaikan sekolah rakyat 5 tahun. Dua tahun belajar di
sekolah rakyat Bukittinggi, Hatta pindah ke sekolah Belanda Europese Lagere
School (ELS – Sekolah dasar untuk orang kulit putih) di Bukittinggi. Akhirnya
melanjutkan kembali ke Europese Lagere School (ELS) di Padang mulai kelas 5 sampai
dengan kelas 7 tahun 1913. Sekolah Europese Lagere School (ELS) padang
diselesaikan Hatta tahun 1917 lulus dengan nilai cukup baik (berusia sekitar 14
sampai 15 tahun). Pendidikan Hatta ditingkatkan lagi ke MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs/ Sekolah Menengah Tingkat Pertama) berhasil ditamatkan bulan
Mei 1919 di Padang (Rose, 1991: 18).
Setelah menamatkan studi MULO
di Padang, Hatta berangkat ke Jakarta bersekolah di Prins Hendrik Handels
School (PHS) tahun 1919 sampai 1921 merupakan Sekolah Menengah Tingkat Atas
(SMA) dengan tekanan khusus pada mata pelajaran dagang (Sekolah Dagang Prins
Hendrik). Hatta berhasil menyelesaikannya tahun 1921 dengan mendapatkan urutan
(rangking ketiga). Selesai menamatkan pendidikan di Indonesia Hatta berangkat
ke negeri Belanda tanggal 3 Agustus 1921 dari Teluk Bayur dikenal sebagai
Emmahaven (Pelabuhan Padang) dengan kapal laut Tambora milik Totterdanse Lioyd.
Berlayar bersama tiga orang pelajar Indonesia menuju Universitas Leiden, tiba
tanggal 5 September 1921 dan melanjutkan Kuliah Dagang di Rotterdam Handelhoge
School (Sekolah Niaga). Berhasil menyelesaikan ujian Doktoral tanpa predikat
tanggal 20 Juli 1932 dan Hatta kembali ke Indonesia. Lima tahun direncanakan
Hatta di Eropa (negeri Belanda) menjadi sebelas tahun sehingga hampir berumur
30 tahun, mampu menguasai bahasa asing yaitu bahasa Belanda, Perancis, Inggris
dan Jerman (Yayasan Idayu, 1982: 20).
Mohammad Hatta berjanji akan
menikah jika Indonesia sudah merdeka, pernikahan itu berlangsung tanggal 18
Nopember 1945 di Megamendung. Hatta berusia 43 tahun dengan gadis berdarah
campuran Jawa dan Aceh dibesarkan di Bandung bernama Rahmi Rachim berusia 19
tahun. Tanggal 18 Nopember 1945 dianggap bersejarah sebab Gubernur Jenderal
Limburg Stirum mengucapkan janji bahwa “Indonesia akan diberi kemerdekaan”.
Hatta mempunyai tiga orang putri bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah
Hatta dan Halidah Nuriah Hatta. Berdasarkan sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 secara resmi Hatta terpilih
menjadi Wakil Presiden bersama Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia
yang pertama (Noer, 1990: 259).
Sebagai seorang tokoh
pemimpin, pejuang nusa bangsa dan negara Indonesia Drs. Mohammad Hatta,
dipanggil Allah SWT hari Jum’at tanggal 14 Maret 1980 jam 18.57 WIB dalam usia
78 tahun (77 tahun, 7 bulan dan 2 hari) di ruang ICU (Intensive Care Unit)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Mantan Wakil Presiden Republik
Indonesia pertama ini, dirawat di Pavilium Cenderawasih RSCM sejak 25 Februari
1980 dan hari Kamis tanggal 13 Maret 1980 dipindahkan ke bagian ICU (Intensive
Care Unit). Tim dokter yang merawat Hatta antara lain Prof. Mahar Marjono dan
Prof. Roekmono. Jenazah Hatta dibaringkan di ruang tengah rumah berukuran 5 x 7
meter, dimandikan pukul 09.00 disaksikan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo,
Buya Hamka, sanak keluarga dan dimakamkan Sabtu siang, 15 Maret 1980, pukul
14.00 WIB di pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan dengan upacara kenegaraan.
Liang lahat berukuran 2,40 x 1 meter dengan kedalaman 1,60 meter dalam komplek
makam seluar 2.000 M2, terletak di sebelah kanan pintu gerbang tempat
pemakaman umum Tanah Kusir. Makam Hatta ditandai dengan nisan dari kayu
berwarna putih dengan tulisan merah : “DR. MOH. HATTA, Proklamator, Wakil
Presiden R.I pertama, Lahir 12 Agustus 1902, Wafat tanggal 14 Maret 1980”.
Pesan terakhir Mohammad Hatta
dapat diungkapkan bahwa: “Pahami ajaran saya dan jangan dikubur”. Maksud
ungkapan tersebut adalah ajaran berupa kejujuran, beriman dan sederhana tetap
berada di dalam dada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia (Meutia, 1980: 81).
2.3
Pemikiran Politik Mohammad Hatta
Semangat nasionalisme Mohammad
Hatta sudah mulai tergugah sejak usia enam tahun (sebelum pendirian Jong
Sumatranen Bond) ketika melihat kejadian dan kesewenangan tentara Belanda
dengan senapan serta sangkur terhunus menggeledah rakyat terutama wanita-wanita
yang datang ke pasar untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Demikian pula suatu
kejadian lain yang menimpa sahabat dari kakeknya Rais, saudagar barang hutan di
Payakumbuh. Ia ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Padang dengan kereta api
dalam keadaan tangan terbelenggu. Rais dituduh turut dalam perang Kamang
padahal duduk persoalannya orang tua Rais mengkritik kebejatan Westening dalam
surat kabar Utusan Melayu (Yasni, 2002: 102).
Bulan Januari 1918, Nazir
Datuk Pamontjak tiba di Padang sebagai utusan Jong Sumatranen Bond (JSB).
Perkumpulan ini berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggotanya para pelajar Sumatra
yang bersekolah di Jakarta yang maksud tujuannya antara lain adalah memperkokoh
hubungan ikatan diantara murid-murid asal dari Sumatera dan menanamkan
keinsyafan bahwa mereka telah akan menjadi pemimpin; dan lagi membangunkan
perhatian dan mempelajari kebudayaan Sumatera (Pringgodigdo, 1991:25).
Nazir Datuk Pamontjak diutus
ke Sumatra Barat untuk mendirikan cabang Jong Sumatranen Bond. Di Padang
usahanya berhasil, tetapi di Bukittinggi tidak karena pimpinan sekolah di
Bukittinggi tidak mengizinkan para pelajar mendirikan Jong Sumatranen Bond.
Mohammad Hatta terpilih menjadi bendahara JSB cabang Padang karena dianggap
sudah berpengalaman dalam bidang keuangan lagi pula seorang yang jujur salah
satu gagasan yang bermanfaat yang pernah dikemukakannya ialah tentang penarikan
iuran tetap para anggota Jong Sumatranen Bond sehingga dengan iuran yang
dikumpulkan setiap bulannya itu segala kegiatan Jong Sumatranen Bond yang
membutuhkan biaya dapat ditunjang penyelenggaraannya (Imran, 1984:15).
Hatta sebagai anggota
eksekutif Jong Sumatranen Bond dianggap sebagai generasi harapan bangsa yang
waktu itu belum mengerti politik. Ketika suatu Kup sayap kiri dilakukan di
Belanda bulan Nopember 1918 bertepatan berakhirnya perang Eropa, Gubernur
Jendral Van Limburg Stirum menyampaikan pengumuman, bahwa dalam peristiwa
penggulingan kekuasaan di Belanda, Volksraad akan dijadikan parlemen yang
sesungguhnya. Hal ini ditanggapi positif oleh rakyat Indonesia. Kup tersebut
gagal dan untuk mengimbangi ancaman kaum sosialis, kekuasaan dengan cepat
diserahkan ke Partai Anti Revolusioner, sebuah kelompok ekstrem sayap kanan
pimpinan Dr.H. Colijn, mantan pejabat kolonial dan anggota parlemen Belanda
penentang pembentukan Volksraad. Dr.H. Colijn berpendapat bahwa kaum pribumi
secara ekonomis terlalu lemah untuk memiliki tanggung jawab politik. Tidak ada
pengakuan bahwa kelemahan perekonomian pribumi merupakan akibat langsung dari
kebijakan kolonial (Rose, 1991: 16).
Ada dua peristiwa yang
menyebabkan Mohammad Hatta aktif berpolitik, kedua peristiwa itu terjadi ketika
masih bersekolah di Jakarta.
Pertama, “peristiwa SI Afdeling
B”, dimana Haji Hassan di Garut tidak mau menjual berasnya kepada pemerintah,
sebab dikuatirkan keluarganya akan kekurangan makanan. Haji Hassan dituduh
melawan pemerintah dan dikatakan bahwa hal itu adalah gerakan dari Serikat
Islam sayap B.
Kedua, “November Belofte tanggal
18 November 1918, janji Nopember”, yang pernah diucapkan oleh Gubernur Jendral
Belanda untuk memberikan hak pemerintahan kepada bangsa Indonesia yang tidak
ditepati oleh pemerintah Belanda. Hal ini menimbulkan kesan yang mendalam
tentang kesewenangan penjajah. Sehingga hal tersebut menimbulkan semangat
kebangsaan yang makin tebal terhadap pribadi Mohammad Hatta (Yasni, 2002: 105).
Pemikiran politik Mohammad
Hatta dan menjadi satu strategi untuk mencapai Indonesia merdeka, diperoleh
oleh Mohammad Hatta selain sebagai pribadi, juga sebagai perkembangan kolektif
dari mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada mulanya bersifat sosial
kemudian berkembang menjadi organisasi politik bangsa Indonesia. Hal ini bisa
dilihat dari perubahan namanya yang pada awalnya bernama Indische Vereniging,
lalu berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Kesadaran untuk mengubah organisasi
dari yang bersifat sosial menjadi organisasi politik serta kesadaran akan
persatuan Indonesia tumbuh dan berkembang pada diri Mohammad Hatta bersama-sama
dengan tumbuh dan berkembangnya Indische Veregining yang akhirnya berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia. Kesadaran kerakyatan, kesadaran kebangsaan dan
kesadaran bahwa Indonesia harus maju dalam hubungannya dengan perkembangan
dunia, berkembang dalam diri Mohammad Hatta selama menjadi anggota Indische
Veregining dan mencapai puncaknya pada tahun 1926, ketika Mohammad Hatta
menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Dibawah pimpinan Hatta, PI membina
hubungan dengan mahasiswa dari Asia dan menggalang persatuan menentang
imperialisme ( Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 20 ).
