" My Parent "

Sabtu, 14 Mei 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Ditinggal Orang-Orang Terkasih



REPUBLIKA.CO.ID, Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang  indah  dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya, tempat dia  menumpahkan  rasa  kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.

Sesudah  lima  tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu  diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap  akan  pulang. Ia  dan  rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai  di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Ummu  Aiman  dibawa  pulang  ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan  menjadi  anak  yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh  yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal, dalam  usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan  tahun. Sekali lagi  Muhammad  dirundung kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia, sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu  Thalib,  sekalipun  dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harits, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu, ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai  perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan  kalau Abdul Muthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepadanya.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul Muthalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah  yang lebih menarik hati pamannya.

Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan—ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun—mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad. Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan menemani pamannya  itu. Hal inilah yang menghilangkan  sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan terlampau  dalam  memasuki  daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan berbuat jahat terhadap dia.

Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak  sekalipun dengan harta yang tidak  seberapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar