" My Parent "
Tampilkan postingan dengan label Sejarah hidup Muhammad SAW ( Pemilik Gelar Al-Amin ). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah hidup Muhammad SAW ( Pemilik Gelar Al-Amin ). Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Mei 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pemilik Gelar Al-Amin


REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia  dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga,  kadang  pergi  bersama  mereka   ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz,  mendengarkan sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh penyair-penyair Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat. 

Ia mendambakan cahaya hidup yang  akan lahir dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan  kejujuran  hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan  kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia  menyebutkan  saat-saat yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing. Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala  kambing keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam  pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. 

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam  perbuatan  dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta  kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang  membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya.  Dan memang  tidak  pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari  segala  pengaruh materi. 

Bukankah  dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan  serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama  hidupnya.
Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.

Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang  berpunya.  Keadaan makin menekan  kita juga. Aku mendengar,  bahwa  Khadijah mengupah orang dengan dua ekor  anak  unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan  menceritakan peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara,  budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat   menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan  kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar  memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih  menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara   berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Makkah. Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman rumahnya,  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta  laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah  gembira dan  tertarik  sekali  mendengarkan. 

Sesudah  itu,  Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah  pengetahuan  Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik  juga hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa  binti  Munya—kata  sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan  kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."

Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak  lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.

Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya sudah meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.