Pada tahun 1926 PI meneruskan
propaganda di luar negeri dalam bidang politik dimana Arnold Mononutu anggota
PI dikirim ke Paris (Perancis) untuk menjalin hubungan dengan beberapa orang
Asia dan bekas mahasiswa Asia alumni Sorbonne dijalin kembali antara lain dengan
Duong Van Giauw (Azerbaijan), Tung Mo (Tiongkok) dan KM Fanikkar (Wartawan dari
India), Mohammad Hatta sebagai ketua I
bulan Juli 1926 mewakili mahasiswa Indonesia untuk mengikuti Kongres di Bierville
(Perancis). Dalam kongres ini Mohammad Hatta memperkenalkan nama “Indonesia”
(Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 21 ).
Pada bulan Desember 1926, Semaun
bekas pimpinan PKI yang dieksternir oleh pemerintah Hindia Belanda, datang dari
Moskow ke Den Haag untuk menemui Hatta. Pertemuan ini menghasilkan “Konvensi”,
antara Hatta dengan Semaun mengenai pembentukan partai nasional baru (Soebadio
Sastrosatomo , 1995: 24).
Dalam rapat anggota PI yang
pertama 1927 Hatta berniat untuk mengundurkan diri menjad ketua PI sehubungan
dengan partai nasional baru yang akan didirikannya serta rencana Hatta untuk
kembali ke Indonesia. Tetapi rapat tetap mempertahankan Hatta untuk melanjutkan
pimpinan karena PI sedang memperluas propaganda keluar negeri Belanda terlebih
lagi Liga menentang Imperialisme dan penindasan kolonial yang baru dibentuk di
Berlin atas desakan Kuo Mintang untuk mengambil inisiatif mengadakan suatu
kongres internasional menentang kolonialisme di Brussel dari tanggal 10 sampai
15 Februari 1927 (Soebadio Sastrosatomo, 1995:26).
Mohammad Hatta dengan tiga
anggota PI lainnya masing-masing Nazir Pamoentjak, Alisastroamidjoyo dan Abdul
Madjid djoyodiningrat tanggal 23 September 1927 ditangkap, penahanan Hatta ada
hubungannya dengan konvensi yang ditandatangani Hatta dengan Semaun. Hatta
mengatakan kepada rechter-commisaris, bahwa konvensi itu menunjukkan PI tidak
dipengaruhi oleh gerakan Komunis melainkan sebaliknya mencoba mengganti gerakan
komunis dengan gerakan nasonalis (Soebado Sastrosatomo, 1995:27).
Selama dalam tahanan Hatta
mempelajari buku-buku tentang hukum internasional untuk mempersiapkan diri
dalam menghadapi tentamen sekaligus kemudian dipakai untuk menulis pembelaan
dengan judul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka (Soebadio
Sastrosatomo, 1995:28).
Pada tahun 1929 politik Moskow
terhadap liga menentang imperialisme dan untuk kemerdekaan berubah. Ketika liga
mengadakan kongres di Frankfurt tahun 1930, Hatta dan Jawaharlal Nehru dituduh
sebagai reformis nasional dan dikeluarkan dari liga. Tuduhan kaum komunis di
liga terhadap Hatta diikuti tindakan dari pengurus PI yang sudah dikuasai
golongan komunis dengan mengeluarkan Hatta dan Syahril di Perhimpunan Indonesia
(Soebadio Sastrosatomo, 1995:29).
Ketika Ir. Soekarno ditangkap,
PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan oleh Mr. Sartono dan diganti oleh
PARTINDO (Partai Indonesia) tanggal 29 April 1931 (Bung Hatta, 1980 : 252).
Hatta membantu orang-orang
yang
tidak setuju PNI dibubarkan (Soedjadi, Moerad, Kantaatmaka, Bondan, dan Teguh).
Mereka menolak untuk ikut dalam partai yang didirikan Mr. Sartono. Hal ini
menjadi pemikiran Hatta sehingga untuk selekasnya pulang ke Indonesia. Tanggal
20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Rotterdam menuju tanah air. Dalam memimpin
pergerakan nasional yang diutamakan Hatta membentuk dan mendidik kader yang
tahan uji dan melarang kadernya untuk mengadaan agitasi tetapi lebih diutamakan
menganalisa keadaan yang nyata. Hatta aktif memimpin PNI-BARU. Setelah usaha
menyatukan PNI-BARU dibawah pimpinan Hatta, PARTINDO dibawah pimpinan Soekarno mengalami
kegagalan, maka kemudian timbul polemik antara Hatta dan Soekarno tentang
perbedaan pendekatan antara PNI-BARU dan PARTINDO. PNI-BARU lebih memusatkan
perhatian pada pendidikan kader sementara PARTINDO lebih menekankan pada
agitasi untuk mengadakan aksi massa. Akhirnya tahun 1934 Hatta dan Syahril
ditangkap dan dibuang ke Boven Digul sedangkan Soekarno dibuang ke Ende
(Flores) (Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 31).
Pada tahun 1942 Belanda
memindahkan penahanan Hatta ke Sukabumi dan disusulkan penyerahan Hindia
Belanda kepada Jepang. Tanggal 9 Maret 1943 PUTERA dibentuk, pemerintah Jepang
menunjuk Soekarno sebagai pemimpin besar, Hatta sebagai Direktur Jenderal, Ki
Hajar Dewantara sebagai Kepala Bagian Pengajaran, Kyai Mas Mansur sebagai
kepala Bagian Keselamatan Masyarakat, Mr. Sartono sebagai Kepala Bagian
Organisasi, dan Otto Iskandardinata sebagai Kepala Bagian olahraga (Soebadio Sastrosatomo,
1995 : 32).
Pada permulaan bulan September
1944, tersiar ucapan Perdana Menteri Jepang kaiso, bahwa Indonesia akan dimerdekakan
“kelak kemudian hari”. Ucapan itu sangat mengembirakan rakyat Indonesia. Suatu
panitia dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada bulan Maret 1945. Organisasi ini beranggotakan
62 orang yang diangkat oleh Gunseikan dengan ketuanya Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
kemudian permulaan bulan Agustus 1945 BPUPKI dbubarkan dan diganti dengan
panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimana Soekarno sebagai ketua
dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Soekarno,
Hatta dan dr. Radjiman Wedyodiningrat diutus ke Dallath kira-kira 300 Km
sebelah utara Saigon. Tempat kedudukan Jenderal Terrauchi, dalam pidatonya
menyatakan bahwa pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia. Hatta kemudian kembali ke tanah air dengan perasaan bahwa apa
yang diperjuangkan selama ini akan menjadi kenyataan dan kapan keputusan kemerdekaan
itu diumumkan terserah pada bangsa Indonesia sendiri. Dalam perkembangan
selanjutnya bahwa baik rencana Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia melalui PPKI maupun rencana para pemuda untuk memproklamasikan diluar
PPKI, keduanya tidak terjadi sebab sekembalinya Soekarno-Hatta dari Rengas
Dengklok, lalu diadakan rapat di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan
yang kemudian tanggal 17
Agustus 1945 diucapkan dijalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang ditanda tangani
oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia (Soebadio Sastrosatomo,
1995:36).
BAB III
METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN
3.1
Metodologi
Penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang
terdapat dalam penelitian (Usman, 1995 : 42 ).
Metodologi penelitian sejarah
adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematik untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis dan mengajukan
sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis ( Garaghan dalam Abdurahman 1999 :
43 ). Hal ini sejalan dengan pengertian metode sejarah menurut Gutshalk ( dalam
Nugroho Notosusanto, 1983 : 32 ) adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman peninggalan sejarah pada masa lampau. Tujuan penelitian dengan
menggunakan metode sejarah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara obyektif
dan sistematis, dengan mengumpulkan, mengevaluasi, menganalisis buku-buku untuk
menemukan data yang otentik dan menarik kesimpulan secara tepat.
Dalam skripsi yang berjudul
“Perjuangan Politik Mohammad Hatta Tahun 1927 – 1945”, penulis menggunakan metode
historis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Heuristik
Secara harfiah kata heuristik
berasal dari bahasa yunani heuriskein yang artinya memperoleh. Heuristik
merupakan pengetahuan yang bertugas menyelediki dan usaha-usaha
untuk mengumpulkan informasi mengenai subjek yang berkaitan langsung dengan
masalah (Kuntowijoyo, 1994 ; 50 ).
Pada tahap ini penulis mencari
dan mengumpulkan data berupa buku-buku, arsip-arsip Mohammad Hatta. Usaha ini
penulis lakukan dengan melakukan studi kepustakaan dibeberapa perpustakaan
seperti Perpustakaan Daerah Kabupaten Lahat, Perpustakaan SMP Negeri 4 Lahat
juga Perpustakaan UNSRI Inderalaya. Dari beberapa perpustakaan yang ada di
atas, penulis cukup banyak memperoleh sumber berupa buku untuk penulisan skripsi
ini.
Adapun sumber-sumber yang
penulis temukan antara lain :
a. Amrin Imran “Mohammad Hatta pejuang
proklamator, pemimpin,
manusia biasa“.
b. Wawancara
Mohammad Hatta dengan Z. Yasni “Bung Hatta menjawab“.
c. Mavis Rose “ Indonesia Merdeka, Biografi
Politik Mohammad Hatta “.
d. J. Wangsa Wijaya, “ Mengenang Bung Hatta
“.
e. Soebadio Sastrosatomo, “ Pandangan Politik
Hatta “.
f. Meutia Farida Swasono “ Bung Hatta
Pribadinya dalam Kenangan “.
g. Mohammad Hatta, “ Mohammad Hatta Memoir “.
Sumber utama penulisan skripsi adalah buku
“Mohammad Hatta Memoir”.
b.
Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran
disebut analisis dan sintesis, keduanya dipandang sebagai metode-metode utama
dalam interpretasi ( Kuntowijoyo, 1994 : 100 ). Pada tahap ini penulis berusaha
untuk menghubungkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain dan dapat
menafsirkan apa yang terkandung didalamnya dengan melakukan analisis dan
sintesis. Sedangkan menurut Bakker ( 1984 : 15 ) interpretasi adalah
menafsirkan atau membuat tafsiran tetapi tidak bersifat subjektif melainkan
harus objektif untuk mencari kebenaran yang otentik. Interpretasi analisis
adalah menguraikan dari fakta yang telah ada, seperti latar belakang kehidupan
Mohammad Hatta dan latar belakang munculnya perjuangan politik Mohammad Hatta.
