" My Parent "
Tampilkan postingan dengan label Perjuangan Politik Mohammad Hatta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perjuangan Politik Mohammad Hatta. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Oktober 2013

" Perjuangan Politik Mohammad Hatta ( Tahun 1927-1945 ) "




Kupersembahkan kepada :
Ø  Ayahanda Dan Ibunda Tercinta yang senantiasa mendukung dan mendo’akanku
Ø  Istri dan anak-anakku tercinta
Ø  Saudara-saudaraku tercinta yang mengharapkan keberhasilanku
Ø  Sahabat-sahabatku yang selalu bersama dalam suka dan duka ; dan
Ø  Orang-orang yang mendo’akan keberhasilan dan kelulusanku



  

Motto
“Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”                 (Albert Enstein).









  

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana ( S I ) pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Syafruddin Yusuf, M.Pd dan Drs. Supriyanto, M.Hum, sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Tatang Suhery M.A., Ph.D, Dekan FKIP UNSRI, Ibu Dra. Hj. Yulia Djahir, MM., Ketua Jurusan Pendidikan IPS, dan Bapak Drs. Syafruddin Yusuf, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikann Sejarah, yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNSRI, Bapak Drs. Anhar, MBA,MM., selaku Kepala Perpustakaan Daerah Kabupaten Lahat, Istri tercinta serta teman-teman yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengajaran bidang Studi Sejarah di sekolah menengah dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Palembang,     Desember 2005
Peneliti

DAFTAR  ISI


HALAMAN JUDUL.............................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO.................................................
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................
ABSTRAK..............................................................................................................
BAB I     PENDAHULUAN ................................................................................
1.1      Latar belakang..................................................................................................
1.2      Alasan pemilihan judul.....................................................................................
1.3      Rumusan masalah.............................................................................................
1.4      Tujuan penelitian..............................................................................................
1.5      Manfaat penelitian...........................................................................................
BAB II   KONDISI POLITIK DI INDONESIA AWAL ABAD 20 .................
2.1      Munculnya Pergerakan Politik di Indonesia Awal Abad 20...........................
2.2      Biografi Mohammad Hatta..............................................................................
2.3      Pemikiran politik Mohammad Hatta................................................................
BAB III   METODOLOGI PENELITIAN DAN PENDEKATAN .................
3.1    METODOLOGI PENELITIAN...................................................................
a.       Heuristik......................................................................................................
b.      Interpretasi..................................................................................................
c.       Historiografi................................................................................................
3.2    PENDEKATAN..............................................................................................
3.2.1        Pendekatan Sosiologi...................................................................................
3.2.2        Pendekatan Antropologi .............................................................................
3.2.3        Pendekatan Politik ......................................................................................
BAB IV PERJUANGAN POLITIK MOHAMMAD HATTA (TH 1927-1945)
4.1      Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda............
4.1.1        Perjuangan dengan Perhimpunan Indonesia (PI) Tahun 1926-1930 ...........
4.1.2        Perjuangan di Indonesia (PNI-BARU) Tahun 1931-1940..........................
4.2      Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.............................................................
4.2.1        Peranan Mohammad Hatta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan  Indonesia.....................................................................................................................
BAB V    SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
5.1    Simpulan...........................................................................................................
5.2    Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

i
ii
iii
iv
v
vi
viii
ix
1
1
6
7
7
7
9
9
11
15
23
23
23
24
26
26
26
27
27
28
28
28
40

47

53
57
57
58
60



ABSTRAK


            Skripsi ini berjudul “Perjuangan Politik Mohammad Hatta (Tahun 1927-1945)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945, yaitu pada masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, bagaimana perjuangan politik Mohammad Hatta pada masa penjajahan Belanda dan masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
            Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode historis dengan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu heuristik, interpretasi dan historiografi, yang dilakukan melalui penelusuran studi pustaka. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi, antropologi dan politik.
            Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945 dimulai dari organisasi Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, gerakan ini dilakukan para mahasiswa indonesia, diantaranya adalah Mohammad Hatta mengenai kekejaman penjajahan, namun pemerintah Belanda menanggapi secara negatif bahkan menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia tersebut. Perjuangan mereka dilakukan tidak terhenti dan dilanjutkan melalui PNI-BARU. Perjuangan oleh PNI-BARU pun mendapat tentangan yang keras bahkan tokoh-tokohnya diinternir oleh pemerintah Belanda ke Boven Digul dan Banda Neira. Dengan menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati maka dengan resmi Indonesia di bawah pemerintahan Jepang dan perjuangan Mohammad Hatta dilanjutkan melalui organisasi PUTERA, yaitu organisasi bentukan Jepang dengan tujuan untuk membujuk kaum nasionalis Indonesia dan para pemimpinnya sebagai alat untuk mengabdikan diri dalam usaha memenangkan perang. Pada dasarnya Mohammad Hatta menentang setiap penjajahan, tetapi atas pertimbangan oportunis perlu bekerjasama dengan Jepang untuk mencapai Indonesia merdeka. Detik-detik proklamasi terjadi pertentangan antara kelompok muda (Sukarni-Chairul Saleh) yang menghendaki kemerdekaan Indoesia secara revolusioner, sementara kelompok tua (Soekarno-Hatta) menginginkan kemerdekaan melalui PPKI bentukan Jepang. Pemuda mengadakan pengambilan secara paksa terhadap Soekarno- Hatta  dan dibawa ke Rengas Dengklok. Akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
           






 




BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Timbulnya kesadaran nasional Bangsa Indonesia merupakan suatu gejala historis yang berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kaum penjajah Belanda. Banyak sekali sebab-sebab yang telah membangkitkan kesadaran nasional Bangsa Indonesia seperti kemenangan Jepang terhadap Rusia dalam tahun 1905. Selanjutnya gerakan Turki Muda, Revolusi Cina dan gerakan nasional di negara-negara tetangga seperti India dan Philipina, yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme di Indonesia (Sastradinata, 1986 : 1 ).
Pada  permulaan abad ke 20 ini, telah timbul suatu rasa kesadaran terhadap situasi yang terbelakang sebagai hasil dari sistem Kolonialis Belanda. Bangsa Indonesia perlu mengatur pergerakan secara modern untuk mewujudkan kesadarannya, baik di bidang politik, pendidikan ekonomi, maupun sosial budaya. Organisasi yang pertama disusun dengan bentuk modern dan yang besar artinya adalah Budi Utomo. Organisasi ini didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo atas ide dari Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Pada awalnya Budi Utomo bersifat lokal dan sosio kultural, usaha organisasi ini tidak berkembang di masyarakat. Setelah Budi Utomo muncul organisasi lain yang berlatar belakang sosial ekonomi yaitu Sarekat Islam yang semula bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan Ormas pertama di Indonesia, organisasi ini mempunyai massa yang banyak karena berasaskan Islam. Dasar organisasi ini adalah persatuan, sedangkan tujuannya memajukan perdagangan Indonesia yang didasarkan pada agama Islam                              (Moedjanto 1988 : 27 – 29 ).
Selain organisasi Budi Utomo dan Sarekat Islam, di negeri Belanda, didirikan suatu perkumpulan pelajar bernama Indische Vereniging, tujuannya untuk mempererat kekeluargaan karena merasa senasib sepenanggungan di perantauan sehingga masyarakat Belanda menaruh simpati dan memberikan bantuan serta dukungan terhadap organisasi ini (Moedjanto 1988 : 45 ).
Pada tahun 1922 Indische Vereniging mendapat pemimpin-pemimpin baru angkatan Mohammad Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo Ali Sastroamijoyo dll. Mereka sepakat mengubah nama Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging          (Yasni 2002: 105 ).
Pada tahun 1925 Indonesische Vereniging berganti menjadi Perhimpunan Indonesia (P.I) diantara pemimpinnya adalah Mohammad Hatta, selain aktif di organisasi ini Mohammad Hatta memimpin organisasi PNI Baru ( Pendidikan Nasional Indonesia ) didirikan tahun 1931. Kedua organisasi ini bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia Karena upaya-upaya yang dilakukan Hatta dianggap berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka setiap kegiatan Hatta diawasi, dan pada tahun 1934 Hatta dan Syahril ditangkap dan dibuang ke Digul kemudian tahun 1936 dipindahkan ke Banda Neira. Dengan demikian perjuangan Hatta dan Syahrir dalam organisasi pergerakan mengalami hambatan karena mereka ditangkap. Namun Hatta dan Syahrir tetap berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia (Ricklefs, 1991: 287).
Kemudian bertepatan dengan tanggal 8 Desember 1941 angkatan perang Jepang secara mendadak menyerang Pearl Harbour di kepulauan Hawai, yang merupakan pusat Angkatan Laut Amerika Serikat untuk kawasan Samudera Pasifik. Atas kemenangan di sana Jepang juga menuju Indonesia tanpa perlawanan yang berarti dari pemerintah Hindia Belanda, sehingga tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang di Kalijati (Jawa Barat) di bawah pimpinan Jenderal Hitosyi Imamura (Indra dan Marthabaya, 1987: 25).

Kemenangan Jepang terhadap Hindia Belanda ditunjang oleh fisik, keunggulan militer dan tekhnologi, serta didorong oleh bangsa Indonesia yang anti terhadap penjajahan Belanda. Bangsa Jepang menggunakan pendekatan secara propaganda yang mampu menimbulkan kebencian terhadap kolonialisme dan bertanggung jawab untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Jepang berjanji, Indonesia akan dimasukan dalam “Kesemakmuran Bersama Asia Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang. Kedatangan Jepang disambut dengan gembira dan diterima rakyat Indonesia yang sangat mendambakan kemerdekaan. Untuk merealisasikan kerjasama dengan bangsa Indonesia, Jepang mendirikan Badan Pembantu Peperangan yang dikenal dengan “Gerakan Tiga A” (Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia), didirikan tanggal 29 April 1942 sebagai ketua Mr. Syamsuddin. Pergerakan Tiga A tidak berhasil menggerakan rakyat Indonesia untuk membantu usaha Jepang, maka diganti dengan “PUTERA” (Pusat Tenaga rakyat) pada tanggal 9 Maret 1943 di bawah pimpinan “Empat Serangkai”               (Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kiyai Haji Mas Mansur) (Materu, 1985: 123).
Empat serangkai menjaga hubungan baiknya oleh karena itu Jepang tidak dapat mengadu domba mereka. Di dalam PUTERA Hatta menjadi Direktur Jenderal, sedangkan pada pemerintahan Jepang bekerja sebagai penasehat. Oleh karena itu Hatta terpaksa membagi waktunya di kantor penasehat dan kantor PUTERA. Pada dua tempat pekerjaan ini Hatta berusaha mengutamakan kepentingan Indonesia atau berusaha menentang pemerintah Jepang. Oleh sebab itu semua gerak-gerik Hatta dicurigai, bahkan secara sembunyi-sembunyi Hatta, ingin Jepang dilenyapkan (Imran, 1984: 56).
Tentara Jepang menyadari kegiatan PUTERA lebih menguntungkan pihak Indonesia dalam mencapai kemerdekaan bahkan membahayakan kedudukan Jepang. Maka didirikan organisasi baru bernama “Jawa Hokokai” (Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa) tanggal 1 Maret 1944 langsung dipimpin oleh pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai merupakan organisasi pemerintah pendudukan Jepang bertujuan membantu kelancaran perang. Dalam organisasi ini Hatta diangkat sebagai anggota pengurus. Kerja sama dengan Jepang dilanjutkan dengan pembentukan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)” tanggal 1 Maret 1945 bertujuan memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sebagai ketua Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (Materu, 1985: 123).
Pada jaman Jepang pemimpin rakyat Indonesia ada yang dipaksa bekerja sama dengan Jepang tetapi ada yang anti Jepang yang mengadakan gerakan di bawah tanah. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh sekutu yang mengakibatkan Jepang menyerah tanpa syarat tanggal                       14 Agustus 1945.
Berita kekalahan Jepang oleh pemuda merupakan kesempatan yang besar dan memberikan semangat mengambil langkah-langkah untuk mencapai Indonesia merdeka. Kelompok pemuda yang revolusioner dan radikal mendesak agar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia secepatnya dilaksanakan sedangkan kelompok nasionalis yang lebih tua (Soekarno-Hatta) bersikap lebih tenang dan banyak pertimbangan. Pemuda tidak menginginkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berbau hadiah dari tentara Jepang. Maka hari Kamis, tanggal 16 Agustus 1945, jam 04.00 pagi, Soekarno dan Hatta dibawa sekelompok pemuda ke Rengasdengklok bertujuan memaksa Soekarno dan Hatta melaksanakan proklamasi kemerdekaan terlepas dari pengaruh Jepang, namun tidak berhasil. Timbul kata sepakat untuk mengembalikan Soekarno dan Hatta ke Jakarta dan langsung mengadakan pertemuan dengan golongan pergerakan nasional untuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan didampingi Mohammad Hatta, pada hari Jum’at Legi tanggal 17 Agustus 1945 (Bulan Ramadhan) pukul 10.30 waktu jaman Jepang (10.00 WIB) di rumah kediaman Soekarno, jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (Sagimun, 1989: 305).
Berdasarkan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sampailah cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang harus dibela berdasarkan kekuasaan serta melakukan tindakan yang nyata untuk mengisi kemerdekaan.
1.2        Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulis memilih judul “Perjuangan Politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945”, adalah :
1.      Penulis merasa terkesan dengan seorang tokoh Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam masa perjuangan di zaman Belanda yang sangat anti terhadap kolonialisme Belanda dan terjadi polemik pertentangan dengan Ir. Soekarno, tetapi zaman pendudukan Jepang Beliau bekerja sama dengan Ir. Soekarno bahkan terjadi suatu ikatan yang terkenal dengan “Dwitunggal”, sampai bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
2.      Penulis merasa terkesan dengan ketajaman analisis Mohammad Hatta dalam melihat permasalahan politik sehingga berhasil memperkenalkan nama “Indonesia” dan bukan Hindia Belanda di forum internasional.
3.      Penulis sebagai mahasiswa dalam menerima materi perkuliahan kurang membahas perjuangan-perjuangan tokoh Mohammad Hatta, jadi dalam skripsi ini, penulis mencoba mengungkapkan perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927-1945, selain untuk mempermudah pembahasan juga merupakan puncak perjuangan politiknya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
4.      Mohammad Hatta merupakan seorang tokoh, pejuang, pemimpin, proklamator, manusia biasa serta berkepribadian tegas, teguh, berprinsip, penyabar, jujur, pemaaf dan taat menjalankan perintah Allah. Menurut penulis, tokoh Mohammad Hatta perlu dijadikan suri tauladan bagi generasi penerus bangsa khususnya.  
1.3        Rumusan Masalah
Dari judul yang penulis pilih, maka permasalahan yang penulis kemukakan adalah :
1.        Bagaimana perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda.
2.        Bagaimana perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi  kemerdekaan Indonesia.

Agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan dan mempermudah memahami isi skripsi ini, penulis memberikan batasan periode tahun 1927 sampai tahun 1945 yaitu :
Perjuangan politik Muhammad Hatta dalam bidang pergerakan PI                               (Perhimpunan Indonesia), PNI - BARU sampai terwujudnya kemerdekaan Indonesia pada masa pendudukan Jepang tanggal 17 Agustus tahun1945
1.4        Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah :
1.      Mengetahui perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda.
2.      Mengetahui perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
1.5        Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, manfaat yang diharapkan yaitu :
1.      Menambah pengetahuan secara teoritis perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Belanda.
2.      Menambah pengetahuan perjuangan politik Mohammad Hatta masa penjajahan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.
3.      Dapat memberi masukan bagi peneliti – peneliti selanjutnya.



BAB II
KONDISI POLITIK DI INDONESIA AWAL ABAD 20
                                        
            Pada bagian ini berisi munculnya pergerakan-pergerakan politik di Indonesia awal abad 20, latar belakang kehidupan Mohammad Hatta dan pemikiran politik   Mohammad Hatta. Uraian ini akan membantu dalam memahami situasi dan kondisi sebelum munculnya perjuangan politik Mohammad Hatta.

2.1  Munculnya Pergerakan-Pergerakan Politik di Indonesia Awal Abad 20
Lahirnya pergerakan politik di Indonesia merupakan salah satu gejala perwujudan gerak tumbuhnya awal kebangkitan nasional, tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam negeri melainkan juga dari luar negeri. Faktor luar negeri terutama kemenangan Jepang terhadap Rusia yang merupakan bukti bahwa bangsa barat pun bisa dikalahkan oleh bangsa timur. Di samping itu juga karena masuknya gagasan nasionalisme modern seperti pengaruh pergerakan nasional dan modernisasi di beberapa negara Asia seperti India, Philipina, Cina dan Turki                (Sastradinata, 1986: 47).
Sehubungan dengan pengaruh gagasan modern tersebut, maka muncul golongan terpelajar yang menjadi elite nasional. Elite ini menyadari bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan organisasi modern. Organisasi yang bersifat modern itu antara lain Budi Utomo, yang pada awalnya hanya menitikberatkan pada kebudayaan dan sosial saja, namun tidak memperoleh daya penarik dan dukungan kuat dari masyarakat banyak, yang pada akhirnya berubah ke arah politik. Gerakan politik Budi Utomo yang lebih tegas adalah turut sertanya dalam suatu fraksi pada Volkstraad yang dinamakan radical concentratie. Pada bulan Nopember 1918 bersama-sama dengan perkumpulan-perkumpulan lainnya misalnya Sarekat Islam, I.S.D.V dan N.I.P. Radical concentratie terdiri dari perkumpulan-perkumpulan bangsa Indonesia dan campuran yang pada dasarnya hendak memajukan dan mempertahankan adanya sebuah majelis nasional sebagai parlemen. Dengan beralihnya gerakan Budi Utomo ke bidang politik, maka Budi Utomo dianggap sebagai pelopor dari pergerakan politik, yang kemudian dilanjutkan oleh Sarekat Islam dan Indische Partij (Sastradinata, 1986:49).           Sejak lahirnya organisasi-organisasi pergerakan modern, bangsa Indonesia memasuki era baru dalam perjuangannya. Dalam era baru itu corak perjuangan bangsa Indonesia tidak lagi dijalankan dengan menggunakan kekerasan senjata sebagaimana pada masa sebelum lahirnya berbagai organisasi pergerakan tersebut, melainkan lebih menekankan perjuangan lewat organisasi politik yang teratur. Lebih-lebih lagi, dalam era baru ini pula mulai dirasakan timbulnya kesadaran baru dalam memahami arti pentingnya persatuan dan kesatuan serta perjuangan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia (Wangsa Wijaya, 2002: 28).
Mohammad Hatta adalah salah seorang dari sekian banyak pemimpin bangsa Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan dalam era perubahan penting dalam sejarah perjuangan bangsa, dimana sebagian besar dari masa mudanya telah dihabiskan dalam kancah perjuangan organisasi pergerakan bahkan telah memberi andil yang besar dalam usaha memajukan kegiatan pergerakan politik, hal ini bisa dilihat terutama dalam pelbagai usaha merancang dasar-dasar negara Indonesia bila kelak mencapai kemerdekaan.
Selesai menamatkan studi di P.H.S, dalam bulan September 1921, Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran ke negeri Belanda, dan bertemu dengan banyak tokoh pergerakan Indonesia antara lain Nazir Datuk Pamoentjak salah seorang penganjur berdirinya Jong Sumatranen Bond cabang Padang yang telah dikenalnya sejak tahun 1918, kemudian Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Darmawan Mangoen Koesoemo, dan lain-lain. Di negeri Belanda Mohammad Hatta diajak oleh Nazir Datuk Pamoentjak untuk menjadi anggota Indische Vereniging (Wangsa Wijaya, 2002: 30).

2.2   Biografi Mohammad Hatta
Sumatera Barat (Minangkabau) tempat kelahiran Drs. Mohammad Hatta termasuk daerah yang cepat mengubah diri sesuai dengan perkembangan zaman. Daerahnya ditandai dengan kekerasan alam tetapi mencerminkan keindahan dan kesyahduan. Danau-danau seperti Maninjau, Singkarak, Danau Di atas dan Di baruh (di bawah) menambah keindahan. Menurut legenda nama daerah Minangkabau dapat diungkapkan bahwa:
Minangkabau berasal dari kata “Menang Kerbau” berkaitan tentang orang Minangkabau yang mengalahkan orang Jawa secara cerdik, menggunakan seekor kerbau dengan pisau baja yang tersembunyi di dalam tanduknya untuk bertanding melawan banteng besar yang diajukan orang Jawa (Rose, 1991: 1).
Dari ungkapan di atas, dapat dibuktikan bahwa orang Minangkabau secara tradisonal sangat menghormati kerbau yang tercermin dalam gaya arsitektur rumah serta penutup kepala tradisional.
Mohammad Hatta, satu dari dua orang proklamator kemerdekaan Indonesia (seorang lagi Ir. Soekarno) dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, dilahirkan tanggal 12 Agustus 1902 di Kampung Aur Tajungkang Bukittinggi dari keluarga pedagang dan guru ngaji dari Batu Hampar Sumatera Barat. Kota Bukittinggi terletak di dataran tinggi Agam terkenal dengan Kota Gedang (Kota Gadang) yang berarti besar sebab terdapat sebuah jam besar  (Jam Gadang) yang menjadi ciri khusus kota Bukittinggi. Nama Hatta sebenarnya adalah “Mohammad Athar” berasal dari kata Arab artinya harum. Untuk panggilan sehari-hari “kata Athar” diucapkan Atta kemudian berubah Hatta. Pemberian kata Athar senama dengan seorang penyair dan sufi yang terkenal dari Persia (Iran) yaitu “Fariduddin Al Aththar”  (Rose, 1991: 6).
Ayah Hatta bernama Haji Muhammad Djamil meninggal dunia tahun 1903 (berusia 30 tahun) ketika Hatta berumur delapan bulan. Ia berasal dari Batu Hampar 16 km dari Bukittinggi arah ke Payakumbuh sedangkan Ibu Hatta, Siti Saleha berdarah campuran asal Jawa. Kakek Hatta (ayah ibunya) bernama Ilyas gelar Bagindo Marah seorang pedagang berasal dari daerah Minangkabau (Sumatera Barat). Ibu Hatta adalah isteri keempat Haji Muhammad Djamil dan menikah lagi dengan Haji Ning, seorang pedagang yang berasal dari Palembang. Setelah berumur 10 tahun, Hatta menyadari bahwa Haji Ning adalah ayah tirinya tidak menyebabkan hubungan mereka renggang. Hatta adalah anak kedua tetapi anak pertama laki-laki. Kakaknya bernama Rafi’ah dilahirkan tahun 1900 adalah saudara Hatta yang sekandung dan lebih tua dari Hatta dua tahun. Saudara Hatta lainnya yaitu Halimah, Rabiah, Basariah, Bariah, dan Zakiah (Imran, 1984: 39).
Di bidang pendidikan Hatta diharapkan oleh keluarga ayahnya di Batu Hampar agar melanjutkan pelajaran agama setelah menyelesaikan sekolah rakyat 5 tahun. Dua tahun belajar di sekolah rakyat Bukittinggi, Hatta pindah ke sekolah Belanda Europese Lagere School (ELS – Sekolah dasar untuk orang kulit putih) di Bukittinggi. Akhirnya melanjutkan kembali ke Europese Lagere School (ELS) di Padang mulai kelas 5 sampai dengan kelas 7 tahun 1913. Sekolah Europese Lagere School (ELS) padang diselesaikan Hatta tahun 1917 lulus dengan nilai cukup baik (berusia sekitar 14 sampai 15 tahun). Pendidikan Hatta ditingkatkan lagi ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/ Sekolah Menengah Tingkat Pertama) berhasil ditamatkan bulan Mei 1919 di Padang (Rose, 1991: 18).
Setelah menamatkan studi MULO di Padang, Hatta berangkat ke Jakarta bersekolah di Prins Hendrik Handels School (PHS) tahun 1919 sampai 1921 merupakan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) dengan tekanan khusus pada mata pelajaran dagang (Sekolah Dagang Prins Hendrik). Hatta berhasil menyelesaikannya tahun 1921 dengan mendapatkan urutan (rangking ketiga). Selesai menamatkan pendidikan di Indonesia Hatta berangkat ke negeri Belanda tanggal 3 Agustus 1921 dari Teluk Bayur dikenal sebagai Emmahaven (Pelabuhan Padang) dengan kapal laut Tambora milik Totterdanse Lioyd. Berlayar bersama tiga orang pelajar Indonesia menuju Universitas Leiden, tiba tanggal 5 September 1921 dan melanjutkan Kuliah Dagang di Rotterdam Handelhoge School (Sekolah Niaga). Berhasil menyelesaikan ujian Doktoral tanpa predikat tanggal 20 Juli 1932 dan Hatta kembali ke Indonesia. Lima tahun direncanakan Hatta di Eropa (negeri Belanda) menjadi sebelas tahun sehingga hampir berumur 30 tahun, mampu menguasai bahasa asing yaitu bahasa Belanda, Perancis, Inggris dan Jerman (Yayasan Idayu,  1982: 20).
Mohammad Hatta berjanji akan menikah jika Indonesia sudah merdeka, pernikahan itu berlangsung tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung. Hatta berusia 43 tahun dengan gadis berdarah campuran Jawa dan Aceh dibesarkan di Bandung bernama Rahmi Rachim berusia 19 tahun. Tanggal 18 Nopember 1945 dianggap bersejarah sebab Gubernur Jenderal Limburg Stirum mengucapkan janji bahwa “Indonesia akan diberi kemerdekaan”. Hatta mempunyai tiga orang putri bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta dan Halidah Nuriah Hatta. Berdasarkan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 secara resmi Hatta terpilih menjadi Wakil Presiden bersama Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama (Noer, 1990: 259).
Sebagai seorang tokoh pemimpin, pejuang nusa bangsa dan negara Indonesia Drs. Mohammad Hatta, dipanggil Allah SWT hari Jum’at tanggal 14 Maret 1980 jam 18.57 WIB dalam usia 78 tahun (77 tahun, 7 bulan dan 2 hari) di ruang ICU (Intensive Care Unit) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama ini, dirawat di Pavilium Cenderawasih RSCM sejak 25 Februari 1980 dan hari Kamis tanggal 13 Maret 1980 dipindahkan ke bagian ICU (Intensive Care Unit). Tim dokter yang merawat Hatta antara lain Prof. Mahar Marjono dan Prof. Roekmono. Jenazah Hatta dibaringkan di ruang tengah rumah berukuran 5 x 7 meter, dimandikan pukul 09.00 disaksikan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo, Buya Hamka, sanak keluarga dan dimakamkan Sabtu siang, 15 Maret 1980, pukul 14.00 WIB di pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan dengan upacara kenegaraan. Liang lahat berukuran 2,40 x 1 meter dengan kedalaman 1,60 meter dalam komplek makam seluar 2.000 M2, terletak di sebelah kanan pintu gerbang tempat pemakaman umum Tanah Kusir. Makam Hatta ditandai dengan nisan dari kayu berwarna putih dengan tulisan merah : “DR. MOH. HATTA, Proklamator, Wakil Presiden R.I pertama, Lahir 12 Agustus 1902, Wafat tanggal 14 Maret 1980”.
Pesan terakhir Mohammad Hatta dapat diungkapkan bahwa: “Pahami ajaran saya dan jangan dikubur”. Maksud ungkapan tersebut adalah ajaran berupa kejujuran, beriman dan sederhana tetap berada di dalam dada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia (Meutia, 1980: 81).

