" My Parent "
Tampilkan postingan dengan label Waqof. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Waqof. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Oktober 2011

Waqof


Kata waqof berasal dari bahasa Arab "waqf`, artinya menahan. Pengertiannya adalah menahan (tidak dijual, tidak dihadiahkan, dan tidak diwariskan) suatu benda supaya dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan. Misalnya mewaqofkan masjid, atau tanah untuk madrasah, pondok pesantren, rumah sakit, dan lam sebagainya.

Waqof dilakukan pertama kali oleh Umar ra. atas nasihat Rosulullah saw. Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khoibar. Ia bertanya kepada Rosulullah saw. "Apakah perintahmu kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang saya dapatkan ini?" Rosulullah saw. menjawab. "Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya." Dengan nasihat tersebut lalu Umar menyedekahkan manfaat tanahnya dengan perjanjian tidak akan menjual atau menyedekahkan atau mewariskan tanahnya itu." (HR. Bukhori Muslim). Waqof ini termasuk perbuatan baik yang dianjurkan oleh Allah SWT. "Kamu tidak akan memiperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pirn yang kamu infakkan, tentang halitu sungguh Allah Maha Mengetahui." (QS. 3/Ali Imron: 92). "Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung." (QS. 22/Al-Hajj: 77).

Kelebihan waqof dibandingkan dengan sedekah yang lain, adalah pahalanya yang akan terus-menerus mengalir, sekalipun or­ang yang mewaqofkannya telah meninggal dunia. Tentu saja dengan catatan selama barang yang diwaqofkan itu dapat diambil manfaatnya oleh orang lain. Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda: "Apabila seseorang mati, selesailah amalnya (maksudnya amal kebaikannya itu tidak bertambah lagi), kecuali tiga perkara:

1) waqoff;

2) ilmu yang bermanfaat (baik dengan jalan mengajarkannya atau menuliskannya dalam buku) untuk orang lain); dan

3) anak yang saleh yang selalu mendoakan orang-tuanya." (HR. Jamaah ahli hadis, selain Bukhori dan Ibnu Majah).

Rukun waqof ada empat, yaitu:

1.  orang yang berwaqof (wakif), syaratnya:

a.       berakal dan telah dewasa.

b.      kehendak sendiri, tidak sah waqofnya karena dipaksa.

2.  barang yang diwaqofkan (maukuf), syaratnya milik wakif sepenuhnya, bersifat abadi, dan dapat diambil manfaatnya tanpa berakibat kerusakan.

3.  tujuan waqof (maukuf alaih) sesuai dengan sedekah, atau setidaknya merupakan hal yang dibolehkan (mubah) dalam ajaran Islam seperti waqof tanah untuk kuburan atau lapangan olah raga.

Apabila waqof tersebut ditujukan kepada kelompok tertentu haruslah jelas, sehingga segera dapat diserahterimakan setelah waqof diikrarkan. Jika waqof itu bertujuan membangun tempat-

tempat pendidikan seperti pondok pesantren atau tempat-temp£ ibadah umum, maka haruslah ada suatu badan hukum vans dapat menerimanya.

4.        pernyataan waqof (sighot)dapat dengan lisan, tetapi lebih baik secara tertulis. Tujuannya agar dapat diketahui dengan jelas, untuk menghindari terjadinya persengketaan di kemudianhaii Dalam hal ini pernyataan menerima (qobul) dari orang van? menerima tidak diperlukan lagi.

Syarat-syarat waqof.

1.        untuk selamanya, berarti tidak dibatasi waktu.

2.        tunai, harus diserahkan saat diikrarkan.

3.        secara jelas kepada siapa barang tersebut diwaqofkan.

Masalah lain yang perlu diketahui tentang waqof ini, adalah apabila manfaat barang waqof itu sudah tidak dapat dinikmatilagi, maka boleh dijual. Uang dari hasil penjualan tersebut harus dibelikan gantinya. Misalnya menjual masjid yang tergusur, maka uang dari penjualan masjid tersebut harus digunakan untuk membangun masjid kembali di tempat yang lain.

Ibnu Taimiyah menyatakan, "Sesungguhnya yang menjadi pokok di sini guna menjaga kemaslahatan. Allah SWT menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah telah mengutus pesuruh-Nya menyempurnakan kemaslahatan dan menghindari segala kerusakan."

Allah berfirman, Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, "gantikan aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. 7/Al-`Arof: 142).