Sedangkan interpretasi sintesis menyatakan fakta yang ada. Dalam hal ini
penulis menghubungkan dan menyatukan buku-buku sebagai sumber seperti buku
“Mohammad Hatta Memoir”, Tintamas, 1982, Mohammad Hatta menguraikan tentang
riwayat hidup Bung Hatta sendiri dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja
aktif dalam organisasi pemuda (JSB), PI di negeri Belanda, PNI-BARU sampai
terbentuknya kabinet Hatta tahun 1949. Menurut Abdurahman ( 1999 : 66 ) ada dua
macam kelompok interpretasi yaitu interpretasi yang bersifat tunggal dan
interpretasi yang bersifat pluralistik. Bersifat tunggal maksudnya adalah suatu
penafsiran yang hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang yang
terkemuka. Sedangkan interpretasi pluralistik adalah interpretasi yang mengikuti
perkembangan – perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dan
menunjukkan peradaban yang bersifat kompleks, interpretasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah interpretasi yang bersifat tunggal, yaitu interpretasi
yang bersifat tunggal didasarkan pada bidang politik.
c.
Historiografi
Historiografi atau penulisan
sejarah ialah cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan
data yang diperoleh ( Kuntowijoyo, 1994 : 89 ). Pada tahap ini penulis berusaha
menyiapkan hasil penelitian sejarah dalam bentuk penulisan yang utuh dalam
bentuk skripsi. Penulisan skripsi ini berdasarkan proses serialisasi (
kronologi dan kausasi ) dan proses koligasi.
3.2
Pendekatan
Menurut
Kartodirdjo ( 1993 : 1 ) dalam mengkaji sejarah, pendekatan sangat penting agar
mampu melakukan eksplanasi ( penjelasan ) dari pada membatasi pengungkapan
terjadinya sesuatu atau hanya menguraikan kejadian sesuatu cerita (narasi ).
Dalam penulisan
skripsi ini yang berjudul “ Perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927 – 1945
“. Penulis menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, antropologi dan politik.
Dalam menggambarkan peristiwa dituntut adanya pendekatan yang memungkinkan
penyaringan data yang diperlukan. Suatu seleksi akan dipermudah dengan
menggambarkan konsep-konsep yang berfungsi sebagai kriteria (Sartono, 1993: 4).
3.2.1
Pendekatan Sosiologi
Pendekatan yang digunakan untuk
meneliti segi-segi sosial peristiwa yang dikaji seperti latar belakang susunan
dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan sosial atau golongan sosial
mana yang berperan, serta nilai-nilai hubungan dengan golongan lain, interaksi
antar kelompok dan konflik antar golongan berdasarkan kepentingan ideologi dan
sebagainya. Pendekatan ini diharapkan bagaimana sejarah yang melatarbelakangi
perjuangan politik Mohammad Hatta.
3.2.2
Pendekatan Antropologi
Merupakan pendekatan yang
mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan
gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari gaya hidup
3.2.3
Pendekatan Politik
Pendekatan politik adalah pendekatan
yang menyoroti hierarki kekuasaan, hierarki sosial dan pertentangan kekuasaan
dalam masyarakat dan pemerintah ( Kartodirdjo, 1993 : 4 ). Ada
pernyataan yang berbunyi : “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah
politik masa lampau”. Sejarah adalah identik dengan politik sejauh keduanya
menunjukkan proses yang mencangkup keterlibatan para aktor dalam interaksi
serta peranannya dalam usaha memperoleh ”apa, kapan, dan bagaimana (Kartodirjo,
1993: 148-149). Karena jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian politik,
perang, diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politis (Abdurahman, 1999: 17). Berkaitan
dengan skripsi ini, dalam pendekatan politik penulis akan menggambarkan tentang
dinamika kehidupan politik semasa hidup Mohammad Hatta.
BAB IV
PERJUANGAN POLITIK MOHAMMAD HATTA (TH. 1927-1945)
4.1 Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa
Penjajahan Belanda
4.1.1
Perjuangan dengan Perhimpunan Indonesia (P
I) Tahun 1926-1930
Perjuangan mencapai Indonesia
merdeka dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri yang dipelopori Mahasiswa
Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Hal ini, di luar dugaan Pemerintah
Kolonial Belanda sebab zaman Hindia Belanda yang diberi kesempatan belajar di
Belanda, teristimewa pada sekolah tingkat tinggi hanya anak yang berkedudukan
baik pada Pemerintah Hindia. Awal abad ke 20 di Indonesia belum terdapat
Universitas (Perguruan Tinggi) baik negeri maupun swasta. Pelajar yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas (AMS = Algemene Middelbare
School, HBS = Hogere Burger School, ELS = Europese Lagere School dan
sebagainya), sebagian besar tidak meneruskan sekolah. Bagi yang memiliki biaya
dapat meneruskan sekolah ke negeri Belanda dan prestasinya baik selama belajar
di AMS (Algemene Middelbare School) mendapat biaya dari pemerintah (Sudiyo, 1989: 22).
Untuk menggalang persatuan,
Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda tanggal 25 Oktober 1908 mendirikan suatu
perkumpulan diberi nama “Indische Vereniging” (Perkumpulan Hindia) di rumah
Sutan Kesayangan Soripada di Hoogewoerd 49, Leiden (Negeri Belanda). Susunan
Pengurus Indische Vereniging tersebut adalah:
a. Ketua: Sutan Kesayangan Soripada.
b. Sekretaris merangkap bendahara: R.M.
Sumitro.
Kemudian dibentuk Panitia Penyusunan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang terdiri dari Sutan Kesayangan Soripada,
R.M. Sosrokartono dan R.
Hussein Djayadiningrat. Indische Vereniging secara resmi berdiri tanggal 15 Nopember 1908 di
restoran “Oost en West” di kota Gravenhage (Den Haag Negeri Belanda). Tujuan
Indische Vereniging memperhatikan dan mengurus segala macam kepentingan
orang-orang “Indiers” (Indonesia) terutama yang bermukim di negeri Belanda dan
memelihara hubungan dengan Hindia Belanda. Adapun bentuk organisasi Indische
Vereniging dapat diungkapkan dalam pasal 2 berbunyi :
Het gemeeschappelijk gevoel der in Nederland
atudeerende Indonesiers (Perasaan bersatu antara orang-orang Indonesia yang
belajar di negeri Belanda (Sudiyo, 1989: 23).
Dari ungkapan di atas, dapat disimpulkan
sudah ada rasa persatuan dan merasa dirinya seorang “Indiers” (Indonesia) bukan
lagi orang Jawa, Minangkabau, Ambon, Minahasa dan mempunyai ciri khusus sebagai
organisasi yang bersifat “Perhimpunan Indonesia”.
Pendiri Indische Vereniging
berasal dari berbagai Universitas (Fakultas), jelas organisasi tersebut
merupakan suatu cetusan perasaan kebersamaan orang Indonesia di negeri Belanda.
Para pendirinya adalah:
a. Sosrokartono: Mahasiswa Universitas
Laiden, Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa-bahasa Timur (Oostersche Letteren).
b. Hussein Djajadiningrat: Mahasiswa
Universitas Leiden, Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa-bahasa Timur (Oostersche
Letteren).
c. Noto Soeroto: Mahasiswa Universitas
Leiden, Fakultas Hukum.
d. Notodiningrat: Mahasiswa Technieche
Hougsschool (Sekolah Teknik Tinggi) di Delft.
e. Sumitro Kolopaking: Mahasiswa Fakultas
Indologie di Delft.
f. Sutan Kesayangan Soripada: Mahasiswa
Sekolah Perguruaan Tinggi di Haarlem.
g. dr. Apituley: Mahasiswa Universitas
Amsterdam, Fakultas Kedokteran (Sudiyo, 1989: 24).
Sebagian besar orang
Indonesia, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia sangat berhati-hati
bergerak dalam bidang politik. Kegiatan ke arah bidang politik ada namun
dilakukan secara tersembunyi. Terbukti, pihak Belanda tahun 1913 mengadakan
penangkapan terhadap pendiri Indische Partij yang dikenal “Tiga Serangkai”
yaitu:
1. Dr. E.F.E. Douwes Dekker (dikenal sebagai
Dr. Danudirjo Setiabudi).
2. Dokter Cipto Mangunkusumo.
3. Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara).
Mereka diasingkan oleh Pemerintah Kolonial ke
negeri Belanda karena melakukan kegiatan politik di Indonesia. Di negeri
Belanda banyak memberi pengaruh kepada arah gerakan Indische Vereniging
sehingga menimbulkan gerakan politik. Untuk mempermudah perkembangan Indische
Vereniging tanggal 1 Maret 1916 terbitlah majalah pertama “Hindia Poetra”
diubah menjadi Indonesia Merdeka” sebagai alat penghubung anggota Indische
Vereniging dalam berpolitik. Situasi dunia yang berpengaruh terhadap sikap
pergerakan Mahasiswa Indonesia (indische Vereniging) di negeri Belanda yaitu
terjadinya perang dunia I (1914 – 1918). Semboyan yang diucapkan oleh Presiden
Amerika Serikat Woodrow Wilson berbunyi, “The righ of selfdetermination” (hak
menentukan nasib sendiri), sebelum perang dunia pertama di Eropa berakhir menimbulkan
pengharapan besar di daerah jajahan. Pemerintah Hindia Belanda takut kejadian
di Eropa sampai ke Indonesia maka Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tanggal
18 Nopember 1918 di depan sidang “Volksraad” (Perwakilan rakyat ala kolonial
Belanda) berjanji (terkenal dengan “Janji Bulan Nopember/Nopember Belofte”)
“Pemerintah Belanda akan memberikan hak memerintah sendiri kepada bangsa
Indonesia”. Pernyataan ini, merupakan janji belaka dan taktik mendapatkan
simpatisan rakyat di negeri jajahan (Sudiyo, 1989: 26).
Kegiatan Indische Vereniging
tahun 1920 tetap bergerak dalam bidang sosial budaya, mengingat ketatnya
pengawasan terhadap orang Indonesia di negeri Belanda maupun di Indonesia. Pada
tanggal 19 Februari 1922 nama Indische Vereniging dirubah menjadi “Indonesische
Vereniging” (Perkumpulan Indonesia) sebagai ketua Herman Kartawisastra. Kata
Indische menjadi Indonesische mengandung pengertian politis yaitu perasaan
bersatu antara orang Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Dalam majalah
“Hindia Poetra” bulan Maret 1923 dapat dinyatakan dasar Perhimpunan Indonesia
Vereniging yaitu:
“Mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia
yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal
yang demikian itu akan dapat dicapai orang Indonesia sendiri, bukan dengan
pertolongan siapapun juga, bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah
dihindari, supaya tujuan itu lekas tercapai” (Pringgodigdo, 1991: 57).