2.3      Pemikiran Politik Mohammad Hatta
Semangat nasionalisme Mohammad Hatta sudah mulai tergugah sejak usia enam tahun (sebelum pendirian Jong Sumatranen Bond) ketika melihat kejadian dan kesewenangan tentara Belanda dengan senapan serta sangkur terhunus menggeledah rakyat terutama wanita-wanita yang datang ke pasar untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Demikian pula suatu kejadian lain yang menimpa sahabat dari kakeknya Rais, saudagar barang hutan di Payakumbuh. Ia ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Padang dengan kereta api dalam keadaan tangan terbelenggu. Rais dituduh turut dalam perang Kamang padahal duduk persoalannya orang tua Rais mengkritik kebejatan Westening dalam surat kabar Utusan Melayu (Yasni, 2002: 102).
Bulan Januari 1918, Nazir Datuk Pamontjak tiba di Padang sebagai utusan Jong Sumatranen Bond (JSB). Perkumpulan ini berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggotanya para pelajar Sumatra yang bersekolah di Jakarta yang maksud tujuannya antara lain adalah memperkokoh hubungan ikatan diantara murid-murid asal dari Sumatera dan menanamkan keinsyafan bahwa mereka telah akan menjadi pemimpin; dan lagi membangunkan perhatian dan mempelajari kebudayaan Sumatera                 (Pringgodigdo, 1991:25).
Nazir Datuk Pamontjak diutus ke Sumatra Barat untuk mendirikan cabang Jong Sumatranen Bond. Di Padang usahanya berhasil, tetapi di Bukittinggi tidak karena pimpinan sekolah di Bukittinggi tidak mengizinkan para pelajar mendirikan Jong Sumatranen Bond. Mohammad Hatta terpilih menjadi bendahara JSB cabang Padang karena dianggap sudah berpengalaman dalam bidang keuangan lagi pula seorang yang jujur salah satu gagasan yang bermanfaat yang pernah dikemukakannya ialah tentang penarikan iuran tetap para anggota Jong Sumatranen Bond sehingga dengan iuran yang dikumpulkan setiap bulannya itu segala kegiatan Jong Sumatranen Bond yang membutuhkan biaya dapat ditunjang penyelenggaraannya (Imran, 1984:15).
Hatta sebagai anggota eksekutif Jong Sumatranen Bond dianggap sebagai generasi harapan bangsa yang waktu itu belum mengerti politik. Ketika suatu Kup sayap kiri dilakukan di Belanda bulan Nopember 1918 bertepatan berakhirnya perang Eropa, Gubernur Jendral Van Limburg Stirum menyampaikan pengumuman, bahwa dalam peristiwa penggulingan kekuasaan di Belanda, Volksraad akan dijadikan parlemen yang sesungguhnya. Hal ini ditanggapi positif oleh rakyat Indonesia. Kup tersebut gagal dan untuk mengimbangi ancaman kaum sosialis, kekuasaan dengan cepat diserahkan ke Partai Anti Revolusioner, sebuah kelompok ekstrem sayap kanan pimpinan Dr.H. Colijn, mantan pejabat kolonial dan anggota parlemen Belanda penentang pembentukan Volksraad. Dr.H. Colijn berpendapat bahwa kaum pribumi secara ekonomis terlalu lemah untuk memiliki tanggung jawab politik. Tidak ada pengakuan bahwa kelemahan perekonomian pribumi merupakan akibat langsung dari kebijakan kolonial  (Rose, 1991: 16).
Ada dua peristiwa yang menyebabkan Mohammad Hatta aktif berpolitik, kedua peristiwa itu terjadi ketika masih bersekolah di Jakarta.
Pertama, “peristiwa SI Afdeling B”, dimana Haji Hassan di Garut tidak mau menjual berasnya kepada pemerintah, sebab dikuatirkan keluarganya akan kekurangan makanan. Haji Hassan dituduh melawan pemerintah dan dikatakan bahwa hal itu adalah gerakan dari Serikat Islam sayap B.
Kedua, “November Belofte tanggal 18 November 1918, janji Nopember”, yang pernah diucapkan oleh Gubernur Jendral Belanda untuk memberikan hak pemerintahan kepada bangsa Indonesia yang tidak ditepati oleh pemerintah Belanda. Hal ini menimbulkan kesan yang mendalam tentang kesewenangan penjajah. Sehingga hal tersebut menimbulkan semangat kebangsaan yang makin tebal terhadap pribadi Mohammad Hatta (Yasni, 2002: 105).
Pemikiran politik Mohammad Hatta dan menjadi satu strategi untuk mencapai Indonesia merdeka, diperoleh oleh Mohammad Hatta selain sebagai pribadi, juga sebagai perkembangan kolektif dari mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada mulanya bersifat sosial kemudian berkembang menjadi organisasi politik bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perubahan namanya yang pada awalnya bernama Indische Vereniging, lalu berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Kesadaran untuk mengubah organisasi dari yang bersifat sosial menjadi organisasi politik serta kesadaran akan persatuan Indonesia tumbuh dan berkembang pada diri Mohammad Hatta bersama-sama dengan tumbuh dan berkembangnya Indische Veregining yang akhirnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Kesadaran kerakyatan, kesadaran kebangsaan dan kesadaran bahwa Indonesia harus maju dalam hubungannya dengan perkembangan dunia, berkembang dalam diri Mohammad Hatta selama menjadi anggota Indische Veregining dan mencapai puncaknya pada tahun 1926, ketika Mohammad Hatta menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Dibawah pimpinan Hatta, PI membina hubungan dengan mahasiswa dari Asia dan menggalang persatuan menentang imperialisme ( Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 20 ).
Pada tahun 1926 PI meneruskan propaganda di luar negeri dalam bidang politik dimana Arnold Mononutu anggota PI dikirim ke Paris (Perancis) untuk menjalin hubungan dengan beberapa orang Asia dan bekas mahasiswa Asia alumni Sorbonne dijalin kembali antara lain dengan Duong Van Giauw (Azerbaijan), Tung Mo (Tiongkok) dan KM Fanikkar (Wartawan dari India), Mohammad Hatta  sebagai ketua I bulan Juli 1926 mewakili mahasiswa Indonesia untuk mengikuti Kongres di Bierville (Perancis). Dalam kongres ini Mohammad Hatta memperkenalkan nama “Indonesia” (Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 21 ).
Pada bulan Desember 1926, Semaun bekas pimpinan PKI yang dieksternir oleh pemerintah Hindia Belanda, datang dari Moskow ke Den Haag untuk menemui Hatta. Pertemuan ini menghasilkan “Konvensi”, antara Hatta dengan Semaun mengenai pembentukan partai nasional baru (Soebadio Sastrosatomo , 1995: 24).
Dalam rapat anggota PI yang pertama 1927 Hatta berniat untuk mengundurkan diri menjad ketua PI sehubungan dengan partai nasional baru yang akan didirikannya serta rencana Hatta untuk kembali ke Indonesia. Tetapi rapat tetap mempertahankan Hatta untuk melanjutkan pimpinan karena PI sedang memperluas propaganda keluar negeri Belanda terlebih lagi Liga menentang Imperialisme dan penindasan kolonial yang baru dibentuk di Berlin atas desakan Kuo Mintang untuk mengambil inisiatif mengadakan suatu kongres internasional menentang kolonialisme di Brussel dari tanggal 10 sampai 15 Februari 1927 (Soebadio Sastrosatomo, 1995:26).
Mohammad Hatta dengan tiga anggota PI lainnya masing-masing Nazir Pamoentjak, Alisastroamidjoyo dan Abdul Madjid djoyodiningrat tanggal 23 September 1927 ditangkap, penahanan Hatta ada hubungannya dengan konvensi yang ditandatangani Hatta dengan Semaun. Hatta mengatakan kepada rechter-commisaris, bahwa konvensi itu menunjukkan PI tidak dipengaruhi oleh gerakan Komunis melainkan sebaliknya mencoba mengganti gerakan komunis dengan gerakan nasonalis (Soebado Sastrosatomo, 1995:27).
Selama dalam tahanan Hatta mempelajari buku-buku tentang hukum internasional untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tentamen sekaligus kemudian dipakai untuk menulis pembelaan dengan judul Indonesia Vrij               (Indonesia Merdeka (Soebadio Sastrosatomo, 1995:28).
Pada tahun 1929 politik Moskow terhadap liga menentang imperialisme dan untuk kemerdekaan berubah. Ketika liga mengadakan kongres di Frankfurt tahun 1930, Hatta dan Jawaharlal Nehru dituduh sebagai reformis nasional dan dikeluarkan dari liga. Tuduhan kaum komunis di liga terhadap Hatta diikuti tindakan dari pengurus PI yang sudah dikuasai golongan komunis dengan mengeluarkan Hatta dan Syahril di Perhimpunan Indonesia  (Soebadio Sastrosatomo, 1995:29).
Ketika Ir. Soekarno ditangkap, PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan oleh Mr. Sartono dan diganti oleh PARTINDO (Partai Indonesia) tanggal 29 April 1931 (Bung Hatta, 1980 : 252).
Hatta membantu orang-orang
ARTAI rtono uasai golongan omunisalisme dan untuk kemerdeaa berubah sebayang ditandatangani Hatta deyang tidak setuju PNI dibubarkan (Soedjadi, Moerad, Kantaatmaka, Bondan, dan Teguh). Mereka menolak untuk ikut dalam partai yang didirikan Mr. Sartono. Hal ini menjadi pemikiran Hatta sehingga untuk selekasnya pulang ke Indonesia. Tanggal 20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Rotterdam menuju tanah air. Dalam memimpin pergerakan nasional yang diutamakan Hatta membentuk dan mendidik kader yang tahan uji dan melarang kadernya untuk mengadaan agitasi tetapi lebih diutamakan menganalisa keadaan yang nyata. Hatta aktif memimpin PNI-BARU. Setelah usaha menyatukan PNI-BARU dibawah pimpinan Hatta, PARTINDO dibawah pimpinan Soekarno mengalami kegagalan, maka kemudian timbul polemik antara Hatta dan Soekarno tentang perbedaan pendekatan antara PNI-BARU dan PARTINDO. PNI-BARU lebih memusatkan perhatian pada pendidikan kader sementara PARTINDO lebih menekankan pada agitasi untuk mengadakan aksi massa. Akhirnya tahun 1934 Hatta dan Syahril ditangkap dan dibuang ke Boven Digul sedangkan Soekarno dibuang ke Ende (Flores) (Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 31).
Pada tahun 1942 Belanda memindahkan penahanan Hatta ke Sukabumi dan disusulkan penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang. Tanggal 9 Maret 1943 PUTERA dibentuk, pemerintah Jepang menunjuk Soekarno sebagai pemimpin besar, Hatta sebagai Direktur Jenderal, Ki Hajar Dewantara sebagai Kepala Bagian Pengajaran, Kyai Mas Mansur sebagai kepala Bagian Keselamatan Masyarakat, Mr. Sartono sebagai Kepala Bagian Organisasi, dan Otto Iskandardinata sebagai Kepala Bagian olahraga (Soebadio Sastrosatomo, 1995 : 32).
Pada permulaan bulan September 1944, tersiar ucapan Perdana Menteri Jepang kaiso, bahwa Indonesia akan dimerdekakan “kelak kemudian hari”. Ucapan itu sangat mengembirakan rakyat Indonesia. Suatu panitia dengan nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada bulan Maret 1945. Organisasi ini beranggotakan 62 orang yang diangkat oleh Gunseikan dengan ketuanya Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat kemudian permulaan bulan Agustus 1945 BPUPKI dbubarkan dan diganti dengan panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimana Soekarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan dr. Radjiman Wedyodiningrat diutus ke Dallath kira-kira 300 Km sebelah utara Saigon. Tempat kedudukan Jenderal Terrauchi, dalam pidatonya menyatakan bahwa pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Hatta kemudian kembali ke tanah air dengan perasaan bahwa apa yang diperjuangkan selama ini akan menjadi kenyataan dan kapan keputusan kemerdekaan itu diumumkan terserah pada bangsa Indonesia sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya bahwa baik rencana Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia melalui PPKI maupun rencana para pemuda untuk memproklamasikan diluar PPKI, keduanya tidak terjadi sebab sekembalinya Soekarno-Hatta dari Rengas Dengklok, lalu diadakan rapat di rumah Laksamana  Maeda untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan yang kemudian tanggal                 17 Agustus 1945 diucapkan dijalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang ditanda tangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia (Soebadio Sastrosatomo, 1995:36).    
  




BAB III
METODE PENELITIAN DAN PENDEKATAN

3.1              Metodologi Penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian (Usman, 1995 : 42 ).
Metodologi penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematik untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis dan mengajukan sintesis dan hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis           ( Garaghan dalam Abdurahman 1999 : 43 ). Hal ini sejalan dengan pengertian metode sejarah menurut Gutshalk ( dalam Nugroho Notosusanto, 1983 : 32 ) adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman peninggalan sejarah pada masa lampau. Tujuan penelitian dengan menggunakan metode sejarah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara obyektif dan sistematis, dengan mengumpulkan, mengevaluasi, menganalisis buku-buku untuk menemukan data yang otentik dan menarik kesimpulan secara tepat.
Dalam skripsi yang berjudul “Perjuangan Politik Mohammad Hatta Tahun 1927 – 1945”, penulis menggunakan metode historis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.      Heuristik
Secara harfiah kata heuristik berasal dari bahasa yunani heuriskein yang artinya memperoleh. Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas               menyelediki dan usaha-usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai subjek yang berkaitan langsung dengan masalah (Kuntowijoyo, 1994 ; 50 ).
Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data berupa buku-buku, arsip-arsip Mohammad Hatta. Usaha ini penulis lakukan dengan melakukan studi kepustakaan dibeberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Daerah Kabupaten Lahat, Perpustakaan SMP Negeri 4 Lahat juga Perpustakaan UNSRI Inderalaya. Dari beberapa perpustakaan yang ada di atas, penulis cukup banyak memperoleh sumber berupa buku untuk penulisan skripsi ini.
Adapun sumber-sumber yang penulis temukan antara lain :
a.       Amrin Imran “Mohammad Hatta pejuang proklamator, pemimpin,                     manusia biasa“.
b.      Wawancara  Mohammad Hatta dengan Z. Yasni “Bung Hatta menjawab“.
c.       Mavis Rose “ Indonesia Merdeka, Biografi Politik Mohammad Hatta “.
d.      J. Wangsa Wijaya, “ Mengenang Bung Hatta “.
e.       Soebadio Sastrosatomo, “ Pandangan Politik Hatta “.
f.       Meutia Farida Swasono “ Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan “.
g.      Mohammad Hatta, “ Mohammad Hatta Memoir “.
Sumber utama penulisan skripsi adalah buku “Mohammad Hatta Memoir”.
b.      Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran disebut analisis dan sintesis, keduanya dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi ( Kuntowijoyo, 1994 : 100 ). Pada tahap ini penulis berusaha untuk menghubungkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain dan dapat menafsirkan apa yang terkandung didalamnya dengan melakukan analisis dan sintesis. Sedangkan menurut Bakker ( 1984 : 15 ) interpretasi adalah menafsirkan atau membuat tafsiran tetapi tidak bersifat subjektif melainkan harus objektif untuk mencari kebenaran yang otentik. Interpretasi analisis adalah menguraikan dari fakta yang telah ada, seperti latar belakang kehidupan Mohammad Hatta dan latar belakang munculnya perjuangan politik Mohammad Hatta. Sedangkan interpretasi sintesis menyatakan fakta yang ada. Dalam hal ini penulis menghubungkan dan menyatukan buku-buku sebagai sumber seperti buku “Mohammad Hatta Memoir”, Tintamas, 1982, Mohammad Hatta menguraikan tentang riwayat hidup Bung Hatta sendiri dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja aktif dalam organisasi pemuda (JSB), PI di negeri Belanda, PNI-BARU sampai terbentuknya kabinet Hatta tahun 1949. Menurut Abdurahman ( 1999 : 66 ) ada dua macam kelompok interpretasi yaitu interpretasi yang bersifat tunggal dan interpretasi yang bersifat pluralistik. Bersifat tunggal maksudnya adalah suatu penafsiran yang hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang yang terkemuka. Sedangkan interpretasi pluralistik adalah interpretasi yang mengikuti perkembangan – perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dan menunjukkan peradaban yang bersifat kompleks, interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi yang bersifat tunggal, yaitu interpretasi yang bersifat tunggal didasarkan pada bidang politik.


c.       Historiografi
Historiografi atau penulisan sejarah ialah cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang diperoleh ( Kuntowijoyo, 1994 : 89 ). Pada tahap ini penulis berusaha menyiapkan hasil penelitian sejarah dalam bentuk penulisan yang utuh dalam bentuk skripsi. Penulisan skripsi ini berdasarkan proses serialisasi ( kronologi dan kausasi ) dan proses koligasi.

3.2              Pendekatan
            Menurut Kartodirdjo ( 1993 : 1 ) dalam mengkaji sejarah, pendekatan sangat penting agar mampu melakukan eksplanasi ( penjelasan ) dari pada membatasi pengungkapan terjadinya sesuatu atau hanya menguraikan kejadian sesuatu cerita (narasi ).
Dalam penulisan skripsi ini yang berjudul “ Perjuangan politik Mohammad Hatta tahun 1927 – 1945 “. Penulis menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, antropologi dan politik. Dalam menggambarkan peristiwa dituntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan. Suatu seleksi akan dipermudah dengan menggambarkan konsep-konsep yang berfungsi sebagai kriteria (Sartono, 1993: 4).
3.2.1        Pendekatan Sosiologi
Pendekatan yang digunakan untuk meneliti segi-segi sosial peristiwa yang dikaji seperti latar belakang susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan sosial atau golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilai hubungan dengan golongan lain, interaksi antar kelompok dan konflik antar golongan berdasarkan kepentingan ideologi dan sebagainya. Pendekatan ini diharapkan bagaimana sejarah yang melatarbelakangi perjuangan politik Mohammad Hatta.   
3.2.2        Pendekatan Antropologi
Merupakan pendekatan yang mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari gaya hidup
3.2.3        Pendekatan Politik
Pendekatan politik adalah pendekatan yang menyoroti hierarki kekuasaan, hierarki sosial dan pertentangan kekuasaan dalam masyarakat dan pemerintah                     ( Kartodirdjo, 1993 : 4 ). Ada pernyataan yang berbunyi : “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau”. Sejarah adalah identik dengan politik sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencangkup keterlibatan para aktor dalam interaksi serta peranannya dalam usaha memperoleh ”apa, kapan, dan bagaimana (Kartodirjo, 1993: 148-149). Karena jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian politik, perang, diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politis (Abdurahman, 1999: 17). Berkaitan dengan skripsi ini, dalam pendekatan politik penulis akan menggambarkan tentang dinamika kehidupan politik semasa hidup Mohammad Hatta.




BAB IV
PERJUANGAN POLITIK MOHAMMAD HATTA (TH. 1927-1945)

4.1  Perjuangan Politik Mohammad Hatta masa Penjajahan Belanda
4.1.1        Perjuangan dengan Perhimpunan Indonesia (P I) Tahun 1926-1930
Perjuangan mencapai Indonesia merdeka dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri yang dipelopori Mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Hal ini, di luar dugaan Pemerintah Kolonial Belanda sebab zaman Hindia Belanda yang diberi kesempatan belajar di Belanda, teristimewa pada sekolah tingkat tinggi hanya anak yang berkedudukan baik pada Pemerintah Hindia. Awal abad ke 20 di Indonesia belum terdapat Universitas (Perguruan Tinggi) baik negeri maupun swasta. Pelajar yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas (AMS = Algemene Middelbare School, HBS = Hogere Burger School, ELS = Europese Lagere School dan sebagainya), sebagian besar tidak meneruskan sekolah. Bagi yang memiliki biaya dapat meneruskan sekolah ke negeri Belanda dan prestasinya baik selama belajar di AMS (Algemene Middelbare School) mendapat biaya dari pemerintah                      (Sudiyo, 1989: 22).
Untuk menggalang persatuan, Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda tanggal 25 Oktober 1908 mendirikan suatu perkumpulan diberi nama “Indische Vereniging” (Perkumpulan Hindia) di rumah Sutan Kesayangan Soripada di Hoogewoerd 49, Leiden (Negeri Belanda). Susunan Pengurus Indische Vereniging tersebut adalah:
a.       Ketua: Sutan Kesayangan Soripada.
b.      Sekretaris merangkap bendahara: R.M. Sumitro.
Kemudian dibentuk Panitia Penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang terdiri dari Sutan Kesayangan Soripada, R.M. Sosrokartono dan            R. Hussein Djayadiningrat. Indische Vereniging secara resmi berdiri tanggal                          15 Nopember 1908 di restoran “Oost en West” di kota Gravenhage (Den Haag Negeri Belanda). Tujuan Indische Vereniging memperhatikan dan mengurus segala macam kepentingan orang-orang “Indiers” (Indonesia) terutama yang bermukim di negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda. Adapun bentuk organisasi Indische Vereniging dapat diungkapkan dalam pasal 2 berbunyi :
Het gemeeschappelijk gevoel der in Nederland atudeerende Indonesiers (Perasaan bersatu antara orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Belanda (Sudiyo, 1989: 23).

