" My Parent "
Tampilkan postingan dengan label Studi singkat kasus Aminah Wadud. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Studi singkat kasus Aminah Wadud. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 April 2011

Feminisme dalam Ibadah (Studi Singkat Kasus Aminah Wadud)

Kasus ini sebetulnya sudah agak usang dibenak kita. Namun yang hendak dibedah dalam rubrik ini bukan dari apek berita yang gampang kadaluwarsa. Melainkan sebuah studi kasus hingga tetap menarik disimak dan menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Yang jelas hikmah dibalik peristiwa tersebut, kita merasa umat Islam sejak memasuki masa taqlid, hingga kini, yang diidentifikasikan sebagai masa kebangkitan Islam (al-Shahwah al-Islamiyah) masih belum mampu merumuskan skala prioritas (fiqh awlawiyat) sebagai peta pergerakan. Dalam banyak kasus, kita lebih suka bikin sensasi daripada membuat gerakan yang punya dampak sosial positif. Akibatnya, kadang hal-hal penting bagi kepentingan masa depan, seperti isu pendidikan, kemiskinan, atau lingkungan hidup merasa bukan bagian dari ajaran Islam.

Syahdan, Jum"at (18/3/2005), adalah hari "bersejarah" bagi umat Islam. Bagaimana tidak? Setelah kurang lebih 14 abad yang lalu, semenjak Islam lahir, baru kali ini ada seorang wanita tampil menjadi khatib, sekaligus imam shalat jum"at. Dia adalah Dr Amina Wadud, profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University.

Kontan saja, momen langka dan kontroversial ini memancing polemik keras dan
beragam tanggapan. Satu sama lain saling bertentangan secara diametral, antara yang menolak dan yang meneguhkan. Beberapa media cetak di Timur Tengah menjadikannya sebagai headline berita selama berhari-hari. Bahkan, beberapa diantaranya menyediakan rubrik khusus. Di Dunia Arab, Mesir khususnya, kasus ini menjadi perdebatan hangat dari mulai masyarakat awam hingga ulama kelas dunia. Sebut saja, Prof. Dr. Sayyed Thanthawi (Grand Syeikh al-Azhar), Syeikh Yusuf Qardhawi, hingga para ulama-pemikir lainnya, ikut-ikutan memperbincangkan.

Dalam tulisan ini, sekurang-kurangnya ada dua demensi yang akan kita telaah sebagai studi kasus: Pertama, dimensi hukum (Fiqh): sahkah shalat jum"atnya Dr. Amina Wadud berikut jamaah-nya?. Kedua, dan ini yang terpenting dilihat dari dimensi sosial: sejauh mana daya efektivitas momen ini dalam pemberdayaan sumber daya wanita? 

Dimensi Hukum

Terlepas dari adanya perbedaan sikap para ulama mengenai status boleh tidaknya seorang wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki (yang akan dibahas), kita berpikir, pada akhirnya shalat jum"at Dr. Amina Wadud, cs, dalam perspektif fiqh, tetap dihukumi tidak sah (wallahu ‘alam). Kenapa? Karena perbuatannya tetap tidak menemukan celah justifikasi hukum, legal-formal. Dalam hal ibadah, kaidah yang berlaku adalah: al-ashlu fi al-ibadah al-hurmah illa ma dalla al-dalil "ala ibahatihi (bahwa hukum asal dalam lingkup ibadah adalah ikut pada apa yang telah digariskan). Atau dalam bahasa lain: al-ittiba" fi al-din, wal ibtid"a fi al-dunya (dalam urusan ibadah, kita hanya ikut pada apa yang diperintah Allah, sedang untuk masalah duniawi, menyangkut hubungan sosial/mu"amalah, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi). Kaidah ini amat bijak dan sangat sarat dengan nuansa perikemanusiaan. Allah tidak menghendaki hambanya menambah beban berat dalam hal ibadah, apalagi sampai menyusahkan diri sendiri, cukup melaksanakan apa-apa yang telah digariskan. 

Membaca praktek ritual jum"at yang dilaksanakan Amina Dawud, minimal ada tiga problem hukum (fiqh) yang perlu dipersoalkan. Pertama, apakah boleh seorang wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki? Kedua, bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Ketiga, adakah dalil, atau pendapat fuqaha yang memperbolehkan shalat jum"at ala Dr. Amina Wadud, dimana wanita bercampur satu baris (shaf) dengan laki-laki, apalagi beberapa diantaranya tak berkerudung.