Dari pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bantuan penjajah (penguasa) tidak dapat diharapkan maka kekuatan
nasional yang teguh, memajukan tenaga rakyat lahir dan batin harus diwujudkan.
Maka hak lepas dari berbagai penjajah menjadi nyata.
Penggantian nama menjadi
“Indonesische Vereniging” merupakan sikap yang berani dan revolusioner.
Perkumpulan ini, tetap memakai bahasa Belanda “Vereniging” perlu dihilangkan
untuk memantapkan identitas nasional. Organisasi Mahasiswa Indonesische
Vereniging secara resmi berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia tanggal 8
Februari 1925 di kepemimpinan Sukiman Wirjosandjojo. Susunan pengurus
Perhimpunan Indonesia tahun 1925 terdiri dari sembilan pengurus yaitu:
1. Sukiman Wiryosandjojo sebagai Ketua
2. A.I.Z. Mononutu sebagai Wakil Ketua
3. Surono sebagai
Sekretaris I
4. Sunario sebagai
Sekretaris II
5. Mohammad Hatta sebagai Bendahara I
6. Mohammad Nasif sebagai Bendahara II
7. Amir sebagai
Komisaris.
8. Budiarto sebagai
Komisaris.
9. Mohammad Yusuf sebagai Komisaris
(Sagimun M.D, 1989: 131).
Kemudian majalah “Hindia
Poetra” tegas diganti menjadi “Indonesia Merdeka” walaupun tahun 1924 sudah
berubah dan pemakaian nama “Indonesia” dalam pengertian politik secara resmi
dipakai tahun 1925 yaitu masa kepemimpinan Sukiman Wirosandjojo.
Pada bab terdahulu disebutkan,
tanggal 5 September 1921 Hatta tiba di negeri Belanda untuk belajar pada
Handels School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di kota Rotterdam. Mohammad Hatta
bertemu dengan tokoh pergerakan Indonesia yang menjalani studi di negeri
Belanda. Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan organisasi bernama
“Indische Vereniging”. Atas nasihat dari Nazir Pamontjak (dikenal Hatta sejak
tahun 1918) Hatta menjadi anggotanya. Akhirnya organisasi Indische Vereniging
berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia” dan tahun 1926 Hatta terpilih menjadi
ketuanya. Kegiatan Perhimpunan Indonesia ke arah politik nasional Indonesia
untuk mencapai kemerdekaan semakin meningkat dengan datangnya Mahasiswa yang
berjiwa patriot seperti Subardjo Mahasiswa Hukum di Leiden (menetap di negeri
Belanda tahun 1919 – 1934), Abdul Madjid Djojodiningrat, Ali Sastroamijoyo,
Darmawan Mangunkusumo, Iskaq Cokroadisuryo, Iwa Kusuma Sumantri, Maramis,
Arnold Mononutu, Pamontjak, Sartono, Sukiman Wiryosandjojo, Sunario dan
sebagainya. Perhimpunan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
berasaskan self-help dan non-koperasi (Sagimun, 1989: 129).
Jumlah Mahasiswa Indonesia
yang belajar di negeri Belanda cukup banyak tetapi yang bergabung dengan
Perhimpunan Indonesia sebagian kecil. Penasihat Belanda mencatat tahun 1924
berjumlah 673 Mahasiswa, tahun 1929 menurun drastis yaitu 109 Mahasiswa.
Berdasarkan jumlah anggota Perhimpunan Indonesia tercatat 20 Mahasiswa dan
tahun 1926 hanya 38 Mahasiswa. Dalam berorganisasi Hatta pernah terpilih
sebagai bendahara sebelum memegang jabatan ketua Perhimpunan Indonesia.
Perkembangan kepemimpinan perkumpulan yaitu: Ketua 1919 - 1921 (Ahmad
Subardjo), 1923 - 1924 (Iwa Kusuma Sumatri), 1924 - 1925 (Nazir Datuk
Pamontjak), 1925 - 1926 (Sukiman Wirjosandjojo) dan 1926 - 1930 (Mohammad
Hatta). Hatta menerima jabatan ketua Perhimpunan Indonesia dari Dr. Sukiman
Wiryosandjoyo. Keanggotaannya terdiri dari:
1. Mohammad Hatta sebagai Ketua.
2. Abdul Madjid Djojodiningrat sebagai
Sekretaris.
3. Abutari sebagai Bendahara.
4. Sunario dan Darsono sebagai para
Komisaris.
Sebagai pimpinan organisasi,
Hatta memperhatikan perkembangan di Indonesia dan memberi saran positif bagi
perjuangan. Untuk melaksanakan program kerja Perhimpunan Indonesia (ada 3
pasal) yaitu:
Pasal 1
|
:
|
Mempropagandakan asas-asas perhimpunan lebih
intensif terutama di Indonesia.
|
Pasal 2
|
:
|
Menarik perhatian Internasional pada masalah
Indonesia.
|
Pasal 3
|
:
|
Perhatian para anggota harus dibangkitkan buat
soal-soal internasional dengan mengadakan ceramah-ceramah, berpergian ke
negara-negara lain untuk studi dan sebagainya.
|
Pasal 1 telah ditempuh Ali
Sastroamidjoyo dan pasal 2 dan 3 berhasil dilakukan Dr. Sukiman Wiryosandjojo
dengan meletakkan dasar-dasar pergerakan yang mantap kemudian dilanjutkan Hatta
secara baik dan penuh keberanian. Memperhatikan Indonesia di Forum Internasional
Hatta mengucapkan pidato di “Congres democratique internationale pour la paix”,
tanggal 15 Agustus 1926 di Bierville dekat Paris. Dihadiri utusan 31 negara
sebagian besar berasal dari Asia. Dalam kongres Hatta berhasil menuntut
pengakuan sidang untuk mempergunakan kata “Indonesia” dan bukan “Hindia
Belanda” secara tertulis maupun pembicaraan merupakan kemenangan moril bagi
Hatta. Sekaligus pertama kali Indonesia bersuara di forum internasional dengan
mengutamakan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional (Sudiyo,
1989: 62).
Kemajuan dan perkembangan
Perhimpunan Indonesia bersikap radikal sehingga menimbulkan kecemasan bagi
pemerintah Belanda, terlebih Hatta giat mengadakan hubungan dengan
gerakan-gerakan internasional. Untuk membuka permasalahan Indonesia,
Perhimpunan Indonesia menghadiri kongres “Liga anti-imperialisme dan penindasan
kolonial” didirikan di Berlin mengadakan kongres di Brussel (Belgia) pada
tanggal 10 - 15 Februari 1927 diwakili oleh Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak,
Ahmad Subardjo, Gatot Tanumihardja dan Abdul Manaf (Mahasiswa Indonesia dari
Mesir). Mohammad Hatta dalam kongres mengemukakan perjuangan kemerdekaan
nasional Indonesia dan peningkatan kekejaman pemerintah Hindia Belanda terhadap
rakyat di Indonesia sesudah kegagalan PKI tahun 1926 dan 1927. disiarkan secara
luas oleh pers di Eropa dan Indonesia mendapat bantuan moril dalam bentuk
resolusi yang diputuskan oleh kongres yaitu:
a. Memberi simpati penuh kepada pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan senantiasa menyokong pergerakan ini dengan apapun
juga.
b. Menuntut pemerintah negeri Belanda supaya
bangsa Indonesia mendapat kebebasan penuh untuk bergerak, menghapuskan
pengasingan-pengasingan dan hukuman-hukuman mati serta memberi amnesti umum
(Sudiyo, 1989: 65).
Kongres memutuskan membentuk
organisasi baru bernama “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan
untuk Kemerdekaan Nasional”. Anggota eksekutif
Liga adalah Mohammad Hatta, Liau (Cina), Senghor (Senegal), Munzenberg
(Jerman), Dr. Martau (Belgia), Ugerta (Amerika Latin). Di dalam kongres Hatta
berkenalan dengan Jawaharlal Nehru (India) akhirnya berkelanjutan secara akrab
setelah Indonesia merdeka, Pimpinan buruh George Ladebour, Edo Fimmen
(Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Transpor Internasional), Lansburg
(anggota pimpinan Partai Buruh Inggris), ketua kehormatan Liga Prof. Albert
Einstein (Ilmuwan terkenal dunia). Kesempatan ini, dipergunakan Hatta untuk
memperluas wawasan dalam pergaulan maupun pengenalan masalah. Kongres kedua
Liga mengadakan pertemuan tanggal 20 – 27 Juli 1929 di Frankfurt (Jerman)
terdapat kesungguhan dari anggota untuk lebih banyak berbuat. Di Brussel
kongres menentang imperialisme dihayati cita-cita kemanusiaan yang murni
sedangkan kongres kedua Liga di Frankfurt tahun 1929 dipengaruhi oleh
kepentingan golongan. Bertentangan dengan asas Liga menghendaki organisasi
internasional melawan Imperialisme dan Kolonialisme dalam memperjuangkan
kepentingan nasional. Hatta sebagai pemimpin cepat mengambil tindakan menutup
sidang dengan menyanyikan lagu “The
Internasional” dan semangat persatuan dirasakan kembali dalam Liga. Kongres
dihadiri 174 peserta dari 21 negara. Sesudah tahun 1930 aktivitas Liga tidak
terdengar meskipun kepentingan Indonesia pernah dipahami dan dibantu (Mohammad Hatta,
1980: 23).