Dari ungkapan di atas, dapat disimpulkan sudah ada rasa persatuan dan merasa dirinya seorang “Indiers” (Indonesia) bukan lagi orang Jawa, Minangkabau, Ambon, Minahasa dan mempunyai ciri khusus sebagai organisasi yang bersifat “Perhimpunan Indonesia”.
Pendiri Indische Vereniging berasal dari berbagai Universitas (Fakultas), jelas organisasi tersebut merupakan suatu cetusan perasaan kebersamaan orang Indonesia di negeri Belanda. Para pendirinya adalah:
a.       Sosrokartono: Mahasiswa Universitas Laiden, Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa-bahasa Timur (Oostersche Letteren).
b.      Hussein Djajadiningrat: Mahasiswa Universitas Leiden, Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa-bahasa Timur (Oostersche Letteren).
c.       Noto Soeroto: Mahasiswa Universitas Leiden, Fakultas Hukum.
d.      Notodiningrat: Mahasiswa Technieche Hougsschool (Sekolah Teknik Tinggi) di Delft.
e.       Sumitro Kolopaking: Mahasiswa Fakultas Indologie di Delft.
f.       Sutan Kesayangan Soripada: Mahasiswa Sekolah Perguruaan Tinggi di Haarlem.
g.      dr. Apituley: Mahasiswa Universitas Amsterdam, Fakultas Kedokteran (Sudiyo, 1989: 24).
Sebagian besar orang Indonesia, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia sangat berhati-hati bergerak dalam bidang politik. Kegiatan ke arah bidang politik ada namun dilakukan secara tersembunyi. Terbukti, pihak Belanda tahun 1913 mengadakan penangkapan terhadap pendiri Indische Partij yang dikenal “Tiga Serangkai” yaitu:
1.      Dr. E.F.E. Douwes Dekker (dikenal sebagai Dr. Danudirjo Setiabudi).
2.      Dokter Cipto Mangunkusumo.
3.      Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Mereka diasingkan oleh Pemerintah Kolonial ke negeri Belanda karena melakukan kegiatan politik di Indonesia. Di negeri Belanda banyak memberi pengaruh kepada arah gerakan Indische Vereniging sehingga menimbulkan gerakan politik. Untuk mempermudah perkembangan Indische Vereniging tanggal 1 Maret 1916 terbitlah majalah pertama “Hindia Poetra” diubah menjadi Indonesia Merdeka” sebagai alat penghubung anggota Indische Vereniging dalam berpolitik. Situasi dunia yang berpengaruh terhadap sikap pergerakan Mahasiswa Indonesia (indische Vereniging) di negeri Belanda yaitu terjadinya perang dunia I (1914 – 1918). Semboyan yang diucapkan oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson berbunyi, “The righ of selfdetermination” (hak menentukan nasib sendiri), sebelum perang dunia pertama di Eropa berakhir menimbulkan pengharapan besar di daerah jajahan. Pemerintah Hindia Belanda takut kejadian di Eropa sampai ke Indonesia maka Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tanggal 18 Nopember 1918 di depan sidang “Volksraad” (Perwakilan rakyat ala kolonial Belanda) berjanji (terkenal dengan “Janji Bulan Nopember/Nopember Belofte”) “Pemerintah Belanda akan memberikan hak memerintah sendiri kepada bangsa Indonesia”. Pernyataan ini, merupakan janji belaka dan taktik mendapatkan simpatisan rakyat di negeri jajahan                            (Sudiyo, 1989: 26).
Kegiatan Indische Vereniging tahun 1920 tetap bergerak dalam bidang sosial budaya, mengingat ketatnya pengawasan terhadap orang Indonesia di negeri Belanda maupun di Indonesia. Pada tanggal 19 Februari 1922 nama Indische Vereniging dirubah menjadi “Indonesische Vereniging” (Perkumpulan Indonesia) sebagai ketua Herman Kartawisastra. Kata Indische menjadi Indonesische mengandung pengertian politis yaitu perasaan bersatu antara orang Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Dalam majalah “Hindia Poetra” bulan Maret 1923 dapat dinyatakan dasar Perhimpunan Indonesia Vereniging yaitu:
“Mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu akan dapat dicapai orang Indonesia sendiri, bukan dengan pertolongan siapapun juga, bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindari, supaya tujuan itu lekas tercapai” (Pringgodigdo, 1991: 57).

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bantuan penjajah (penguasa) tidak dapat diharapkan maka kekuatan nasional yang teguh, memajukan tenaga rakyat lahir dan batin harus diwujudkan. Maka hak lepas dari berbagai penjajah menjadi nyata.
Penggantian nama menjadi “Indonesische Vereniging” merupakan sikap yang berani dan revolusioner. Perkumpulan ini, tetap memakai bahasa Belanda “Vereniging” perlu dihilangkan untuk memantapkan identitas nasional. Organisasi Mahasiswa Indonesische Vereniging secara resmi berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia tanggal 8 Februari 1925 di kepemimpinan Sukiman Wirjosandjojo. Susunan pengurus Perhimpunan Indonesia tahun 1925 terdiri dari sembilan pengurus yaitu:
1.      Sukiman Wiryosandjojo                sebagai Ketua
2.      A.I.Z. Mononutu                          sebagai Wakil Ketua
3.      Surono                                           sebagai Sekretaris I
4.      Sunario                                          sebagai Sekretaris II
5.      Mohammad Hatta                         sebagai Bendahara I
6.      Mohammad Nasif                         sebagai Bendahara II
7.      Amir                                              sebagai Komisaris.
8.      Budiarto                                        sebagai Komisaris.
9.      Mohammad Yusuf                        sebagai Komisaris
(Sagimun M.D, 1989: 131).