Di bawah ini, kita akan coba mengurai secara ringkas jawaban ketiga pertanyaan tersebut: Untuk soal pertama: Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas
ulama, termasuk mazhab empat (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi"iyyah, Hanbaliyah) mengatakan tidak boleh seorang wanita menjadi imam untuk makmum laki-laki. Bahkan dalam mazhab mazhab Maliki ada pendapat yang mengatakan, seorang wanita mutlak tidak boleh menjadi imam shalat, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. 

Sementara minoritas kalangan ulama yang diwakili Imam al-Thabari, Abu Tsaur, dan al-Muzani menyatakan bahwa seorang wanita boleh dan sah menjadi imam shalat secara mutlak, baik makmumnya laki-laki, maupun wanita. Mereka bersandar pada hadits Ummi Waraqah -riwayat Abi Dawud dan al-Daraqutni- di mana Nabi mengizinkan Ummi Waraqah menjadi imam shalat bagi keluarganya. Padahal, dalam keluarganya ada yang berjenis kelamin laki-laki.
 
Namun dalil dari kalangan minoritas ini ‘dimentahkan’ oleh mayoritas ulama, bahwa kasus Ummi Waraqah terjadi dalam konteks shalat sunnah, bukan shalat fardhu, atau khusus untuk mengimami keluarganya yang berjenis kelamin wanita saja. Kemungkinan lain, benar bahwa Ummi Waraqah diizinkan menjadi imam untuk laki-laki, akan tetapi kasus ini lebih sebagai khususiyah dari Nabi yang berlaku hanya untuk Ummi Waraqah. Jadi tidak bisa diqiyaskan, bahwa wanita lain pun boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki. Secara ringkas, boleh tidaknya wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki adalah khilaf. Pada titik nadir ini, apa yang dilakukan Amina Wadud, yakni pada tataran konteks wacana wanita jadi imam, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Justru yang baru di sini adalah ranah aplikasinya hukum setelah sekian abad lamanya belum pernah terjadi dalam sejarah panjang Islam. (Ibn Rusyd dengan sangat baik mendokumentasikan perdebatan ini di Bidâyah al-Mujtahid wa Nihayâh al-Maqashid, cet. Dar al-Manar, jilid 1, hal. 125) - (lihat juga pendapat Imam Syafi"i dalam al-Umm, cet. Dar al-Fikr, Beirut,1990, jilid 1, hal 191). Soal kedua, tentang bolehkah seorang wanita menjadi khatib jum"at? Sejauh bacaan saya, tidak satu ulama pun yang memperbolehkan. Hal ini sempat diperkuat juga oleh Mufti Mesir: Syeikh "Ali Jum"ah (Sawt al-Azhar, 25/3/2005). Dan karena problem inilah saya kemudian berkesimpulan shalat Jum"atnya Dr. Amina Wadud, cs, ‘bermasalah’.

Soal yang terakhir, dari berbagai penelusuran beberapa sumber, tampaknya praktek shalat yang dilakukan oleh Amina Wadud, di mana shaf shalat antara laki-laki dan wanita dicampur, selain menyisakan kesan provokatif, juga nampak problematis dalam kacamata hukum; haruskah wacana kesetaraam gender diseret ke ruang ibadah? Apa manfa"atnya?

Dimensi Sosial

Selain menuai reaksi keras, apa kira-kira ‘sesuatu’ yang didapatkan oleh Dr. Aminah Wadud jika melihat kemaslahatan atau skala prioritas di level sosial? Melihat reaksi keras orang-orang yang menentang Dr. Aminah Wadud, saya melihat, bahwa reaksi orang-orang yang kontra, tidak murni karena merasa Dr. Amina telah mendobrak otorianisme dan hegemoni Fiqh yang telah mapan semenjak 14 abad lalu. Ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan, sisi implementasi di lapangan. Pada sisi ini, saya menilai Dr. Amina telah bertindak tidak bijak. Coba pembaca perhatikan. Dari tayangan beberapa media, tampak ada beberapa hal kontroversial yang tidak pernah dilakukan dalam ritual shalat jum"at selama 14 abad lalu, siang itu, secara sekaligus dipraktekan dengan vulgar dan provokatif. Misalnya:

1. Imam dan Khatibnya seorang wanita
2. Yang adzannya juga seorang wanita, tanpa berjilbab lagi
3. Shof (barisan) shalat antara laki-laki dan wanita campur
4. Dilakukan di sebuah Gereja

Akhirnya, bagi yang kontra, mari kasus di atas kita jadikan media intropeksi diri, jangan-jangan kegiatan mereka hanyalah reaksi dan protes sosial atas adanya semacam diskriminasi terhadap ruang gerak wanita dipanggung publik. Yang pasti Islam sangat menghargai kaum wanita dan mendukung untuk maju terus dalam berbagai aspek.