Kegiatan mendapat perhatian
internasional diwujudkan pada organisasi “Liga Wanita Internasional untuk
perdamaian dan kemerdekaan (International League of Woman for Peace and Freedom)
bulan September 1927 di Gland terletak di tepi danau Genewa di Swiss, Pidato
Hatta berjudul “L” Indonesiae et son Prableme de 18 Indenpendence”, (Indonesia
dan masalah kemerdekaannya). Undangan yang hadir Ny. Henriette Roland Holst
(seorang pengarang dan penyair terkenal) dan Jawaharlal Nehru untuk
membicarakan keadaan di India. Penyampaian tujuan pergerakan Indonesia
dilanjutkan di Utrecht (universitas yang didirikan oleh pengusaha kapitalis
kolonial negeri Belanda) di depan perkumpulan Mahasiswa Indologi tahun 1930,
Hatta menerangkan hubungan kolonial antara Belanda dan Indonesia. Usaha Hatta
memperkenalkan pergerakan nasional di Eropa tidak lepas dari perkembangan di
Indonesia sebab perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia. Nama Indonesia
dalam forum internasional dikenal secara luas sehingga menimbulkan kesulitan
pihak Belanda untuk tetap menguasai Indonesia. Setelah kongres selesai Belanda
secara ketat mengadakan pengawasan terhadap Perhimpunan Indonesia. Di Indonesia
terjadi pemberontakan PKI bulan Nopember tahun 1926 yang berhasil digagalkan
pemerintah kolonial Belanda. Semaun (bekas pemimpin PKI) datang ke negeri
Belanda tidak dari Indonesia melainkan dari Moskow berkonsultasi dengan
pemimpin komunis. Peristiwa ini, diceritakan kepada Mohammad Hatta di Adelhesisdstraat
(Den Haag) bulan Desember 1926 dicurigai pihak Belanda. Inilah penyebab
penangkapan Mohammad Hatta oleh polisi Belanda, termasuk perjuangan Perhimpunan
Indonesia dalam forum internasional (Sudiyo, 1989: 68).
Di negeri Belanda dilakukan
penggerbekan dan penggeledahan terhadap tempat tinggal Mahasiswa terutama di
kediaman Mohammad Hatta (Adelheiddstraat, Den Haaq) tanggal 10 Juni 1927, pukul 10:00 pagi.
Berita ini diketahui Hatta tanggal 11 Juni 1927 membaca surat kabar Jerman
bernama “Virwarts”. Mohammad Hatta tidak berada di negeri Belanda melainkan di
Gland (Swiss) sedang menghadiri undangan untuk memberikan ceramah dalam kongres
Liga Wanita Internasional untuk perdamaian dan kemerdekaan. Penggeledahan
dilakukan juga di tempat Nazir Pamontjak, Abdul Madjid Djojoadiningrat,
sebelumnya terjadi penggerbekan di rumah Ali Sastroamidjoyo (sudah berkeluarga)
yaitu bekas Dr. Asikan Widjayajusuma di Wasstraat No. 1, Leiden yang kembali ke
Indonesia setelah menyelesaikan studinya. Pemerintah Belanda melanjutkan
tindakannya dengan lebih keras, menahan Hatta (bersama Ali Sastroamidjoyo,
Nazir Pamontjak dan Abdul Madjid Djojoadhiningrat) tanggal 23 September 1927.
Para Mahasiswa dimasukkan dalam sel kecil berukuran 2 x 3 M. Mohammad Hatta
ditempatkan pada sel nomor 1, Nazir Pamontjak sel nomor 7, Ali Sastroamidjoyo
sel nomor 14 dan Abdul Madjid Djojoadiningrat sel nomor 55. Mereka tidak bisa
saling berhubungan satu sama lain tetapi keadaan rumah tahanan cukup memenuhi
syarat kesehatan. Menurut pemerintah Belanda para tertahan dituduh atas tiga
perbuatan:
1. Menjadi anggota perkumpulan terlarang.
2. Terlibat dalam pemberontakan (Di
Indonesia)
3. Menghasut untuk menentang kerajaan Belanda
Setelah lima setengah bulan
(enam bulan) berada dalam tahanan sementara, perkara mereka disidangkan tanggal
18 Maret 1928 di Pengadilan Negeri Den Haag. Ketua sidang adalah Mr. Cost Budge
dan penuntut umum Mr. Rijkens. Pembela yang mendampingi ialah Dr. J. E. W Duys
(seorang anggota parlemen Belanda dari SDAP (Social Democratischa Arhsiders
Party), Mr. Mobach, Mr. Eleonore P.A, Weber / Nona. Mr Weber dan organisasi
pemuda bernama “ A.J.S” (Assositie Van Jong Socilaisten) masih dibawah naungan
SDAP. Hatta dan ketiga rekannya diadili, tuduhan dibatasi yaitu menghasut untuk
menentang kerajaan Belanda. Mereka dituntut tiga tahun (Hatta), dua setengah
tahun (Ali Sastroamidjoyo dan Nazir Pamontjak), dua tahun ( Abdul Madjid
Djojoadiningrat ). Kepada tertuduh berempat diberikan kesempatan oleh hakim
ketua untuk berbicara. Di dalam tahanan, Hatta mempersiapkan pembelaan yang
berjudul “ Indonesia Vrij “ (Indonesia Merdeka), bersifat politis, menjelajah
perkembangan Indonesia yaitu sebelum kedatangan penjajah ke alam jajahan
(kedatangan bangsa barat ke Asia Tenggara) dan Hatta menolak tuduhan jaksa
bahwa Perhimpunan Indonesia bermaksud menggunakan kekerasan (Noer, 1990 : 102).
Pembelaan dilanjutkan oleh
Abdul Madjid Djojoadiningrat, Ali Sastromidjojo dan Nazir Pamontjak hanya
berbicara singkat. Hakim ketua mempersilahkan kepada para pembela untuk
menguraikan pembelaannya. Nona Mr. Weber dan Mr. Mobach berusaha mengemukakan
pembelaan dengan sesungguhnya serta pembelaan dengan Dr. J.E.W Duys menggugah
pengadilan dan masyarakat Belanda karena argumentasinya dalam menghadapi
penuntut umum. Sebagai penutup Dr. J.E.W Duys menyimpulkan pembelaannya yaitu :
1. Bahwa secara yuridis, keempat mahasiswa
tersebut tidak dapat dituntut karena dasar hukumnya tidak ada.
2. Secara moril juga tidak, karena mereka
merupakan cermin dari moril yang sesungguhnya.
3. Kegiatan mereka “ tidak sepersepuluh
bagian “ pun dari kegiatan orang lain dalam hal yang sama
4. Bahwa tahanan sementara tidak adil dan
tidak diperlukan
5. Kebijakan kolonial dan pers barat (
termasuk di negeri Belanda ) tentang Indonesia menghina para tertuduh dan bangsanya,
juga menghasut dan mendorong para tertuduh untuk menggunakan kekerasan (Noer,
1990:107).
Pembelaan berhasil, pada
tanggal 22 Maret 1928 Hatta dan kawan-kawannya dinyatakan bebas oleh Pengadilan.
S.D.A.P dan para simpatisannya merasa terharu sebab pengadilan membenarkan,
tidak menaruh keberatan atas perjuangan mereka.
4.1.2
Perjuangan di Indonesia (PNI-BARU) Tahun
1931-1940
Cita-cita mendapatkan
persatuan dan kemerdekaan Indonesia dipertegas dengan berdirinya “ Partai
Nasional Indonesia “ tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Diantara pendirinya
terdapat bekas anggota Perhimpunan Indonesia sedangkan pimpinan PNI (Partai
Nasional Indonesia) adalah Ir. Soekarno (Tamatan Technische Hooge School /
Institut Teknologi Bandung). Akhir bulan Desember 1929 Ir. Soekarno ditangkap sehingga
kegiatan PNI terhenti bulan Januari 1930 – April 1931. Mr. Sartono sebagai
ketua – muda PNI membubarkan partai dan mendirikan Partindo (Partai Indonesia).
Pembubaran PNI disahkan oleh Raad Van Justitie atas keputusan Landraad Bandung
(Akhir April 1931) (Pringgodigdo, 1991 :
129).
Banyak anggota PNI yang tidak
menyetujui pembubaran tersebut, mereka membentuk kelompok “Golongan Merdeka“
(bebas dari pimpinan Mr. Sartono). Badan ini, belum tergabung dalam ikatan
organisasi tetapi batin mereka satu. Golongan merdeka memerlukan dukungan dalam
rangka mengorganisir partai baru. Tetapi Hatta harus menyelesaikan ujian akhir
bulan Juni 1932 dan meminta bantuan Syahrir berangkat ke Indonesia untuk
keperluan pergerakan, konferensi yang diselenggarakan tanggal 25 – 27 Desember
1931 di Yogyakarta, berdiri PNI-BARU (Pendidikan Nasional Indonesia).
Penghapusan kata “partai“ merupakan cara kelompok pendidikan menghindari
kesewenangan kolonial. Hatta mengusulkan pemberian nama “Partai Daulat Rakyat“ yang
menekankan kedaulatan rakyat, Golongan Merdeka mempertahankan singkatan “PNI“
untuk membedakan kelompok PNI yang terlarang. Pendidikan Nasional Indonesia
dikenal sebagai PNI-BARU sehingga kolonial tidak menganggap sebagai kelompok
politik (Rose, 1991 : 102).
Syahrir terpilih sebagai ketua
PNI–BARU dalam kongres pertama yang diselenggarakan tanggal 23 – 26 Juni 1932
di Bandung dengan jumlah anggota 2000 orang (65 cabang). Pertengahan tahun
1932, Ir. Soekarno bebas dari tahanan Suka Miskin (Bandung) mendapati PNI lama
diganti oleh dua partai yang terpisah. Sebelum Hatta sampai di Hindia Belanda,
Soekarno masuk Partindo dan pembicaraannya dengan Syahrir tidak mendapat
kemufakatan. Pada tanggal 5 Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan ujian doktoral
tanpa predikat Cum Laude. Lima tahun yang direncanakan tinggal di eropa menjadi
sebelas tahun (berusia sembilan belas - berumur tiga puluh tahun). Tanggal 20
Juli 1932 berangkat dari negeri Belanda, sampai di Singapura Hatta secara resmi
mengumumkan masuk PNI–BARU dan bulan September 1932 tiba di Indonesia, Hatta
segera aktif dalam pergerakan melaksanakan pelatihan kader yang menimbulkan “pengabdian,
keyakinan, kesabaran dan kemauan kuat“ sehingga lebih efektif dari kampanye
massa. Pertemuan Hatta dengan Soekarno pertama kali di Bandung tanggal 25
September 1932 sangat penting bersifat menentukan bagi persatuan kembali
PNI–BARU dan Partindo. Hadir dalam pertemuan tersebut, Soekarno dan Sartono
(Partindo) serta Hatta seorang dari PNI-BARU ditambah pengikut lainnya namun
pendirian pemimpin kedua belah pihak tidak bertemu (Noer, 1990 : 125).