Kemudian majalah “Hindia Poetra” tegas diganti menjadi “Indonesia Merdeka” walaupun tahun 1924 sudah berubah dan pemakaian nama “Indonesia” dalam pengertian politik secara resmi dipakai tahun 1925 yaitu masa kepemimpinan Sukiman Wirosandjojo.
Pada bab terdahulu disebutkan, tanggal 5 September 1921 Hatta tiba di negeri Belanda untuk belajar pada Handels School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di kota Rotterdam. Mohammad Hatta bertemu dengan tokoh pergerakan Indonesia yang menjalani studi di negeri Belanda. Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan organisasi bernama “Indische Vereniging”. Atas nasihat dari Nazir Pamontjak (dikenal Hatta sejak tahun 1918) Hatta menjadi anggotanya. Akhirnya organisasi Indische Vereniging berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia” dan tahun 1926 Hatta terpilih menjadi ketuanya. Kegiatan Perhimpunan Indonesia ke arah politik nasional Indonesia untuk mencapai kemerdekaan semakin meningkat dengan datangnya Mahasiswa yang berjiwa patriot seperti Subardjo Mahasiswa Hukum di Leiden (menetap di negeri Belanda tahun 1919 – 1934), Abdul Madjid Djojodiningrat, Ali Sastroamijoyo, Darmawan Mangunkusumo, Iskaq Cokroadisuryo, Iwa Kusuma Sumantri, Maramis, Arnold Mononutu, Pamontjak, Sartono, Sukiman Wiryosandjojo, Sunario dan sebagainya. Perhimpunan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia berasaskan self-help dan non-koperasi (Sagimun, 1989: 129).
Jumlah Mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda cukup banyak tetapi yang bergabung dengan Perhimpunan Indonesia sebagian kecil. Penasihat Belanda mencatat tahun 1924 berjumlah 673 Mahasiswa, tahun 1929 menurun drastis yaitu 109 Mahasiswa. Berdasarkan jumlah anggota Perhimpunan Indonesia tercatat 20 Mahasiswa dan tahun 1926 hanya 38 Mahasiswa. Dalam berorganisasi Hatta pernah terpilih sebagai bendahara sebelum memegang jabatan ketua Perhimpunan Indonesia. Perkembangan kepemimpinan perkumpulan yaitu: Ketua 1919 - 1921 (Ahmad Subardjo), 1923 - 1924 (Iwa Kusuma Sumatri), 1924 - 1925 (Nazir Datuk Pamontjak), 1925 - 1926 (Sukiman Wirjosandjojo) dan 1926 - 1930 (Mohammad Hatta). Hatta menerima jabatan ketua Perhimpunan Indonesia dari Dr. Sukiman Wiryosandjoyo. Keanggotaannya terdiri dari:
1.      Mohammad Hatta sebagai Ketua.
2.      Abdul Madjid Djojodiningrat sebagai Sekretaris.
3.      Abutari sebagai Bendahara.
4.      Sunario dan Darsono sebagai para Komisaris.
Sebagai pimpinan organisasi, Hatta memperhatikan perkembangan di Indonesia dan memberi saran positif bagi perjuangan. Untuk melaksanakan program kerja Perhimpunan Indonesia (ada 3 pasal) yaitu:
Pasal 1
:
Mempropagandakan asas-asas perhimpunan lebih intensif terutama di Indonesia.
Pasal 2
:
Menarik perhatian Internasional pada masalah Indonesia.
Pasal 3
:
Perhatian para anggota harus dibangkitkan buat soal-soal internasional dengan mengadakan ceramah-ceramah, berpergian ke negara-negara lain untuk studi dan sebagainya.
Pasal 1 telah ditempuh Ali Sastroamidjoyo dan pasal 2 dan 3 berhasil dilakukan Dr. Sukiman Wiryosandjojo dengan meletakkan dasar-dasar pergerakan yang mantap kemudian dilanjutkan Hatta secara baik dan penuh keberanian. Memperhatikan Indonesia di Forum Internasional Hatta mengucapkan pidato di “Congres democratique internationale pour la paix”, tanggal 15 Agustus 1926 di Bierville dekat Paris. Dihadiri utusan 31 negara sebagian besar berasal dari Asia. Dalam kongres Hatta berhasil menuntut pengakuan sidang untuk mempergunakan kata “Indonesia” dan bukan “Hindia Belanda” secara tertulis maupun pembicaraan merupakan kemenangan moril bagi Hatta. Sekaligus pertama kali Indonesia bersuara di forum internasional dengan mengutamakan perjuangan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan nasional (Sudiyo, 1989: 62).
Kemajuan dan perkembangan Perhimpunan Indonesia bersikap radikal sehingga menimbulkan kecemasan bagi pemerintah Belanda, terlebih Hatta giat mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan internasional. Untuk membuka permasalahan Indonesia, Perhimpunan Indonesia menghadiri kongres “Liga anti-imperialisme dan penindasan kolonial” didirikan di Berlin mengadakan kongres di Brussel (Belgia) pada tanggal 10 - 15 Februari 1927 diwakili oleh Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tanumihardja dan Abdul Manaf (Mahasiswa Indonesia dari Mesir). Mohammad Hatta dalam kongres mengemukakan perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia dan peningkatan kekejaman pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat di Indonesia sesudah kegagalan PKI tahun 1926 dan 1927. disiarkan secara luas oleh pers di Eropa dan Indonesia mendapat bantuan moril dalam bentuk resolusi yang diputuskan oleh kongres yaitu:
a.       Memberi simpati penuh kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa menyokong pergerakan ini dengan apapun juga.
b.      Menuntut pemerintah negeri Belanda supaya bangsa Indonesia mendapat kebebasan penuh untuk bergerak, menghapuskan pengasingan-pengasingan dan hukuman-hukuman mati serta memberi amnesti umum (Sudiyo, 1989: 65).
Kongres memutuskan membentuk organisasi baru bernama “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional”. Anggota eksekutif  Liga adalah Mohammad Hatta, Liau (Cina), Senghor (Senegal), Munzenberg (Jerman), Dr. Martau (Belgia), Ugerta (Amerika Latin). Di dalam kongres Hatta berkenalan dengan Jawaharlal Nehru (India) akhirnya berkelanjutan secara akrab setelah Indonesia merdeka, Pimpinan buruh George Ladebour, Edo Fimmen (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Transpor Internasional), Lansburg (anggota pimpinan Partai Buruh Inggris), ketua kehormatan Liga Prof. Albert Einstein (Ilmuwan terkenal dunia). Kesempatan ini, dipergunakan Hatta untuk memperluas wawasan dalam pergaulan maupun pengenalan masalah. Kongres kedua Liga mengadakan pertemuan tanggal 20 – 27 Juli 1929 di Frankfurt (Jerman) terdapat kesungguhan dari anggota untuk lebih banyak berbuat. Di Brussel kongres menentang imperialisme dihayati cita-cita kemanusiaan yang murni sedangkan kongres kedua Liga di Frankfurt tahun 1929 dipengaruhi oleh kepentingan golongan. Bertentangan dengan asas Liga menghendaki organisasi internasional melawan Imperialisme dan Kolonialisme dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Hatta sebagai pemimpin cepat mengambil tindakan menutup sidang dengan menyanyikan lagu                               “The Internasional” dan semangat persatuan dirasakan kembali dalam Liga. Kongres dihadiri 174 peserta dari 21 negara. Sesudah tahun 1930 aktivitas Liga tidak terdengar meskipun kepentingan Indonesia pernah dipahami dan dibantu                             (Mohammad Hatta, 1980: 23).
Kegiatan mendapat perhatian internasional diwujudkan pada organisasi “Liga Wanita Internasional untuk perdamaian dan kemerdekaan (International League of Woman for Peace and Freedom) bulan September 1927 di Gland terletak di tepi danau Genewa di Swiss, Pidato Hatta berjudul “L” Indonesiae et son Prableme de 18 Indenpendence”, (Indonesia dan masalah kemerdekaannya). Undangan yang hadir Ny. Henriette Roland Holst (seorang pengarang dan penyair terkenal) dan Jawaharlal Nehru untuk membicarakan keadaan di India. Penyampaian tujuan pergerakan Indonesia dilanjutkan di Utrecht (universitas yang didirikan oleh pengusaha kapitalis kolonial negeri Belanda) di depan perkumpulan Mahasiswa Indologi tahun 1930, Hatta menerangkan hubungan kolonial antara Belanda dan Indonesia. Usaha Hatta memperkenalkan pergerakan nasional di Eropa tidak lepas dari perkembangan di Indonesia sebab perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia. Nama Indonesia dalam forum internasional dikenal secara luas sehingga menimbulkan kesulitan pihak Belanda untuk tetap menguasai Indonesia. Setelah kongres selesai Belanda secara ketat mengadakan pengawasan terhadap Perhimpunan Indonesia. Di Indonesia terjadi pemberontakan PKI bulan Nopember tahun 1926 yang berhasil digagalkan pemerintah kolonial Belanda. Semaun (bekas pemimpin PKI) datang ke negeri Belanda tidak dari Indonesia melainkan dari Moskow berkonsultasi dengan pemimpin komunis. Peristiwa ini, diceritakan kepada Mohammad Hatta di Adelhesisdstraat (Den Haag) bulan Desember 1926 dicurigai pihak Belanda. Inilah penyebab penangkapan Mohammad Hatta oleh polisi Belanda, termasuk perjuangan Perhimpunan Indonesia dalam forum internasional (Sudiyo, 1989: 68).
Di negeri Belanda dilakukan penggerbekan dan penggeledahan terhadap tempat tinggal Mahasiswa terutama di kediaman Mohammad Hatta (Adelheiddstraat, Den Haaq)  tanggal 10 Juni 1927, pukul 10:00 pagi. Berita ini diketahui Hatta tanggal 11 Juni 1927 membaca surat kabar Jerman bernama “Virwarts”. Mohammad Hatta tidak berada di negeri Belanda melainkan di Gland (Swiss) sedang menghadiri undangan untuk memberikan ceramah dalam kongres Liga Wanita Internasional untuk perdamaian dan kemerdekaan. Penggeledahan dilakukan juga di tempat Nazir Pamontjak, Abdul Madjid Djojoadiningrat, sebelumnya terjadi penggerbekan di rumah Ali Sastroamidjoyo (sudah berkeluarga) yaitu bekas Dr. Asikan Widjayajusuma di Wasstraat No. 1, Leiden yang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya. Pemerintah Belanda melanjutkan tindakannya dengan lebih keras, menahan Hatta (bersama Ali Sastroamidjoyo, Nazir Pamontjak dan Abdul Madjid Djojoadhiningrat) tanggal 23 September 1927. Para Mahasiswa dimasukkan dalam sel kecil berukuran 2 x 3 M. Mohammad Hatta ditempatkan pada sel nomor 1, Nazir Pamontjak sel nomor 7, Ali Sastroamidjoyo sel nomor 14 dan Abdul Madjid Djojoadiningrat sel nomor 55. Mereka tidak bisa saling berhubungan satu sama lain tetapi keadaan rumah tahanan cukup memenuhi syarat kesehatan. Menurut pemerintah Belanda para tertahan dituduh atas tiga perbuatan:
1.      Menjadi anggota perkumpulan terlarang.
2.      Terlibat dalam pemberontakan (Di Indonesia)
3.      Menghasut untuk menentang kerajaan Belanda
Setelah lima setengah bulan (enam bulan) berada dalam tahanan sementara, perkara mereka disidangkan tanggal 18 Maret 1928 di Pengadilan Negeri Den Haag. Ketua sidang adalah Mr. Cost Budge dan penuntut umum Mr. Rijkens. Pembela yang mendampingi ialah Dr. J. E. W Duys (seorang anggota parlemen Belanda dari SDAP (Social Democratischa Arhsiders Party), Mr. Mobach, Mr. Eleonore P.A, Weber / Nona. Mr Weber dan organisasi pemuda bernama “ A.J.S” (Assositie Van Jong Socilaisten) masih dibawah naungan SDAP. Hatta dan ketiga rekannya diadili, tuduhan dibatasi yaitu menghasut untuk menentang kerajaan Belanda. Mereka dituntut tiga tahun (Hatta), dua setengah tahun (Ali Sastroamidjoyo dan Nazir Pamontjak), dua tahun ( Abdul Madjid Djojoadiningrat ). Kepada tertuduh berempat diberikan kesempatan oleh hakim ketua untuk berbicara. Di dalam tahanan, Hatta mempersiapkan pembelaan yang berjudul “ Indonesia Vrij “ (Indonesia Merdeka), bersifat politis, menjelajah perkembangan Indonesia yaitu sebelum kedatangan penjajah ke alam jajahan (kedatangan bangsa barat ke Asia Tenggara) dan Hatta menolak tuduhan jaksa bahwa Perhimpunan Indonesia bermaksud menggunakan kekerasan (Noer, 1990 : 102).
Pembelaan dilanjutkan oleh Abdul Madjid Djojoadiningrat, Ali Sastromidjojo dan Nazir Pamontjak hanya berbicara singkat. Hakim ketua mempersilahkan kepada para pembela untuk menguraikan pembelaannya. Nona Mr. Weber dan Mr. Mobach berusaha mengemukakan pembelaan dengan sesungguhnya serta pembelaan dengan Dr. J.E.W Duys menggugah pengadilan dan masyarakat Belanda karena argumentasinya dalam menghadapi penuntut umum. Sebagai penutup Dr. J.E.W Duys menyimpulkan pembelaannya yaitu :
1.       Bahwa secara yuridis, keempat mahasiswa tersebut tidak dapat dituntut karena dasar hukumnya tidak ada.
2.       Secara moril juga tidak, karena mereka merupakan cermin dari moril yang sesungguhnya.
3.       Kegiatan mereka “ tidak sepersepuluh bagian “ pun dari kegiatan orang lain dalam hal yang sama
4.       Bahwa tahanan sementara tidak adil dan tidak diperlukan
5.       Kebijakan kolonial dan pers barat ( termasuk di negeri Belanda ) tentang Indonesia menghina para tertuduh dan bangsanya, juga menghasut dan mendorong para tertuduh untuk menggunakan kekerasan (Noer, 1990:107).
Pembelaan berhasil, pada tanggal 22 Maret 1928 Hatta dan kawan-kawannya dinyatakan bebas oleh Pengadilan. S.D.A.P dan para simpatisannya merasa terharu sebab pengadilan membenarkan, tidak menaruh keberatan atas perjuangan mereka.
4.1.2        Perjuangan di Indonesia (PNI-BARU) Tahun 1931-1940
Cita-cita mendapatkan persatuan dan kemerdekaan Indonesia dipertegas dengan berdirinya “ Partai Nasional Indonesia “ tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Diantara pendirinya terdapat bekas anggota Perhimpunan Indonesia sedangkan pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) adalah Ir. Soekarno (Tamatan Technische Hooge School / Institut Teknologi Bandung). Akhir bulan Desember 1929                         Ir. Soekarno ditangkap sehingga kegiatan PNI terhenti bulan Januari 1930 – April 1931. Mr. Sartono sebagai ketua – muda PNI membubarkan partai dan mendirikan Partindo (Partai Indonesia). Pembubaran PNI disahkan oleh Raad Van Justitie atas keputusan Landraad Bandung (Akhir April 1931)  (Pringgodigdo, 1991 : 129).
Banyak anggota PNI yang tidak menyetujui pembubaran tersebut, mereka membentuk kelompok “Golongan Merdeka“ (bebas dari pimpinan Mr. Sartono). Badan ini, belum tergabung dalam ikatan organisasi tetapi batin mereka satu. Golongan merdeka memerlukan dukungan dalam rangka mengorganisir partai baru. Tetapi Hatta harus menyelesaikan ujian akhir bulan Juni 1932 dan meminta bantuan Syahrir berangkat ke Indonesia untuk keperluan pergerakan, konferensi yang diselenggarakan tanggal 25 – 27 Desember 1931 di Yogyakarta, berdiri PNI-BARU (Pendidikan Nasional Indonesia). Penghapusan kata “partai“ merupakan cara kelompok pendidikan menghindari kesewenangan kolonial. Hatta mengusulkan pemberian nama “Partai Daulat Rakyat“ yang menekankan kedaulatan rakyat, Golongan Merdeka mempertahankan singkatan “PNI“ untuk membedakan kelompok PNI yang terlarang. Pendidikan Nasional Indonesia dikenal sebagai PNI-BARU sehingga kolonial tidak menganggap sebagai kelompok politik (Rose, 1991 : 102).
Syahrir terpilih sebagai ketua PNI–BARU dalam kongres pertama yang diselenggarakan tanggal 23 – 26 Juni 1932 di Bandung dengan jumlah anggota 2000 orang (65 cabang). Pertengahan tahun 1932, Ir. Soekarno bebas dari tahanan Suka Miskin (Bandung) mendapati PNI lama diganti oleh dua partai yang terpisah. Sebelum Hatta sampai di Hindia Belanda, Soekarno masuk Partindo dan pembicaraannya dengan Syahrir tidak mendapat kemufakatan. Pada tanggal 5 Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan ujian doktoral tanpa predikat Cum Laude. Lima tahun yang direncanakan tinggal di eropa menjadi sebelas tahun (berusia sembilan belas - berumur tiga puluh tahun). Tanggal 20 Juli 1932 berangkat dari negeri Belanda, sampai di Singapura Hatta secara resmi mengumumkan masuk PNI–BARU dan bulan September 1932 tiba di Indonesia, Hatta segera aktif dalam pergerakan melaksanakan pelatihan kader yang menimbulkan “pengabdian, keyakinan, kesabaran dan kemauan kuat“ sehingga lebih efektif dari kampanye massa. Pertemuan Hatta dengan Soekarno pertama kali di Bandung tanggal 25 September 1932 sangat penting bersifat menentukan bagi persatuan kembali PNI–BARU dan Partindo. Hadir dalam pertemuan tersebut, Soekarno dan Sartono (Partindo) serta Hatta seorang dari PNI-BARU ditambah pengikut lainnya namun pendirian pemimpin kedua belah pihak tidak bertemu (Noer, 1990 : 125).
Menghadapi persaingan partai Hatta mempersiapkan manifesto politik bagi PNI–BARU yaitu “ke arah Indonesia Merdeka“ sebagai pegangan partai untuk pelatihan kader, jalan yang dipakai oleh PNI-BARU untuk mencapai tujuannya terutama mendidik rakyat dalam hal-hal politik, ekonomi dan sosial dengan memperhatikan azas-azas kedaulatan rakyat. Soekarno pun menerbitkan manifesto Partindo berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka“ sebagai pimpinan berusaha menjadi anggotanya lebih besar dari PNI–BARU. Partindo menyelenggarakan kampanye massa dan menerima anggota baru tanpa ujian pendahuluan, Konfrontasi Hatta dan Soekarno terjadi tanggal 8 Desember 1932, OSP (Onafhandelijke Socia Listische Partij / Partai Sosialis Merdeka) di Belanda mengirim surat kawat kepada Hatta menawarkan pencalonan untuk Tweede Kamer (Parlemen). Setelah berunding dengan pemimpin umum PNI-BARU, Hatta menjawab “ nist bereid toelichting brief volgt “ (tidak bersedia penjelasan melalui surat menyusul) dan pencalonannya untuk Tweede Kamer melanggar prinsip nonkooperatif. Kantor berita Hindia Belanda “Aneta“ secara salah memberitakan bahwa Hatta telah menerima tawaran tersebut. Soekarno dan Partindo memanfaatkan berita tersebut untuk menyerang Hatta. Kedua partai meneruskan perjuangan dengan cara masing-masing dan tanggal 31 Juli 1933 Soekarno ditangkap kedua kalinya. Dipersalahkan memuat karangan menghasut “pikiran rakyat“ dalam buku “Mencapai Indonesia Merdeka“. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Desember 1932, Soekarno diasingkan ke Ende di pulau Flores (Nusa Tenggara Timur) dan tahun 1938 dipindahkan ke Bengkulu di pulau Sumatera serta pelarangan berapat kepada semua partai non kooperatif yaitu Partindo, PNI–BARU, PSII dan PERMI (Persatuan Muslim Indonesia)  (Sagimun, 1989 : 191).
Penangkapan diteruskan terhadap Hatta, Sutan Syahrir dan Bondan tanggal          25 Januari 1934 di Jakarta, ditahan dipenjara Glodok. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda tanggal 16 Nopember 1934, Hatta (berserta kawan) dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya. Pada tanggal 11 Februari 1936, Hatta dan Sutan Syahrir dipindahkan dari Boven Digul ke Banda Neira di kepulauan Maluku. Mereka berkumpul dengan Dr. Cipto Mangunkusumo serta Mr. Iwa Kusuma Sumantri. PNI-BARU tidak dibubarkan oleh pengurusnya sesuai didikan Hatta – Syahrir sebaliknya Partindo dibubarkan oleh pengurusnya tanggal 18 Nopember 1936 dengan alasan ruang bergeraknya sudah sempit. Berakhirlah peranan utama dari pergerakan rakyat yang berhaluan non kooperatif.
Pemerintah kolonial Belanda mengambil tindakan pembuangan terhadap tokoh PNI-BARU (Pendidikan Nasional Indonesia) ke Boven Digul. Sebelum dikirim ke Boven Digul mereka ditahan hampir satu tahun, Hatta dan Bondan (dipenjara Glodok, Jakarta), Maskun Burhanuddin dan Suka Sumitro di penjara Suka Miskin, Bandung, Marwoto (di penjara Banceuy, Bandung) dan Syahrir masuk ke penjara Cipinang (Rose, 1991 : 126).
Di penjara Glodok Hatta mempersiapkan tulisan “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme“ langsung diterbitkan. Keputusan untuk pengasingan tujuh tokoh                     PNI–BARU ke Boven Digul dikeluarkan secara resmi tanggal 16 Nopember 1934. Tuduhan terhadap Hatta bahwa “ketika tinggal di Belanda sampai tahun 1931, ia memimpin Perhimpunan Indonesia, bertujuan untuk melakukan tindakan revolusioner melawan pemerintah  di sana” (Rose, 1991 : 128 ).
Perintah pengasingan diberlakukan awal bulan Januari 1935, tujuh orang tahanan PNI–BARU bergabung di atas kapal KPM Melchior Treub yang membawa mereka sampai di Makassar. Pelayaran  diteruskan menuju Ambon dengan pergantian kapal dan berhenti selama satu minggu. Akhir perjalanan dilakukan dengan kapal polisi kecil bernama “Albatros“ ke pantai Irian Barat dan masuk Muara Dungai Digul tanggal 28 Januari 1935 (Rose, 1991 : 129).
Penghuni pertama di Boven Digul adalah sekelompok anggota PKI yang menjadi korban karena pemberontakan tahun 1926/1927. Kaum interniran dikatagorikan, mereka yang mau bekerja, werkwillig, kaum kooperator, mereka yang tidak mau dipekerjakan dan kaum “naturalis“ mendapat jatah makan pas-pasan serta menggunakan inisiatif (sarana pribadi) untuk menambah jatah mereka. Sehari sesudah tiba di kampung pembuangan Boven Digul. Para tahanan dibawa menghadap kapten Van Langen (kepala pemerintah Boven Digul) satu persatu. Tujuan pertama, bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial mendapat upah 40 sen Gulden per hari. Pilihan kedua menjadi orang buangan yang menerima ransum (bahan makanan) in natura. Hatta dan anggota PNI-BARU memilih menjadi orang buangan penerima ransum in natura kecuali Marwoto (ia dan istrinya dipengaruhi oleh Lurah Digul seorang komunis) bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Di Boven Digul, mereka diperlakukan sama dan memperoleh uang F 250 dari pejabat setempat untuk membeli bahan makanan di toko Cina (orang bebas)  (Noer, 1990 : 138).
Iklim Boven Digul sangat ganas, lingkungan tidak sehat bahkan membuat kelompok PNI-BARU kurang bersahabat. Hatta yang biasa tenang, sabar dan teratur menjadi mudah marah, pelupa yang menunjukkan gejala stress. Setiap anggota                   PNI-BARU menderita malaria endemik namun melarikan diri sangat sulit, berbahaya bahkan tidak berguna. Bulan maret 1935, Hatta menulis surat kepada kakak iparnya Sutan Lembag Tuah (suami Rafi’ah) untuk membangun rumah yang bisa bertahan sekitar sepuluh tahun agar mengirimkan peralatannya dan mengabarkan berita pembagian ransum. Surat Hatta dimuat dalam surat kabar Indonesia dan Belanda menimbulkan reaksi marah baik di Hindia maupun di negeri Belanda. Kaum sosialis di Tweedi Kamer mengecam tindakan terhadap Hatta tetapi Perdana Menteri                         Dr. Colijn (pemimpin partai anti revolusi) menekankan bahwa perjuangan Mohammad Hatta di Boven Digul tidak dimaksudkan menghancurkan namun mengasingkan dari masyarakat (Rose, 1991 : 134).
Kepala pemerintahan Boven Digul Kapten Van Langen digantikan Kapten Wiarda, menyampaikan telegram dari pemerintah Belanda (bulan Nopember 1935) kepada Hatta dan Syahrir akan dipindahkan ke Banda Neira.
Di Banda Neira terdapat tokoh pergerakan yang dibuang terlebih dahulu yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo (15 Desember 1927) dan Iwa Kusuma Sumantri (bulan Juli 1929) memperoleh uang saku masing-masing f 175 sebulan. Hatta memperoleh uang saku f 75 sebulan ( termasuk Syahrir ). Dengan uang saku f 75 sebulan, dapat menyewa rumah yang agak besar untuk perpustakaan serta memperkerjakan seorang pembantu. Kegiatan Hatta dan Syahrir mengajar pemuda setempat dua kali seminggu termasuk anak Dr. Cipto Mangunkusumo, dua orang tamatan MULO Bukittinggi (Sumatera Barat) serta tahun 1939 seorang lulusan SMA Taman Siswa mereka dikirim oleh Anwar Sutan Saidi (Direktur Bank Nasional). Pelajaran yang diberikan berbeda-beda yaitu bersangkutan dengan keperluan praktis perusahaaan (tata buku, ekonomi, soal-soal perdagangan) dan partai politik. Meskipun dilarang berpolitik secara terbuka, keempat itu memanfaatkan kebebasan yang mereka miliki untuk merongrong pengaruh kuat Belanda di Banda Neira. Iwa Kusuma Sumantri dan Syahrir memadukan pengetahuan mereka tentang hukum untuk memberikan jasa bantuan hukum bagi rakyat kampung mengenai kasus-kasus penyalahgunaan hak tanah. Hatta membantu mengorganisir gerakan koperasi dikalangan petani (Rose, 1991 : 140).
Bulan Desember 1941, berita mengenai serangan Jepang yang menghancurkan Pearl Harbour mengguncangkan keyakinan pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Van Starken Borgh Stachouwer mengeluarkan pengumuman bahwa Hindia Belanda dalam keadaan perang. Banda  Neira segera dimobilisir ke dalam berbagai kegiatan pertahanan sipil dan secara cepat (Hatta/Syahrir) mengambil bagian di dalamnya, Hatta ditugasi mengatur distribusi makanan, Syahrir bekerja untuk pemantauan melalui radio. Pada tanggal 1 Februari 1942, Hatta dan Syahrir dipindahkan dari Banda Neira ke Jawa dengan pesawat amfibi Amerika “Catelina“ atas dasar desakan pengusa kolonial dan tanggal 8 Maret 1942, Hatta dibebaskan oleh Jepang kemudian pindah ke Jakarta (Rose, 1991 : 148).  
Tokoh pergerakan nasional Iwa Kusuma Sumantri dan Dr. Cipto Mangunkusumo sejak tahun 1939 dan 1940 telah dipindahkan ke Makassar.
4.2.            Perjuangan Politik Mohammad Hatta Masa Penjajahan Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.  
 Kemenangan-kemenangan yang diperoleh Jepang terhadap hegemoni bangsa kulit putih sejak perebutan benteng Port Arthur pada tahun 1905 dari Rusia sampai meletusnya perang Pasifik melawan Sekutu, penduduk negeri jajahan di Asia Tenggara menyambut kemenangan Jepang. Khususnya rakyat Indonesia, sehingga memberikan kesan bahwa akan mendukung gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika tentara Jepang mendarat, rakyat Indonesia menyambut dengan gembira dan bersyukur bebas dari belenggu penjajah Belanda. Seluruh rakyat Indonesia percaya kepada kemampuan penguasa Jepang. Setelah penyerahan pihak Belanda tanggal                  8 Maret 1942 dari Jenderal Ter Poorten kepada Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati (Jawa Barat). Pemerintah Militer Jepang memerlukan dukungan penduduk dan kerja sama dengan tokoh nasionalis (Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta). Jika menolak mengandung resiko yang sangat besar sebab fasisme dan sifat peperangan akan menyebabkan hukuman yang lebih kejam dari pembuangan ke Boven Digul dalam masa penjajaan Belanda, pemimpin nasionalis Indonesia (Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta) jaman penjajahan Hindia Belanda bersikap “non kooperatif“ tetapi jaman pendudukan Jepang mereka berjanji bekerja sama sampai Indonesia merdeka dikenal sebagai Dwi – Tunggal (Sumarno, 1984:22).
Jepang menilai perlu saluran untuk menampung hasrat dan keinginan politik rakyat demi keuntungan perang Jepang. Atas dorongan bagian penerangan (sedenbu) tanggal 29 April 1942 dibentuk gerakan “Tiga A“ (Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia, Nippon cahaya Asia). Tokoh bangsa Jepang dalam gerakan                  Tiga A adalah Shimizu Hitoshi dan diangkatlah Mr. Syamsudin sebagai ketua gerakan Tiga A. Pergerakan ini, tidak mendapat sambutan hangat dari pemimpin utama pergerakan dan kurang mendukung usaha perang Jepang. Hatta menjauh dari gerakan Tiga A bahkan menasihati Soekarno untuk tidak bergabung dengan pergerakan tersebut. Berdasarkan kutipan dapat dikemukakan penyebab Hatta menghindari gerakan “ Tiga A “ yaitu :
“Jepang terlalu campur tangan di dalamnya dan pergerakan itu tidak menjadi pergerakan nasional ( rakyat ) serta orang-orang Cina dan Indo yang sebelumnya tidak perduli dengan pergerakan nasional, turut membantunya dengan maksud-maksud kepentingan diri” ( Noer, 1990 : 191 ).