Menghadapi persaingan partai
Hatta mempersiapkan manifesto politik bagi PNI–BARU yaitu “ke arah Indonesia
Merdeka“ sebagai pegangan partai untuk pelatihan kader, jalan yang dipakai oleh
PNI-BARU untuk mencapai tujuannya terutama mendidik rakyat dalam hal-hal
politik, ekonomi dan sosial dengan memperhatikan azas-azas kedaulatan rakyat. Soekarno
pun menerbitkan manifesto Partindo berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka“ sebagai
pimpinan berusaha menjadi anggotanya lebih besar dari PNI–BARU. Partindo
menyelenggarakan kampanye massa dan menerima anggota baru tanpa ujian
pendahuluan, Konfrontasi Hatta dan Soekarno terjadi tanggal 8 Desember 1932,
OSP (Onafhandelijke Socia Listische Partij / Partai Sosialis Merdeka) di
Belanda mengirim surat kawat kepada Hatta menawarkan pencalonan untuk Tweede
Kamer (Parlemen). Setelah berunding dengan pemimpin umum PNI-BARU, Hatta
menjawab “ nist bereid toelichting brief volgt “ (tidak bersedia penjelasan
melalui surat menyusul) dan pencalonannya untuk Tweede Kamer melanggar prinsip
nonkooperatif. Kantor berita Hindia Belanda “Aneta“ secara salah memberitakan
bahwa Hatta telah menerima tawaran tersebut. Soekarno dan Partindo memanfaatkan
berita tersebut untuk menyerang Hatta. Kedua partai meneruskan perjuangan
dengan cara masing-masing dan tanggal 31 Juli 1933 Soekarno ditangkap kedua
kalinya. Dipersalahkan memuat karangan menghasut “pikiran rakyat“ dalam buku
“Mencapai Indonesia Merdeka“. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tanggal 28 Desember 1932, Soekarno diasingkan ke Ende di pulau
Flores (Nusa Tenggara Timur) dan tahun 1938 dipindahkan ke Bengkulu di pulau
Sumatera serta pelarangan berapat kepada semua partai non kooperatif yaitu
Partindo, PNI–BARU, PSII dan PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) (Sagimun, 1989 : 191).
Penangkapan diteruskan
terhadap Hatta, Sutan Syahrir dan Bondan tanggal 25 Januari 1934 di Jakarta, ditahan
dipenjara Glodok. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda tanggal 16
Nopember 1934, Hatta (berserta kawan) dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya.
Pada tanggal 11 Februari 1936, Hatta dan Sutan Syahrir dipindahkan dari Boven
Digul ke Banda Neira di kepulauan Maluku. Mereka berkumpul dengan Dr. Cipto
Mangunkusumo serta Mr. Iwa Kusuma Sumantri. PNI-BARU tidak dibubarkan oleh
pengurusnya sesuai didikan Hatta – Syahrir sebaliknya Partindo dibubarkan oleh
pengurusnya tanggal 18 Nopember 1936 dengan alasan ruang bergeraknya sudah
sempit. Berakhirlah peranan utama dari pergerakan rakyat yang berhaluan non
kooperatif.
Pemerintah kolonial Belanda
mengambil tindakan pembuangan terhadap tokoh PNI-BARU (Pendidikan Nasional
Indonesia) ke Boven Digul. Sebelum dikirim ke Boven Digul mereka ditahan hampir
satu tahun, Hatta dan Bondan (dipenjara Glodok, Jakarta), Maskun Burhanuddin
dan Suka Sumitro di penjara Suka Miskin, Bandung, Marwoto (di penjara Banceuy,
Bandung) dan Syahrir masuk ke penjara Cipinang (Rose, 1991 : 126).
Di penjara Glodok Hatta mempersiapkan
tulisan “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme“ langsung diterbitkan. Keputusan untuk
pengasingan tujuh tokoh
PNI–BARU ke Boven Digul dikeluarkan secara resmi tanggal 16 Nopember
1934. Tuduhan terhadap Hatta bahwa “ketika tinggal di Belanda sampai tahun 1931,
ia memimpin Perhimpunan Indonesia, bertujuan untuk melakukan tindakan
revolusioner melawan pemerintah di sana”
(Rose, 1991 : 128 ).
Perintah pengasingan
diberlakukan awal bulan Januari 1935, tujuh orang tahanan PNI–BARU bergabung di
atas kapal KPM Melchior Treub yang membawa mereka sampai di Makassar.
Pelayaran diteruskan menuju Ambon dengan
pergantian kapal dan berhenti selama satu minggu. Akhir perjalanan dilakukan
dengan kapal polisi kecil bernama “Albatros“ ke pantai Irian Barat dan masuk
Muara Dungai Digul tanggal 28 Januari 1935 (Rose, 1991 : 129).
Penghuni pertama di Boven
Digul adalah sekelompok anggota PKI yang menjadi korban karena pemberontakan
tahun 1926/1927. Kaum interniran dikatagorikan, mereka yang mau bekerja, werkwillig,
kaum kooperator, mereka yang tidak mau dipekerjakan dan kaum “naturalis“
mendapat jatah makan pas-pasan serta menggunakan inisiatif (sarana pribadi)
untuk menambah jatah mereka. Sehari sesudah tiba di kampung pembuangan Boven
Digul. Para tahanan dibawa menghadap kapten Van Langen (kepala pemerintah Boven
Digul) satu persatu. Tujuan pertama, bersedia bekerja sama dengan pemerintah
kolonial mendapat upah 40 sen Gulden per hari. Pilihan kedua menjadi orang buangan
yang menerima ransum (bahan makanan) in natura. Hatta dan anggota PNI-BARU
memilih menjadi orang buangan penerima ransum in natura kecuali Marwoto (ia dan
istrinya dipengaruhi oleh Lurah Digul seorang komunis) bekerja sama dengan
pemerintah kolonial. Di Boven Digul, mereka diperlakukan sama dan memperoleh
uang F 250 dari pejabat setempat untuk membeli bahan makanan di toko Cina
(orang bebas) (Noer, 1990 : 138).
Iklim Boven Digul sangat
ganas, lingkungan tidak sehat bahkan membuat kelompok PNI-BARU kurang
bersahabat. Hatta yang biasa tenang, sabar dan teratur menjadi mudah marah,
pelupa yang menunjukkan gejala stress. Setiap anggota PNI-BARU menderita malaria
endemik namun melarikan diri sangat sulit, berbahaya bahkan tidak berguna.
Bulan maret 1935, Hatta menulis surat kepada kakak iparnya Sutan Lembag Tuah
(suami Rafi’ah) untuk membangun rumah yang bisa bertahan sekitar sepuluh tahun
agar mengirimkan peralatannya dan mengabarkan berita pembagian ransum. Surat
Hatta dimuat dalam surat kabar Indonesia dan Belanda menimbulkan reaksi marah
baik di Hindia maupun di negeri Belanda. Kaum sosialis di Tweedi Kamer mengecam
tindakan terhadap Hatta tetapi Perdana Menteri Dr. Colijn (pemimpin
partai anti revolusi) menekankan bahwa perjuangan Mohammad Hatta di Boven Digul
tidak dimaksudkan menghancurkan namun mengasingkan dari masyarakat (Rose, 1991
: 134).
Kepala pemerintahan Boven
Digul Kapten Van Langen digantikan Kapten Wiarda, menyampaikan telegram dari
pemerintah Belanda (bulan Nopember 1935) kepada Hatta dan Syahrir akan
dipindahkan ke Banda Neira.
Di Banda Neira terdapat tokoh
pergerakan yang dibuang terlebih dahulu yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo (15
Desember 1927) dan Iwa Kusuma Sumantri (bulan Juli 1929) memperoleh uang saku
masing-masing f 175 sebulan. Hatta memperoleh uang saku f 75 sebulan ( termasuk
Syahrir ). Dengan uang saku f 75 sebulan, dapat menyewa rumah yang agak besar
untuk perpustakaan serta memperkerjakan seorang pembantu. Kegiatan Hatta dan
Syahrir mengajar pemuda setempat dua kali seminggu termasuk anak Dr. Cipto
Mangunkusumo, dua orang tamatan MULO Bukittinggi (Sumatera Barat) serta tahun
1939 seorang lulusan SMA Taman Siswa mereka dikirim oleh Anwar Sutan Saidi
(Direktur Bank Nasional). Pelajaran yang diberikan berbeda-beda yaitu
bersangkutan dengan keperluan praktis perusahaaan (tata buku, ekonomi,
soal-soal perdagangan) dan partai politik. Meskipun dilarang berpolitik secara
terbuka, keempat itu memanfaatkan kebebasan yang mereka miliki untuk merongrong
pengaruh kuat Belanda di Banda Neira. Iwa Kusuma Sumantri dan Syahrir memadukan
pengetahuan mereka tentang hukum untuk memberikan jasa bantuan hukum bagi
rakyat kampung mengenai kasus-kasus penyalahgunaan hak tanah. Hatta membantu
mengorganisir gerakan koperasi dikalangan petani (Rose, 1991 : 140).
Bulan Desember 1941, berita
mengenai serangan Jepang yang menghancurkan Pearl Harbour mengguncangkan
keyakinan pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Van Starken Borgh Stachouwer
mengeluarkan pengumuman bahwa Hindia Belanda dalam keadaan perang. Banda Neira segera dimobilisir ke dalam berbagai
kegiatan pertahanan sipil dan secara cepat (Hatta/Syahrir) mengambil bagian di
dalamnya, Hatta ditugasi mengatur distribusi makanan, Syahrir bekerja untuk
pemantauan melalui radio. Pada tanggal 1 Februari 1942, Hatta dan Syahrir
dipindahkan dari Banda Neira ke Jawa dengan pesawat amfibi Amerika “Catelina“
atas dasar desakan pengusa kolonial dan tanggal 8 Maret 1942, Hatta dibebaskan
oleh Jepang kemudian pindah ke Jakarta (Rose, 1991 : 148).
Tokoh pergerakan nasional Iwa
Kusuma Sumantri dan Dr. Cipto Mangunkusumo sejak tahun 1939 dan 1940 telah
dipindahkan ke Makassar.
4.2.
Perjuangan Politik Mohammad Hatta Masa
Penjajahan Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh Jepang terhadap
hegemoni bangsa kulit putih sejak perebutan benteng Port Arthur pada tahun 1905
dari Rusia sampai meletusnya perang Pasifik melawan Sekutu, penduduk negeri jajahan
di Asia Tenggara menyambut kemenangan Jepang. Khususnya rakyat Indonesia,
sehingga memberikan kesan bahwa akan mendukung gerakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Ketika tentara Jepang mendarat, rakyat Indonesia menyambut dengan
gembira dan bersyukur bebas dari belenggu penjajah Belanda. Seluruh rakyat
Indonesia percaya kepada kemampuan penguasa Jepang. Setelah penyerahan pihak
Belanda tanggal 8 Maret
1942 dari Jenderal Ter Poorten kepada Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati
(Jawa Barat). Pemerintah Militer Jepang memerlukan dukungan penduduk dan kerja
sama dengan tokoh nasionalis (Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta). Jika menolak
mengandung resiko yang sangat besar sebab fasisme dan sifat peperangan akan
menyebabkan hukuman yang lebih kejam dari pembuangan ke Boven Digul dalam masa
penjajaan Belanda, pemimpin nasionalis Indonesia (Ir. Soekarno dan Mohammad
Hatta) jaman penjajahan Hindia Belanda bersikap “non kooperatif“ tetapi jaman
pendudukan Jepang mereka berjanji bekerja sama sampai Indonesia merdeka dikenal
sebagai Dwi – Tunggal (Sumarno, 1984:22).
Jepang menilai perlu saluran
untuk menampung hasrat dan keinginan politik rakyat demi keuntungan perang
Jepang. Atas dorongan bagian penerangan (sedenbu) tanggal 29 April 1942 dibentuk
gerakan “Tiga A“ (Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia, Nippon cahaya
Asia). Tokoh bangsa Jepang dalam gerakan Tiga A adalah Shimizu Hitoshi
dan diangkatlah Mr. Syamsudin sebagai ketua gerakan Tiga A. Pergerakan ini,
tidak mendapat sambutan hangat dari pemimpin utama pergerakan dan kurang
mendukung usaha perang Jepang. Hatta menjauh dari gerakan Tiga A bahkan
menasihati Soekarno untuk tidak bergabung dengan pergerakan tersebut.
Berdasarkan kutipan dapat dikemukakan penyebab Hatta menghindari gerakan “ Tiga
A “ yaitu :
“Jepang terlalu campur tangan di dalamnya
dan pergerakan itu tidak menjadi pergerakan nasional ( rakyat ) serta
orang-orang Cina dan Indo yang sebelumnya tidak perduli dengan pergerakan
nasional, turut membantunya dengan maksud-maksud kepentingan diri” ( Noer, 1990
: 191 ).
Pada tanggal 20 Nopember 1942
gerakan “Tiga A“ dibubarkan dan membentuk organisasi baru bernama PUTERA (Pusat
Tenaga Rakyat) berdiri tanggal 9 Maret 1943. Pemimpin PUTERA dipegang oleh
tokoh nasionalis Indonesia yang dikenal sebagai “Pemimpin Empat Serangkai“ (Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansur). Di
dalam PUTERA kepentingan tentara Jepang dan bangsa Indonesia sejajar dan searah
jalannya. Tujuan PUTERA bagi Jepang untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat
dalam rangka membantu usahanya menghadapi Sekutu (Amerika, Inggris, Perancis,
Belanda). Empat Serangkai (Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan
Kyai Haji Mas Mansur) Oleh Jepang dianggap sebagai lambang di dalam pergerakan
nasional demi kepentingan Jepang. Bagi pemimpin Indonesia “PUTERA “ sebagai tempat
dan sarana menggembleng jiwa nasionalisme serta memberikan semangat kemerdekaan
untuk seluruh rakyat Indoesia. Tentara Jepang menyadari kegiatan PUTERA banyak
memberikan manfaat bagi usaha-usaha mencapai tujuan pergerakan nasional dari
membantu peperangan Jepang. Akhir tahun 1943, PUTERA dibubarkan atas kehendak
pemerintah bala tentara Jepang di Jawa dan tanggal 1 Maret 1944 didirikan
himpunan kebaktian rakyat Jawa (bahasa Jepang Hokokai). Pimpinan Jawa Hokokai
lebih didominasi oleh Jepang sebagai ketua Mayor Jenderal Yamamoto (Kepala
Kantor Hokomubu / umum). Ir. Soekarno berfungsi sebagai kepala kantor Hokokai
yang diketuai oleh Hayashi Kyujiro (Penasihat pada pemerintahan militer
jepang). Pihak tentara Jepang mempergunakan pemimpin Bangsa Indonesia untuk
memudahkan Jepang memperoleh bantuan dan partisipasi rakyat Indonesia dalam
perang melawan sekutu sedangkan pemimpin bangsa Indonesia (Soekarno – Hatta)
mempergunakan kerja sama dengan Jepang, mempersiapkan rakyat secara fisik dan mental menghadapi perjuangan
kemerdekaan yang akan menjadi kenyataan (Sagimun, 1989 : 223).
Terhadap golongan Islam Jepang
sangat menaruh perhatian sebab sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam.
Pada tanggal 13 Juli 1942 pemerintah kedudukan tentara Jepang menghidupkan kembali
Majelis Islam A’la Indonesia
(MIA’I) didirikan oleh Kyai Haji
Mas Mansur. Organisasi Islam MIA’I dianggap kurang dinamis untuk membantu usaha
perang Jepang sehingga tanggal 24 Oktober 1943 secara resmi MIA’I dibubarkan.
Di bentuk organisasi Islam baru bernama Majelis Muslimin Indonesia (Masyumi)
dan disahkan oleh Gunseikan (Kepala pemerintahan Militer Jepang pada tanggal 22
Nopember 1943 mendirikan organisasi pemuda berumur 14-22 tahun), Keibodan
(barisan pembantu polisi berumur 20-35 tahun), Heiho (pembantu prajurit Jepang)
berdiri bulan Agustus 1943, Suisyintai (badan dan pelopor ) berdiri 1
Nopember 1944, dan Jibakutai (barisan berani mati) beridiri tanggal 1 Nopember
1944. Semua badan tersebut digunakan mempersiapkan terbentuknya alat peperangan
Jepang tetapi dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia bagi pemupukan kader-kader
bangsa yang berilmu militer karena jaman penjajahan Belanda tidak pernah
dibentuk (C.S.I kansil dan Julianto, 1993 : 43).
Pertengahan tahun 1944
kedudukan tentara Jepang di dalam perang pasifik makin terdesak oleh tentara
Sekutu pimpinan Jenderal Douglas Mac. Arthur. Pada tanggal 17 Juli 1944 kabinet
Hideki Tojo jatuh sebagai pengganti diangkatlah Jenderal Kuniaki Koiso menjadi
Perdana Menteri Jepang. Menyadari kedudukan semakin sulit, Jepang terpaksa
berusaha mengambil hati rakyat Indonesia maka tanggal 7 September di dalam
sidang Parlemen Jepang yang ke 85 di Tokyo, Perdana menteri Kuniaki Koiso
mengumumkan bahwa pemerintah Dai Nippon (Pemerintah Jepang) memperkenankan
Indonesia merdeka “kelak kemudian hari“.
Kekalahan Jepang tinggal menunggu waktu, Panglima tentara Jepang (Saiko
Shikian) yakni Kumacciki Harada tanggal 29 April 1945, mengumumkan pembentukan
BPUPKI (Badan Penyelidik
usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Dokuritsu Junbi Coosakai )
beranggotakan 62 orang berasal dari segenap daerah Indonesia yang diketuai Dr.
K.R.T Radjiman Wedyodiningrat. BPUPKI dilantik tanggal 28 Mei 1945 melakukan sidang pertama tanggal 29 Mei 1945
sampai 1 Juni 1945 membahas rumusan dasar dan falsafah bagi negara Indonesia
merdeka. Sidang kedua tanggal 10-17 Juni 1945 pembicaraan dipusatkan pada
soal-soal undang-undang dasar negara Indonesia merdeka diketuai Ir. Soekarno. BPUPKI
dibubarkan tanggal 7 Agustus 1945 sebagai gantinya dibentuk PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ Dokuritsu Junbi Iinkai) beranggotakan 21 orang
sebagai ketua Ir. Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta (Sagimun, 1989 : 265).
Pihak Jepang tidak
menghiraukan apa yang diperbuat oleh Bangsa Indonesia sebab tanggal 6 Agustus
1945 bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima berpenduduk
350.000 orang. Akibat bom atom lebih dari 70.000 orang tewas dan meninggal
dalam keadaan mengerikan. Untuk menarik hati bangsa Indonesia, panglima
angkatan perang Jepang untuk Asia Tenggara Marsekal Terauchi bermarkas di
Dallath terletak 300 kilomester di sebelah utara kota Saigon, Ibu kota Vietnam
Selatan meminta kepada tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia yaitu :
1. Ir.
Soekarno
1. Mohammad Hatta
2. Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat
Mereka disertai dua orang
bangsa Jepang sebagai pengantar dan juru bahasa yaitu Nomura dan Miyoshi.
Tanggal 12 Agustus 1945 tiba di Dallath dan Jenderal Besar Marsekal Terauchi menyampaikan
kepada Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan dr. Rajiman Wedyodiningrat bahwa
pemerintah Dai Nippon sudah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada
Bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 ketiga orang pemimpin Indonesia
berangkat ke Jakarta. Banyak peristiwa yang terjadi tidak diketahui tiga orang
pemimpin Indonesia yang datang ke Dallath. Hal itu sengaja dirahasiakan serta
ditutup-tutupi oleh pemimpin tentara Jepang. Sebelum ketiga orang pemimpin
tentara Jepang. Sebelum ketiga orang pemimpin Indonesia tiba di Jakarta,
tanggal 9 Agustus 1945 Sekutu/Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang ke dua
di kota Nagasaki lebih dari 75.000 orang tewas. Sesungguhnya Amerika memiliki
dua bom atom tetapi takut ketinggalan dalam arena perebutan wilayah dan
pengaruh dibelahan pasifik mengambil tindakan lebih dahulu. Akhirnya Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 (Asmadi, 1985 :
52).
4.2.1
Peranan Mohammad Hatta menjelang
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Berita penyerahan Jepang telah
diketahui oleh sebagian pemimpin Indonesia, terutama pemimpin pemuda menganggap
suatu kesempatan dan semangat memikirkan langkah-langkah mencapai Indonesia
merdeka. Kelompok pemuda dengan jiwa kepemudaannya menginginkan proklamasi
secara revolusioner untuk membuktikan bahwa proklamasi hasil jerih payah
sendiri tanpa campur tangan Jepang. Kelompok tua (Soekarno – Hatta) ingin
berbicara dengan Jepang melalui rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). Perbedaan pendapat terjadi antara kelompok tua (Soekarno – Hatta)
dan kelompok muda (Sukarni - Chaerul
Saleh) tetapi mempunyai tujuan yang sama mencapai kemerdekaan Indonesia. Wujud
pelaksanaannya yang berbeda, mereka takut (Soekarno – Hatta) tetap di Jakarta
akan diperalat Jepang maka jam 4.30 pagi, tanggal 16 Agustus 1945 pemuda
dibawah pimpinan Sukarni, Jusuf Kunto
dan Syodanco Singgih (Komandan Peleton) membawa Soekarno – Hatta ke Rengas
Dengklok di sebelah utara Karawang tempat kedudukan sebuah kompi Tentara peta
dibawah komando Syodanco Subeno (daerah diambil alih dari tentara Jepang).