Pada tanggal 20 Nopember 1942 gerakan “Tiga A“ dibubarkan dan membentuk organisasi baru bernama PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) berdiri tanggal 9 Maret 1943. Pemimpin PUTERA dipegang oleh tokoh nasionalis Indonesia yang dikenal sebagai “Pemimpin Empat Serangkai“ (Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansur). Di dalam PUTERA kepentingan tentara Jepang dan bangsa Indonesia sejajar dan searah jalannya. Tujuan PUTERA bagi Jepang untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka membantu usahanya menghadapi Sekutu (Amerika, Inggris, Perancis, Belanda). Empat Serangkai (Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansur) Oleh Jepang dianggap sebagai lambang di dalam pergerakan nasional demi kepentingan Jepang. Bagi pemimpin Indonesia “PUTERA “ sebagai tempat dan sarana menggembleng jiwa nasionalisme serta memberikan semangat kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indoesia. Tentara Jepang menyadari kegiatan PUTERA banyak memberikan manfaat bagi usaha-usaha mencapai tujuan pergerakan nasional dari membantu peperangan Jepang. Akhir tahun 1943, PUTERA dibubarkan atas kehendak pemerintah bala tentara Jepang di Jawa dan tanggal 1 Maret 1944 didirikan himpunan kebaktian rakyat Jawa (bahasa Jepang Hokokai). Pimpinan Jawa Hokokai lebih didominasi oleh Jepang sebagai ketua Mayor Jenderal Yamamoto (Kepala Kantor Hokomubu / umum). Ir. Soekarno berfungsi sebagai kepala kantor Hokokai yang diketuai oleh Hayashi Kyujiro (Penasihat pada pemerintahan militer jepang). Pihak tentara Jepang mempergunakan pemimpin Bangsa Indonesia untuk memudahkan Jepang memperoleh bantuan dan partisipasi rakyat Indonesia dalam perang melawan sekutu sedangkan pemimpin bangsa Indonesia (Soekarno – Hatta) mempergunakan kerja sama dengan Jepang, mempersiapkan  rakyat secara fisik dan mental menghadapi perjuangan kemerdekaan yang akan menjadi kenyataan (Sagimun, 1989 : 223).
Terhadap golongan Islam Jepang sangat menaruh perhatian sebab sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Pada tanggal 13 Juli 1942 pemerintah kedudukan tentara Jepang menghidupkan kembali Majelis Islam A’la Indonesia                     (MIA’I)  didirikan oleh Kyai Haji Mas Mansur. Organisasi Islam MIA’I dianggap kurang dinamis untuk membantu usaha perang Jepang sehingga tanggal 24 Oktober 1943 secara resmi MIA’I dibubarkan. Di bentuk organisasi Islam baru bernama Majelis Muslimin Indonesia (Masyumi) dan disahkan oleh Gunseikan (Kepala pemerintahan Militer Jepang pada tanggal 22 Nopember 1943 mendirikan organisasi pemuda berumur 14-22 tahun), Keibodan (barisan pembantu polisi berumur 20-35 tahun), Heiho (pembantu prajurit Jepang) berdiri bulan Agustus 1943, Suisyintai                (badan dan pelopor ) berdiri 1 Nopember 1944, dan Jibakutai (barisan berani mati) beridiri tanggal 1 Nopember 1944. Semua badan tersebut digunakan mempersiapkan terbentuknya alat peperangan Jepang tetapi dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia bagi pemupukan kader-kader bangsa yang berilmu militer karena jaman penjajahan Belanda tidak pernah dibentuk (C.S.I kansil dan Julianto, 1993 : 43).
Pertengahan tahun 1944 kedudukan tentara Jepang di dalam perang pasifik makin terdesak oleh tentara Sekutu pimpinan Jenderal Douglas Mac. Arthur. Pada tanggal 17 Juli 1944 kabinet Hideki Tojo jatuh sebagai pengganti diangkatlah Jenderal Kuniaki Koiso menjadi Perdana Menteri Jepang. Menyadari kedudukan semakin sulit, Jepang terpaksa berusaha mengambil hati rakyat Indonesia maka tanggal 7 September di dalam sidang Parlemen Jepang yang ke 85 di Tokyo, Perdana menteri Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa pemerintah Dai Nippon (Pemerintah Jepang) memperkenankan Indonesia merdeka “kelak kemudian hari“.  Kekalahan Jepang tinggal menunggu waktu, Panglima tentara Jepang (Saiko Shikian) yakni Kumacciki Harada tanggal 29 April 1945, mengumumkan pembentukan BPUPKI                  (Badan Penyelidik usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Dokuritsu Junbi Coosakai ) beranggotakan 62 orang berasal dari segenap daerah Indonesia yang diketuai Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat. BPUPKI dilantik tanggal 28 Mei 1945  melakukan sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 membahas rumusan dasar dan falsafah bagi negara Indonesia merdeka. Sidang kedua tanggal                10-17  Juni 1945 pembicaraan dipusatkan pada soal-soal undang-undang dasar negara Indonesia merdeka diketuai Ir. Soekarno. BPUPKI dibubarkan tanggal 7 Agustus 1945 sebagai gantinya dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ Dokuritsu Junbi Iinkai) beranggotakan 21 orang sebagai ketua Ir. Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta  (Sagimun, 1989 : 265).
Pihak Jepang tidak menghiraukan apa yang diperbuat oleh Bangsa Indonesia sebab tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima berpenduduk 350.000 orang. Akibat bom atom lebih dari 70.000 orang tewas dan meninggal dalam keadaan mengerikan. Untuk menarik hati bangsa Indonesia, panglima angkatan perang Jepang untuk Asia Tenggara Marsekal Terauchi bermarkas di Dallath terletak 300 kilomester di sebelah utara kota Saigon, Ibu kota Vietnam Selatan meminta kepada tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia yaitu :
1.   Ir. Soekarno
1.      Mohammad Hatta
2.      Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat
Mereka disertai dua orang bangsa Jepang sebagai pengantar dan juru bahasa yaitu Nomura dan Miyoshi. Tanggal 12 Agustus 1945 tiba di Dallath dan Jenderal Besar Marsekal Terauchi menyampaikan kepada Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan dr. Rajiman Wedyodiningrat bahwa pemerintah Dai Nippon sudah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 ketiga orang pemimpin Indonesia berangkat ke Jakarta. Banyak peristiwa yang terjadi tidak diketahui tiga orang pemimpin Indonesia yang datang ke Dallath. Hal itu sengaja dirahasiakan serta ditutup-tutupi oleh pemimpin tentara Jepang. Sebelum ketiga orang pemimpin tentara Jepang. Sebelum ketiga orang pemimpin Indonesia tiba di Jakarta, tanggal 9 Agustus 1945 Sekutu/Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang ke dua di kota Nagasaki lebih dari 75.000 orang tewas. Sesungguhnya Amerika memiliki dua bom atom tetapi takut ketinggalan dalam arena perebutan wilayah dan pengaruh dibelahan pasifik mengambil tindakan lebih dahulu. Akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 (Asmadi, 1985 : 52).
4.2.1        Peranan Mohammad Hatta menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Berita penyerahan Jepang telah diketahui oleh sebagian pemimpin Indonesia, terutama pemimpin pemuda menganggap suatu kesempatan dan semangat memikirkan langkah-langkah mencapai Indonesia merdeka. Kelompok pemuda dengan jiwa kepemudaannya menginginkan proklamasi secara revolusioner untuk membuktikan bahwa proklamasi hasil jerih payah sendiri tanpa campur tangan Jepang. Kelompok tua (Soekarno – Hatta) ingin berbicara dengan Jepang melalui rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perbedaan pendapat terjadi antara kelompok tua (Soekarno – Hatta) dan kelompok muda (Sukarni -  Chaerul Saleh) tetapi mempunyai tujuan yang sama mencapai kemerdekaan Indonesia. Wujud pelaksanaannya yang berbeda, mereka takut (Soekarno – Hatta) tetap di Jakarta akan diperalat Jepang maka jam 4.30 pagi, tanggal 16 Agustus 1945 pemuda dibawah pimpinan Sukarni, Jusuf  Kunto dan Syodanco Singgih (Komandan Peleton) membawa Soekarno – Hatta ke Rengas Dengklok di sebelah utara Karawang tempat kedudukan sebuah kompi Tentara peta dibawah komando Syodanco Subeno (daerah diambil alih dari tentara Jepang). Proklamasi tidak dapat dipaksakan oleh sekelompok radikal di bawah pimpinan Sukarni (Suhartono, 1994 : 140).
Akhirnya dicapai kesepakatan antara Mr. Ahmad Subardjo yang mewakili kelompok tua dengan Wikana mewakili kelompok muda bahwa proklamasi harus dilakukan di Jakarta. Pada hari kamis, tanggal 16 Agustus 1945 jam 18.00 WIB (jam enam sore ) Mr. Ahmad Subardjo bersama Sudiro yang dikawal oleh Jusuf Kunto menjemput Soekarno – Hatta di Rengas Dengklok. Soekarno  - Hatta tiba di Jakarta pukul 23.30 WIB, terjadi kesibukan luar biasa, untuk kepentingan ini, Laksamana Muda Tadashi Maeda (Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang) menyediakan rumahnya tempat berunding serta menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya (sebuah tempat yang mempunyai kedudukan disebut “Extra  territorial“ yakni daerah menurut adat kelaziman Jepang harus dihormati oleh Rikugun                          (Angkatan Darat Jepang)  (Sagimun, 1989 : 297).
Di ruang makan rumah Maeda dirumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa yang bersejarah berlangsung Laksamana Muda Tadashi Maeda tidak hadir tetapi Miyoshi (Perwira angkatan darat Jepang) sebagai orang kepercayaan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen umum pemerintah Militer Jepang). Bersama Sukarni, Sudiro dan B.M Diah menyaksikan Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo membahas naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Ir . Soekarno menuliskan konsep proklamasi sedangkan               Mohammad Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Jam 04.30 naskah proklamasi telah selesai dibuat, dibawa ke ruang muka tempat anggota PPKI dan atas usul Sukarni naskah  itu ditandatangani oleh Soekarno – Hatta “ Atas nama bangsa Indonesia “. Atas perintah Ir. Soekarno – Hatta naskah proklamasi diketik oleh Sayuti Melik sesuai dengan tulisan tangan Ir. Soekarno disertai perubahan-perubahan yang telah disetujui rapat  (Sagimun, 1989 : 302).
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumah kediaman Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56, sejak pagi  diadakan persiapan untuk menyambut peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Kurang lebih 1000 orang hadir menyaksikan walaupun ada larangan dari Saiko Shikikan (pembesar nomor satu Jepang di Indonesia). Terlebih dahulu dilakukan upacara penaikkan bendera pada tiang bambu dan seutas tali oleh Cudanco Latief Hendraningrat, berpakaian lengkap peta dan pedang Tanaka (Samurai) diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan para hadirin. Kemudian dua tokoh pemimpin bangsa Indonesia (keduanya berpakaian putih-putih) menuju ke serambi muka, Ir. Soekarno didampingi Mohammad Hatta tampil ke muka mikrofon. Pada hari Jum’at legi (bulan ramadhan) tanggal 17 Agustus 1945, jam 10.30 (waktu jaman Jepang)  atau jam 10.00 WIB Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia  dibacakan Ir. Soekarno Bunyi Teks Proklamasi tersebut :