Proklamasi tidak dapat dipaksakan oleh sekelompok radikal di bawah pimpinan
Sukarni (Suhartono, 1994 : 140).
Akhirnya dicapai kesepakatan
antara Mr. Ahmad Subardjo yang mewakili kelompok tua dengan Wikana mewakili
kelompok muda bahwa proklamasi harus dilakukan di Jakarta. Pada hari kamis,
tanggal 16 Agustus 1945 jam 18.00 WIB (jam enam sore ) Mr. Ahmad Subardjo bersama
Sudiro yang dikawal oleh Jusuf Kunto menjemput Soekarno – Hatta di Rengas
Dengklok. Soekarno - Hatta tiba di
Jakarta pukul 23.30 WIB, terjadi kesibukan luar biasa, untuk kepentingan ini,
Laksamana Muda Tadashi Maeda (Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang) menyediakan
rumahnya tempat berunding serta menjamin keselamatan mereka selama berada di
rumahnya (sebuah tempat yang mempunyai kedudukan disebut “Extra territorial“ yakni daerah menurut adat
kelaziman Jepang harus dihormati oleh Rikugun (Angkatan Darat
Jepang) (Sagimun, 1989 : 297).
Di ruang makan rumah Maeda
dirumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa yang bersejarah
berlangsung Laksamana Muda Tadashi Maeda tidak hadir tetapi Miyoshi (Perwira
angkatan darat Jepang) sebagai orang kepercayaan Mayor Jenderal Otoshi
Nishimura (Direktur/Kepala Departemen umum pemerintah Militer Jepang). Bersama
Sukarni, Sudiro dan B.M Diah menyaksikan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan Mr.
Ahmad Subardjo membahas naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Ir . Soekarno
menuliskan konsep proklamasi sedangkan Mohammad Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo
menyumbangkan pikiran secara lisan. Jam 04.30 naskah proklamasi telah selesai
dibuat, dibawa ke ruang muka tempat anggota PPKI dan atas usul Sukarni
naskah itu ditandatangani oleh Soekarno
– Hatta “ Atas nama bangsa Indonesia “. Atas perintah Ir. Soekarno – Hatta naskah
proklamasi diketik oleh Sayuti Melik sesuai dengan tulisan tangan Ir. Soekarno
disertai perubahan-perubahan yang telah disetujui rapat (Sagimun, 1989 : 302).
Pada tanggal 17 Agustus 1945
di rumah kediaman Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56, sejak pagi diadakan persiapan untuk menyambut peristiwa
penting dalam sejarah Indonesia. Kurang lebih 1000 orang hadir menyaksikan
walaupun ada larangan dari Saiko Shikikan (pembesar nomor satu Jepang di
Indonesia). Terlebih dahulu dilakukan upacara penaikkan bendera pada tiang
bambu dan seutas tali oleh Cudanco Latief Hendraningrat, berpakaian lengkap
peta dan pedang Tanaka (Samurai) diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang
dinyanyikan para hadirin. Kemudian dua tokoh pemimpin bangsa Indonesia
(keduanya berpakaian putih-putih) menuju ke serambi muka, Ir. Soekarno
didampingi Mohammad Hatta tampil ke muka mikrofon. Pada hari Jum’at legi (bulan
ramadhan) tanggal 17 Agustus 1945, jam 10.30 (waktu jaman Jepang) atau jam 10.00 WIB Teks proklamasi
kemerdekaan Indonesia dibacakan Ir.
Soekarno Bunyi Teks Proklamasi tersebut :
P R O K L A M A S I
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l,
diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno – Hatta
Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dengan cepat disiarkan ke seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri
melalui berbagai media (radio, surat kabar, mulut ke mulut, kurir, surat
selebaran dan lain-lain) baik secara “rahasia“ (untuk menghindari rombongan
kaum reaksioner yang anti revolusi atau pihak penjajah yang tidak rela atas
peristiwa bersejarah itu) maupun secara terbuka (Hatta, 1982 : 456).
BAB V
SIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan
pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut :
1.
Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, keadaan Indonesia telah diperkenalkan di luar negeri
(Negeri Belanda) dalam organisasi Perhimpunan Indonesia mengenai kekejaman
penjajahan. Gerakan ini dilakukan para mahasiswa Indonesia
diantaranya adalah Mohammad Hatta, namun pemerintah Belanda menanggapi secara
negatif bahkan menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh Pergerakan Indonesia
tersebut. Perjuangan mereka dilakukan tidak terhenti dan dilanjutkan melalui
PNI-BARU. Perjuangan oleh PNI-BARU pun mendapat tentangan yang keras bahkan
para tokoh-tokohnya di internir oleh pemerintah Belanda ke Boven Digul dan
Banda Naire.
2.
Dengan
menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, maka dengan resmi Indonesia di bawah pemerintahan Jepang dan
perjuangan Mohammad Hatta dilanjutkan melalui Organisasi PUTERA yaitu
organisasi bentukan Jepang dengan tujuan untuk membujuk kaum nasionalis Indonesia dan
para pemimpinnya sebagai alat untuk mengabdikan diri dalam usaha memenangkan
perang. Pada dasarnya Mohammad Hatta menentang setiap penjajahan tetapi atas
pertimbangan oportunis perlu bekerja sama dengan Jepang untuk mencapai Indonesia
merdeka.
3.
Detik-detik
proklamasi terjadi pertentangan antara kelompok muda (Sukarni-Chairul Saleh)
yang menghendaki kemerdekaan Indonesia
secara revolusioner, sedangkan kelompok tua (Soekarno-Hatta) menginginkan
kemerdekaan melalui PPKI bentukan Jepang. Pemuda mengadakan pengambilan secara
paksa terhadap Soekarno Hatta dan dibawa ke Rengas Dengklok. Akhirnya tanggal
17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan Indonesia
dibacakan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
5.2
Saran
Dari hasil kajian penulis, maka
penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Penulis mengharapkan agar semangat perjuangan
tanpa pamrih dari pemimpin Bangsa Indonesia berupa rela berkorban baik harta, tenaga
maupun nyawa perlu dimiliki oleh setiap generasi muda sebagai penerus cita-cita
bangsa.
2. Dalam mengisi kemerdekaan ini, penulis berharap
isilah kemerdekaan menurut cita-cita dan kemampuan yang dimiliki. Berbakti
kepada bangsa dan negara berarti melanjutkan perjuangan dan tidak
menyia-nyiakan pengorbanan yang ditempuh para pemimpin terdahulu karena
kemerdekaan Indonesia
diperoleh dari hasil perjuangan dengan tetesan darah.
3. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam
pendidikan sejarah, penulis menghimbau agar kita semua hendaknya selalu
mencintai sejarah bangsa sendiri. Karena dengan memahami sejarah bangsa sendiri
akan menjadi dasar bagi kita untuk melangkah maju ke depan dalam mengisi
pembangunan nasional.
4. Sebagai generasi muda dan penerus cita-cita
bangsa, marilah kita galakkan rasa cinta kita akan nilai-nilai sejarah yakni
dengan mengadakan penelitian di berbagai
bidang sejarah.
5. Keberadaan sejarah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara sangatlah penting, untuk itu penulis menghimbau agar menggunakan
peristiwa-peristiwa sejarah sebagai cermin dalam melangkah ke masa depan. Kita
harus mengambil manfaat positif dari suatu peristiwa sejarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. 1999. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu.
Anwar, Yozar. 1998. Pergolakan
Mahasiswa Abad Ke 20. Jakarta:
Sinar Harapan.
Asmadi. 1985. Pelajar Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan.
Culla, Adi Suryadi. 1999. Patah
Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta:
Grafindo Persada.
Farida Swasono, Meutia. 1980. Bung
Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta:
Sinar Harapan.
Hatta,
Mohammad. 1980. Berpartisipasi Dalam
Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Jakarta: Yayasan
Idayu.
_______________.
1982. Memoir. Jakarta: Tintamas
_______________. 1995. Pemikiran
Pembangunan Bung Hatta. Jakarta:
LP3ES.
Idayu, Yayasan. 1982. Bung Hatta
Kita, Dalam Pandangan Masyarakat. Jakarta:
Inti Idayu Press.
Imran, Amrin. 1984. Mohammad Hatta, Pejuang,
Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya.
Indra, Ridwan, Mohammad dan Sophian Marthabaya. 1987. Peristiwa-Peristiwa di Sekitar Proklamasi
17-8-1945. Jakarta:
Sinar Grafika.
1. Kansil, C.S.T dan Julianto. 1993. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.
Jakarta:
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan
Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kunto Wijoyo.
1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M.D, Sagimun. 1986. Peranan Pemuda
Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi. Jakarta:
Bina Aksara.
____________.
1989. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang.
Jakarta: Inti
Idayu Press.
____________, Sutrisno Kutoyo, dan Mardanas
Sapwan. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Materu, Daeng, Mohamad Sidky. 1985. Sejarah
Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia.
Jakarta: Gunung
Agung.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.
Noer, Deliar. 1991. Mohammad Hatta
Biografi Politik. Jakarta:
LP3ES.
Poespo Negoro, Marwati Djoenet dan Nugroho
Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V dan VI. Jakarta:
Departemen P dan K.
Pringgodigdo, A.K. 1991. Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
Renier. GJ (Diterjemahkan oleh Muin Umar). 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, H.C. 1991. Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press.
Rose, Mavis. 1991. Biografi
Politik Mohammad Hatta. Jakarta:
Gramedia.
Sastradinata, Kosoh. 1986. Sejarah
Indonesia. Jakarta:
Karunia.
Sudiro. 1975. 45 Tahun Sumpah
Pemuda. Jakarta:
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah.
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia
Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta:
Bina Aksara.
Suhartono. 1994. Sejarah
Pergerakan Nasional. Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumarno, Hari, Kohar. 1984. Manusia
Indonesia
Manusia Pancasila. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara.
Wijaya, I.Wangsa. 2002. Mengenang
Bung Hatta. Jakarta:
Gunung Agung.
Yasni, Z. 2002. Bung Hatta
Menjawab. Jakarta:
Gunung Agung.