P R O K L A M A S I

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan  kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.


Djakarta, hari 17 boelan  8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia


Soekarno – Hatta



Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan cepat disiarkan ke seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri melalui berbagai media (radio, surat kabar, mulut ke mulut, kurir, surat selebaran dan lain-lain) baik secara “rahasia“ (untuk menghindari rombongan kaum reaksioner yang anti revolusi atau pihak penjajah yang tidak rela atas peristiwa bersejarah itu) maupun secara terbuka (Hatta, 1982 : 456).







BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1      Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.        Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, keadaan Indonesia telah diperkenalkan di luar negeri (Negeri Belanda) dalam organisasi Perhimpunan Indonesia mengenai kekejaman penjajahan. Gerakan ini dilakukan para mahasiswa Indonesia diantaranya adalah Mohammad Hatta, namun pemerintah Belanda menanggapi secara negatif bahkan menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh Pergerakan Indonesia tersebut. Perjuangan mereka dilakukan tidak terhenti dan dilanjutkan melalui PNI-BARU. Perjuangan oleh PNI-BARU pun mendapat tentangan yang keras bahkan para tokoh-tokohnya di internir oleh pemerintah Belanda ke Boven Digul dan Banda Naire.
2.        Dengan menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, maka dengan resmi Indonesia di bawah pemerintahan Jepang dan perjuangan Mohammad Hatta dilanjutkan melalui Organisasi PUTERA yaitu organisasi bentukan Jepang dengan tujuan untuk membujuk kaum nasionalis Indonesia dan para pemimpinnya sebagai alat untuk mengabdikan diri dalam usaha memenangkan perang. Pada dasarnya Mohammad Hatta menentang setiap penjajahan tetapi atas pertimbangan oportunis perlu bekerja sama dengan Jepang untuk mencapai Indonesia merdeka.
3.        Detik-detik proklamasi terjadi pertentangan antara kelompok muda (Sukarni-Chairul Saleh) yang menghendaki kemerdekaan Indonesia secara revolusioner, sedangkan kelompok tua (Soekarno-Hatta) menginginkan kemerdekaan melalui PPKI bentukan Jepang. Pemuda mengadakan pengambilan secara paksa terhadap Soekarno Hatta dan dibawa ke Rengas Dengklok. Akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

5.2      Saran
Dari hasil kajian penulis, maka penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1.       Penulis mengharapkan agar semangat perjuangan tanpa pamrih dari pemimpin Bangsa Indonesia  berupa rela berkorban baik harta, tenaga maupun nyawa perlu dimiliki oleh setiap generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa.
2.       Dalam mengisi kemerdekaan ini, penulis berharap isilah kemerdekaan menurut cita-cita dan kemampuan yang dimiliki. Berbakti kepada bangsa dan negara berarti melanjutkan perjuangan dan tidak menyia-nyiakan pengorbanan yang ditempuh para pemimpin terdahulu karena kemerdekaan Indonesia diperoleh dari hasil perjuangan dengan tetesan darah.
3.       Sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam pendidikan sejarah, penulis menghimbau agar kita semua hendaknya selalu mencintai sejarah bangsa sendiri. Karena dengan memahami sejarah bangsa sendiri akan menjadi dasar bagi kita untuk melangkah maju ke depan dalam mengisi pembangunan nasional.
4.       Sebagai generasi muda dan penerus cita-cita bangsa, marilah kita galakkan rasa cinta kita akan nilai-nilai sejarah yakni dengan mengadakan penelitian di  berbagai bidang sejarah.
5.       Keberadaan sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah penting, untuk itu penulis menghimbau agar menggunakan peristiwa-peristiwa sejarah sebagai cermin dalam melangkah ke masa depan. Kita harus mengambil manfaat positif dari suatu peristiwa sejarah.   


DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu.
Anwar, Yozar. 1998. Pergolakan Mahasiswa Abad Ke 20. Jakarta: Sinar Harapan.
Asmadi. 1985. Pelajar Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan.
Culla, Adi Suryadi. 1999. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: Grafindo Persada.
Farida Swasono, Meutia. 1980. Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan.
Hatta, Mohammad. 1980. Berpartisipasi Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
_______________. 1982. Memoir. Jakarta: Tintamas
_______________. 1995. Pemikiran Pembangunan Bung Hatta. Jakarta: LP3ES.
Idayu, Yayasan. 1982. Bung Hatta Kita, Dalam Pandangan Masyarakat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Imran, Amrin. 1984. Mohammad Hatta, Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Indra, Ridwan, Mohammad dan Sophian Marthabaya. 1987. Peristiwa-Peristiwa di Sekitar Proklamasi 17-8-1945. Jakarta: Sinar Grafika.
1.      Kansil, C.S.T dan Julianto. 1993. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta:
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kunto Wijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M.D, Sagimun. 1986. Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara.
____________. 1989. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press.
____________, Sutrisno Kutoyo, dan Mardanas Sapwan. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Materu, Daeng, Mohamad Sidky. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.
Noer, Deliar. 1991. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Poespo Negoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V dan VI. Jakarta: Departemen P dan K.
Pringgodigdo, A.K. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Renier. GJ (Diterjemahkan oleh Muin Umar). 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, H.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rose, Mavis. 1991. Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: Gramedia.
Sastradinata, Kosoh. 1986. Sejarah Indonesia. Jakarta: Karunia.
Sudiro. 1975. 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah.
Sudiyo. 1989. Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: Bina Aksara.
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumarno, Hari, Kohar. 1984. Manusia Indonesia Manusia Pancasila. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wijaya, I.Wangsa. 2002. Mengenang Bung Hatta. Jakarta: Gunung Agung.
Yasni, Z. 2002. Bung Hatta Menjawab. Jakarta: Gunung Agung.